Mata Kuliah
“FIQIH SIYASAH I”https://efendyblooger.blogspot.com
Tentang :
Zaman Bani Abbasiyah
Dosen Pengampu :Dr.
Mohd Yasin,S.Hi, MH
Disusun oleh :
Mitalul Jannah (18.24.286)
Sahrul Ramadan(1824.295)
Razali (18.24.293)
SEMESTER
IV/HTN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMAN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Zaman
Bani Abbasiyah tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliahyang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
Maret 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية,
al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn)
adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat
dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan
melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa
setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin
Abdul-Muththalib
(566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan
meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian
dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil
kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan
kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses lahirnya Bani Abbasiyah?
2.
Bagaimana kedudukan khalifah dalam Bani Abbasiyah?
3.
Bagaimana sistem politik, pemerintahan dan bentuk negara Buwaihi, dan Saljuki?
9.
Apa saja perkembangan intelektual yang telah dicapai Bani Abbasiyah?
10.
Bagaimana proses runtuhnya Bani Abbasiyah
11.
Bagaimana transimisi peradaban dan kebudayaan Islam ke dunia Barat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas pada tahun 750-754
M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya. Khalifah pertama Abbasiyah ini
menyebut dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya.
Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul itu
mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan
kebijakannya. As-Saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam ketiga setelah
Khulafa’ Ar-Rasyidun dan Dinasti Umayah yang sangat besar dan berusia lama.
Dari tahun 750 M, hingga 1258 M, penerus Abu Al-Abbas memegang pemerintahan,
meskipun mereka tidak selalu berkuasa[1].
Orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan,
yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekular (mulk)
dinasti Umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam
berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan
pada shalat Jumat, khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan
oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahannya,
begitu singkat. As-Saffah meninggal pada tahun 754 karena penyakit cacar air
ketika berusia 30-an.
B. Kedudukan Khalifah
Sepanjang sejarah kekuasaan Bani Abbasiyah, para khalifah
adalah manusia biasa yang mempunyai titik kelemahan dan titik kekuatan dalam
sejarah hidupnya. Titik kekuatan dalam sejarah pemerintahan khalifah Abul Abbas
adalah kemampuannya memadamkan perusuhan dan pemberontakan yang meluas sejak
penghujung masa kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M) dan masa-masa permulaan
kekuasaan Daulah Abbasiyah (750-1256 M) hingga keamanan berangsur pulih kembali
dalam wilayah Islam yang demikian luasnya, dari
perbatasan Thian Shan di sebelah Timur dan pegunungan
Pyrenees di sebelah Barat.
Titik kelemahan khalifah Abul Abbas terletak pada
kebijaksanaan pemerintahannya berdasarkan kekerasan, hingga digelari dengan
sebutan “penumpah darah” (Al-Saffah), sekalipun dalam banyak hal ia
memperlihatkan kebudimanan dan kedermawanan.
Pada masa al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata: “Innama anii Sulthan Allah
fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan
demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula
sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun.
Disamping itu, berbeda dari daulah Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar
tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer
daripada nama yang sebenarnya.
C. Sistem Politik, Pemerintahan dan Bentuk Negara: Buwaihi, dan Saljuki
Pada mulanya, ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesihon, tahun 762 M.
Dalam menjalankan sistem pemerintahan, Dinasti Abbasiyah
memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh
Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani
surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan
penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan
(dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis pengadilan tingkat banding,
atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara
keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat
dilacak pada masa Dinasti Umayah, karena Al-Mawardi meriwayatkan bahwa Abd
Al-Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk
mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya.
Pejabat pada bagian-bagian pemerintahan yang mendampingi
khalifah dalam masa pemerintahan Daulah Umayah disebut dengan istilah Al-Katib
(sekretaris). Dimana setiap pejabat bertanggung jawab atas departemennya kepada
khalifah, dan kedudukannya hanya bersifat Al-Musyir (penasehat) terhadap
khalifah.
Sedangkan pada Daulah Abbasiyah dinamakan dengan
Al-Wazir (menteri), dan lembaga pemerintahannya disebut Al-Wizarat, yang
bertanggung jawab kepada khalifah dan diatur dalam Qawanin al-Wizarat yakni
tentang aturan pokok tentang Al-Wizarat. Sistem tersebut dicetuskan untuk
pertama kalinya oleh khalifah kedua yakni Al-Manshur. Wazir pertama yang
diangkat oleh Al-Manshur adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.[2]
Khalifah Al-Manshur juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negera disamping membenahi angkatan
bersenjata. Beliau menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara.[4] Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti
Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar
untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk
menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan
dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
1.
Bani Buwaihi
Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan,
dan Ahmad yang berasal dari Dailam. Tiga saudara ini dalam sejarah dikenal
sebagai tentara bayaran. Ketika berkuasa di Baghdad, khalifah Bani Abbas
dijadikan penguasa simbolik (de jure), dan pengendalian pemerintahan secara de
facto berada di tangan para amir. Tiga bersaudara ini memiliki daerah kekuasaan
masing-masing. Ahmad Ibn Buwaihi berkuasa di Baghdad; Ali Ibn Buwaihi (‘Imad
al-Dawlat) berkuasa di Fars; dan Hasan Ibn Buwaihi (Rukn al-Dawlat) berkuasa di
Jibal, Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti kekuasaan politik dan sumber-sumber
material para khalifah. Mereka menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama dan
sekaligus menjadi alat yang dapat mereka gunakan untuk mencapai ambisi mereka.
Keunikan bani Buwaihi adalah bahwa para amir Buwaihi menganut Syi’ah, tetapi
mereka tidak menghapuskan khilafah (Sunni) hal ini kemudian melahirkan analisis
historis yang beragam. Menurut satu versi, mereka tidak menghapuskan khilafah
karena khawatir akan mendapat pertentangan dan perlawanan dari para amir yang
masih mengakui khalifah Bani Abbas.
Sekalipun tidak menghapuskan khilafah, Buwaihi berupaya
mengkampanyekan Syi’ah di Baghdad dengan beberapa gerakan: pertama, Buwaihi
menginstruksikan kepada pengelola masjid-masjid agar menuliskan kalimat
berikut: “Allah melaknat Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, yang merampas hak Fatimah
ra, yang melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan makam kakeknya SAW, dan
kedua, Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syi’ah dijadikan perayaan
resmi negara seperti perayaan 10 Muharram untuk memperingati kasus Karbala, dan
peringatan 12 Dzulhijjah sebagai yawm al-Ghadir yang dalam keyakinan Syi’ah,
Nabi SAW mewasiatkan kepada Ali Ibn Abi Thalib sebagai penguasa duniawi dan
agama sepeninggal beliau.[3]
2.
Bani Saljuk
Bani Saljuk dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq. Tuqaq (ayah
Saljuk) adalah pemimpin suku Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai wilayah
Turkistan, tempat mereka tinggalSaljuk Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima
imperium Ulghur yang ditempatkan di Selatan lembah Tahrim dengan Kasghar
sebagai ibu kotanya. Karena merasa tersaingi kewibawaanya, permaisuari raja
Ulghur merencanakan pembunuhan terhadap Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat
direalisasikan rencana itu sudah diketahui oleh Saljuk. Dalam rangka
menghindari pembunuhan Saljuk dan orang-orang yang setia kepadanya
menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke arah Barat, yaitu daerah Jundi
(Jand) suatu daerah yang merupakan bagian dari Asia kecil yang dikuasai dinasti
Samaniyah yang dipimpin oleh amir Abd al-Malik Ibn Nuh (954-961 M). Amir Abd
al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di Jundi dekat Bukhara. Terkesan
oleh kebaikan Amir Abd al-Malik Ibn Nuh, Saljuk dan pengikutnya memeluk Islam
aliran Sunni sesuai dengan aliran yang dianut oleh masyarakat setempat.
Saljuk Ibn Tuqaq membalas jasa kebaikan amir Abd al-Malik
Ibn Nuh dengan membantunya mempertahankan dinasti Samani dari serangan musuh.
Saljuk membantu dinasti Samani dalam menghadapi serangan-serangan dinasti
Ulghur. Dalam salah satu perang tersebut, Saljuk mati terbunuh dan Ia
meninggalkan tiga anak: Arselan, Mikail, dan Musa.
D. Sistem Sosial
Masuknya orang-orang Iran ke dalam elit kekuasaan pada masa
Abbasiyah yang dimulai dari keluarga Al-Barmark pada masa Harun Ar-Rasyid telah
memberikan semangat terpendam yang merupakan cikal bakal kebangkitan Iran Baru
yang berjiwa Islam. Apalagi dengan adanya perkawinan keluarga khalifah
seterusnya. Walaupun di sana-sini timbul pertentangan anara orang-orang yang
masih mempertahankan dominasi dan nasionalisme Arab di kalangan keluarga
khalifah dengan pihak yang telah beradaptasi dengan kebudayaan Iran, hal itu
tidak menghalangi proses lebih lanjut bagi perluasan pengaruh Iran dalam dunia
Islam pada waktu itu. Misalnya, dalam pembangunan kota Baghdad, jelas sekali
meniru pola kota di zaman Iran. Tata kota dibagi-bagi secara serasi. Ada pusat
pemerintahan, pusat ekonomi, dan pusat keagamaan, yang dikelilingi oleh
perumahan yang disediakan untuk rakyat.
E. Orientasi Politik
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai
tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini
berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun
filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan
dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan
dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
F. Tali Ikat Persatuan (Agama Kosmopolitanisme)
Pada masa khilafah Bani Abbas, banyak terjadi perpecahan
dikalangan umat Islam saat itu. Hal ini dikarenakan perbedaan pemikiran yang
terjadi di dalam kalangan Islam itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut
khalifah Bani Abbas membuat peraturan untuk dijadikan sebagai pemersatu umat
Islam.
Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah paham yang
beranggapan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi
menjadi warga dunia. Keputusan ini pun di sambut baik oleh umat Islam, karena
mereka beralasan kalau setiap orang tidak ada perbedaan diantara lainnya, tidak
ada yang membedakan seseorang dengan status kewarganegaraan, semuanya merupakan
warga dunia yang sama antara satu dengan yan lainnya.
G. Perkembangan Peradaban: Perkembangan Kota, Arsitektur, Teknologi, Industri, dan Perdagangan
Pada masa Dinasti Abbasiyah pengembangan industri rumah
tangga berkembang pesat dan maju. Industri kerajinan tangan menjamur diberbagai
pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industri karpet, sutera,
kapas, dan kain wol, satin, dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab, Suffah)
dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya.
Mesin penganyam Persia dan Irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu
Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham
dengan corak berbagai jenis burung dan emas yang dihiasi batu rubi dan
batu-batuan indah lainnya.
Sejak masa khalifah kedua Abbasiyah, Al-Manshur, sumber Arab
paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan
India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para
pedagang muslim lainnya pada aba ke-3 Hijriah. Tulang punggung perdagangan ini
adal sutra, kontribus terbesar orang Cina kepada dunia Barat. Biasanya, jalur
yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina.[4]
Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara estafet;
hanya sedikti khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu. Di sebelah
barat, para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Pada masa
Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti
rempah-rempah, kapur barus, dan sutra.
H. Perkembangan Intelektual : Keagamaan, Pendidikan, Sains, Teknologi, Astronomi, Matematika, Filsafat, Kedokteran, Ilmu Bumi, Sejarah, Sastra.
Dalam bidang keagamaan, imam-imam madzhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M)
dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di
Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena
itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh madzhab
hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal
(780-855 M). Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa
pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula. Akan tetapi, karena
pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan madzhab itu hilang bersama
berlalunya zaman.
Pada masa Bani Abbas, lembaga pendidikan sudah mulai
berkembang. Ketika itu lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
1.
Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitung-hitungan dan tulisan; dan
tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti: tafsir, hadits,
fiqih, dan bahasa.
2.
Tingkat Pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam
ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang
ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah
ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masji-masjid atu di rumah-rumah
ulama bersangkutan.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh
penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang buku-bukunya disusun di atas
lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh star
administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah
memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana berkerja dan
mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah
tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat ini menyimpan ribuah
manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah
itu kemudian didaftra dalam sepuluh jilid katalog
Dalam bidang sains, akibat pengaruh dari kebudayaan bangsa
yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, hal itu membawa kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Dalam bidang tafsir misalnya, sejak awal
sudah dikenal dua metode penafsiran. Pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu
intepretasi tradisional dengan mengambil intepretasi dari nabi dan para
sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak
bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas.
Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir
rasional) sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Dalam bidang astronomi muncul seorang tokoh bernama
Al-Biruni. Beliau adalah Abu Raihan Muhammad al-Biruni yang tinggal di istana
Mahmud di Gazni (Afganistan). Selain itu, Al-Biruni juga ahli dalam bidang
antropologi, matematika, dan sejarah. Al-Biruni menulis buku dengan judul Kitab
al-Hind atau Tahqiq ma al-Hind (Investigasi atas India). Buku tersebut
merupakan hasil penelitian yang dilakukan antara tahun 1017-1031 M di India
Dalam bidang matematika terkenal nama Muhammad Ibn Musa
Al-Khawarizmi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “al-jabar” berasala
dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqabalah.
Tokoh-Tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain
Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan intepretasi terhadap filsafat
Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang
terkenal di antaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di dunia Barat lebih
dikenal dengan nama Averrpoes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang
filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Dalam bidang kedokteran dikenal tokoh bernama Al-Razi dan
Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar
dengan measles (campak). Dia juga orang pertama yang menyusun buku
tentang kedokteran anak. Sesudahnya ilmu kedokteran berada di tangan Ibn Sina.
Ibn Sina yang juga seorang filsuf, berhasil menemukan sistem peredaran darah
pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan
ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah. Kemudian dalam bidang sastra
muncul tokoh penyair bernama Abu Ali al-Farisi yang menulis Kitab al-Idhah
(book of explanation). Sedangkan dalam ilmu bumi dikenal tokoh bernama
Istakhri.
I. Keruntuhan Bani Abbasiyah
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas
pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1.
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara
komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
2.
Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.
Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan
untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun,
khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Selain
itu, penyebab kehancuran Bani Abbasiyah karena beberapa faktor berikut:
1.
Faktor Intern
a.
Lemahnya semangat patriotisme negara, menyebabkan jiwa jihad
yang diajarkan Islam tidak berdaya lagi menahan segala ancaman yang datang,
baik dari dalam maupun dari luar.
b.
Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat,
sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghacurkan sifat-sifat baik yang
mendukung negara selama ini.
c.
Tidak percaya pada kekuasaan sendiri. Dalam mengatasi
berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan
asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d.
Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang
digunakan untuk tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa
untuk berfoya-foya, kehidupan para khalifah dan keluarganya serta
pejabat-pejabat negara yang hidup mewah.
2.
Faktor Ektern
Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi-provinsi
tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah.
Mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasan khalifah, tapi memberontak
dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad.
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000
orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu
membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn
Alqami ingin
mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah,
"Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin
mengawinkan anak perempuannya dengan Abu
Bakr Ibn Mu'tashim,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak
menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap
sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang
pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya
untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para
panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang
terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu
Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak
benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung
secara bergiliran.[5]
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan
Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah,
sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah
dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun,
sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan
khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut
pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bani Abbasiyah didirikan oleh Abu
Al-Abbas pada tahun 750-754 M dengan Irak sebagai pusat pemerintahannya.
2. Konsep khilafah pada Bani Abbasiyah
berlanjut ke generasi sesudahnya, dan ini merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula
sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun.
3. Sistem pemerintahan Dinasti
Abbasiyah memiliki kantor pengawas (dewan az-zimani) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan
at-tawqi) yang menangani surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan
ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos.
Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejenis
pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus
yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Sistem
pemerintahan Bani Abbasiyah adalah monarki (kerajaan).
4. Dalam sistem sosialnya, Bani
Abbasiyah banyak dikuasai oleh orang-orang Iran. Bukan hanya itu, orang-orang
Iran banyak melibatkan diri dalam roda pemerintahan Bani Abbas.
B. Kritik dan Saran
Dalam penyajian makalah ini, tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Baik dari segi teknis penulisan maupun bobot isi makalah yang ada
di tangan rekan-rekan akademisi ini. Oleh karena itu, kami sebagai penulis
mengharap ada masukan-masukan, kritik dan sarannya yang bersifat membangun,
agar kedepannya penyajian makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok,
Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Sou’yb,
Joesoef. 1977. Sejarah Daulah Abbasiyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Supriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Yatim,
Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment