MAKALAH FIQIH
Dosen Pengampu :
Muhammad Hamdan, S.Pd.I,
M.Pd.I
Tentang :
‘’ Shalat Juma’at’’
Disusun oleh :
Kelompok
IX
Kemas
Akbari Yudha
Fitriyatul
Mahmud
Semester
: II/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur
atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan.
Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan
tentang “Shalat Jum’at”
Kami
sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para
pembaca.
Demikianlah
makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Kuala
Tungkal, April 2020
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hari
jum’at adalah hari pilihan Allah diantara hari-hari yang lain dalam
satu minggu, sebagaimana bulan ramadhan adalah bulan pilihan Allah diantar
bulan-bulan yang lain dalam satu tahun, makkah adalah tempat pilihan Allah di
bumi dan nabi Muhammad adalah kekasih pilihan-Nya diantara makhluk-makhluk-Nya.
Adapun hari jum’at adalah hari raya umat islam di dunia
dan hari dimana Allah memenuhi hajat mereka. Rosulullah SAW melakukan sholat
jum’at pertama kali di tengah-tengah lembah madinah yang mana sebelum
beliau mendirikan masjid Nabawi.
Sholat jum’at
merupakan salah satu dari kewajiban umat islam, dan termasuk kesempatan
berkumpulnya umat islam yang cukup banyak selain berkumpul pada saat ‘arafah.
Demikian pula
sholat jum’at dilakukan setiap hari jum’at setelah tergelincir matahari (pada
waktu dzuhur) serta harus dilakukan dengan berjama’ah.
Sebagai manusia,
dalam menjalani kehidupan tidaklah luput dari suatu rintangan (udzur). Termasuk
juga dalam menjalankan ibadah, salah satu di antara rintangan (udzur) tersebut
yakni sakit. Namun apakah udzur tersebut bisa mengugurkan kewajiban utama
seorang muslim, yakni shalat?. Dalam makalah ini
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan dasar
hukum Shalat Jum’at
2. Syarat dan Rukun
Shalat Jum’at
3. Khutbah dalam Shalat
Jum’at
4. Kaifiyah Shalat Bagi Orang Sakit
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat Jum’at
Shalat Jum’at adalah shalat wajib
dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului
oleh dua khutbah.[1]
Shalat Jumat ini adalah shalat yang dilakukan dengan berjamaah bersama di waktu
siang hari (dzuhur), namun pelaksanaannya berbeda dengan shalat Dzuhur. Jika
shalat Dzuhur ini berjumlah empat rakaat, shalat Jumat mempunyai jumlah dua
rakaat, yang sebelum pelaksanaannya didahului dengan dua khutbah terlebih
dahulu.
B. Hukum Shalat Jum’at
Hukum shalat jum’at Fardhu ‘Ain,
artinya kewajiban individu mukallaf
(muslim, baligh, berakal) kecuali 6 golongan:
a.
Hamba sahaya (budak belian)
b.
Perempuan
c.
Anak kecil (yang belum baligh)
d.
Orang sakit yang tidak dapat
menghadiri Jumat
e.
Musafir, yakni orang yang sedang
dalam perjalanan jauh
f.
Orang yang udzur jum’at,
seperi ada bencana alam atau bahaya.
Pengecualian ini ditetapkan oleh sabda Nabi SAW:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: مَمْلُوكٌ, وَاِمْرَأَةٌ,
وَصَبِيٌّ, وَمَرِيضٌ.(صحيح علي شرطي البخا ري ومسلم)
“Jum'at itu hak
yang wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah kecuali empat orang, yaitu:
budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit."
Adapun bagi
musafir, dan ada yang udzur, karena perbuatan Rasulullah SAW, apabila
mengadakan perjalanan jauh, dan sampai hari jum’at beliau dan para sahabatnya
tidak menunaikan shalat jum’at, melainkan hanya shalat Zuhur, demikian pula
ketika kejadian badai hari jum’at dikota madinah, Beliau menganjurkan para
sahabatnya shalat masing-masimg di rumah mereka.[2]
C. Kewajiban Mengerjakan Shalat Jum’at
Para ulama
sependapat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu ‘Ain dan jumlah rakaatnya
dua. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا اَيٌّهَا الّذِيْنَ امَنُوْااِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ
مِنْ يَوْمِ الجُمُعَةُ فَاسْعَوْااِلىَ ذِكْرِاللهِ وَذَرُوْالبَيْعِ ذَالِكُمْ
خَيْرُلَّكُمْ انْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْن
Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Kandungan Hukum:
Merujuk ayat di atas, para ulama
menyimpulkan bahwa kandungan hukum berikut:
a.
Jum’at Wajib ‘Aini
bagi yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Orang yang
meniggalkannya tanpa udzur adalah dosa besar.
b.
Bila sudah dikumandangkan
adzan jum’at, wajib segera untuk mendengar khutbah dan menunaikan shalat
jum’at.
c.
Sesudah adzan jum’at
berkumandang haram hukumnya bagi yang wajib jum’at melakukan kegiatan yang
bersifat duniawi seperti jual beli atau pekerjaan lainnya.[3]
Kewajiban
shalat jum’at ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dikuatkan oleh hadis Nabi SAW,
salah satunya dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan jum’at tanpa udzur.
a.
Nabi SAW, bercita-cita
menyuruh orang mencari kayu bakar dan yang lainnya mengumandangkan adzan, lalu
Beliau akan membakar rumah orang yang tidak pergi jum’at.
b.
Nabi SAW, bersabda dari
mimbarnya, “Hendaklah kaum-kaum itu berhenti meninggalkan jum’at atau Allah
kunci hati-hati mereka dan mereka dijadikan orang-orang yang lalai.”
c.
Barang siapa meninggalkan
tiga jum’at karena menyepelekannya maka Allah akan menutup hatinya.
D. Orang-Orang Yang Berkewajiban Menunaikan Shalat Jum’at
a.
Islam
b.
Laki-laki
c.
Merdeka (Bukan Hamba Sahya)
d.
Baligh (Cukup Umur)
e.
Aqil (Berakal)
f.
Sehat (Tidak Sakit)
g. Muqim (Penduduk Tetap)
bukan seorang musafir
الجمعة حقّ واجب
علي كلّ مسلم الا أربعة عبد مملوك أوامرأة أو صبيّ أومريض
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim
kecuali empat golongan: budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit. (HR.Abu Dawud)[4]
E. Syarat sah shalat Jum’at
Adapun syarat-syarat sahnya jum’at
menurut madzhab syafi’i antara lain:
d.
Dua raka’at shalat jm’at dan
dua khutbahnya harus masih masuk waktu shlat juhur.
e.
Dilaksanakan disuatu
perkampungan atau perkotaan (maksudnya apabila yang shalat jum’at itu semuanya
musafir maka shalat jum’atnya tidak sah).
f.
Minimal mendapati satu
raka’at (dengan berjama’ah) dari dua raka’at shalat jum’at, maka jika seorang
makmum shalat jum’at tidak mendapati satu raka’at shalat jum’at bersama imam,
maka ia tetap niat shalat jumat tetapi perakteknya shalat juhur empat raka’at
g.
Jumlah makmum yang shalat
jum’at minimal 40 orang dari penduduk setempat atau penduduk asli (mustauthin)
yang telah wajib jum’at.
h.
Shalat jum’atnya tidak
berbarengan atau didahului oleh shalat jum’at dimasjid lain yang masih satu
perkampungan. Artinya tidak boleh ada dua jum’at atau lebih dalam satu kapung
atau satu tempat yang sama.
f.
Harus didahului dua khutbah.[5]
F. Waktu Shalat Jum’at
Golongan mayoritas dari kalangan
sahabat dan tabi’in sepakat bahwa waktu shalat jum’at itu adalah waktu shalat
zuhur, berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan
Baihaqi dari Anas r.a.,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يٌصَلِّى
الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسِ (رواه بخارى)
Rasulullah
SAW melaksanakan shalat Jum’at ketika matahari tergelincir. (H.R. Bukhari).
كُنَّا نُصَلِّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعِةَ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسِ ثُمَّ
نَرْجِعُ فَنَتْبَعُ الْفَيْءَ اَيْ ظِلَّ الحيطان
Kami
shalat dengan Rasulullah SAW ketika matahari tergelincir, kemudian kami pulang
dengan mengikuti bayang-bayang tembok. (H.R. Muslim).
Bukhari mengatakan, “waktu shalat jum’at ialah apabila
matahari telah tergelincir.” Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Ali,
Nu’man bin Basyri, dan dari Umar bin Huraits. Syafi’I mengatakan, “Nabi SAW.,
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan imam-imam lainnya mengerjakan shalat jum’at
setelah tergelincirnya matahari.”[6]
G. Tempat Penyelenggaraan shalat Jum’at
Ditulis leh pengarang buku ar-Raudhah Naddiyyah bahwa
shalat jum’at itu sah dilakukan, baik dikota maupun di desa, didalam masjid,
didalam bangunan, maupun dilapangan yang terdapat disekelilingnya, sebagaimana
juga sah dilakukan ditempat-tempat lainnya. Umar r.a. pernah mengirim surat
kepada penduduk Bahrain yang isinya, “Lakukanlah shalat jum’at dimana saja kalian
berada.” (riwayat Ibnu Abu Syaibah dan menurut Ahmad sanadnya baik)
Hadis ini menunjukkan bolehnya mengerjakan shalat di
perkotaan maupun di pedesaan atau ditempat manapun yang sekiranya sah dan bisa
dilaksanakannya shalat.adapun hadis lain yang menguatkan bahwa dibolehkannya
shalat jum’at sealin dimasjid.
Diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah melihat penduduk
mesir dan daerah-daerah sekitar mata air yang terletak diantara Makkah dan
Madinah mengerjakan shalat ditempat mereka masing-masing dan mereka tidak
ditegurnya. (Riwayat Abdur Razaq dengan Sanad yang Shahih)[7][8]
H. Hal-hal yang menjadi keharusan dalam khutbah jum’at
Beberapa hal yang menjadi keharusan sebagai syarat sah
khutbah jum’at, antara lain sebaai berikut:
a.
Khutbah harus dilakukan
sebelum shalat.
b.
Khatib harus suci dari hadas,
najis, dan menutup aurat.
c.
Khutbah disampaikan diwaktu
jum’at dihadapan jama’ah yang menjadikan terlaksananya shalt jum’at, dan harus
dengan suara lantang demi tercapainya faedah khutbah.
d.
Antara khutbah dan shalat jum’at
tidak terpisah dengan jarak yang kira-kira dapat digunakan untuk makan karena
hal itu dianggap sebagai pemisah yang memotong shalat. (Maksudnya antara
khutbah dengan shalat jum’at jarak waktunya tidak terpotong terlalu lama
sehingga setelah khutbah harus langsung dilaksanakan shalat jum’at).
e.
Khutbah harus disampaikan
dengan bahasa Arab kecuali jika memang tidak mampu. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama yang berlawanan dengan pendapat kalangan ulama madzab Hanafi
yang memperbolehkan khutbah dengan bahasa Arab. Namun mereka (ulama madzahb
Hanafi) tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakana maupun dasar yang
dapat diikuti.
f.
Dilakukan dengan berdiri bagi
yang mampu. Ini adalah pendapat mayoritas ahli Fiqh, merujuk hadis narasi Ibnu
Umar bahwasanya Nabi SAW., berkhutbah pada hari jum’at kemudian duduk kemudian
berdiri, lalu berkhutbah sebagaimana yang kalian lakukan hari ini.(Mutttafaq
‘alaih). Juga merujuk pada hadis narasi Jabir bin Samura, ia berkata: Nabi
SAW., menyampaikan dua khutbah dimana beliau duduk diantara keduanya, membaca
al-Qur’an, dan mengingatkan manusia. (HR.Muslim)[8][9]
I. Rukun-rukun Khutbah
a.
Memuji Allah pada tiap-tiap
permulaan dua khutbah, sekurang-kurangnya membaca hamdalah.
b.
Mengucapkan shalawat atas
Rasulullah SAW dalam kedua khutbah itu, sekurang-kurangnya, وَالصَّلاَةُ عَلَى الرَّسُوْلِ , artinya “Dan
shalawat atas Rasulullah SAW”.
c.
Membaca syahadatain (dua
kalimat syahadat).
d.
Berwasiat taqwa, yakni
menganjurkan agar taqwa kepada Allah pada tiap-tiap khutbah, sekurang-kurangnya
اتّقوالله yang artinya “bertakwalah kalian semua kepada Allah.”
e.
Membaca ayat Al-Qur’an
walaupun satu ayat di salah satu kedua khutbah itu dan lebih utama di dalam
khutbah yang pertama.
J. Hikmah shalat Jum’at
a.
Simbol persatuan sesama Umat
Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang
rapat dan rapi
b.
Untuk menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua,
muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya
c.
Menurut hadits, doa yang kita
panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan
d.
Sebagai syiar Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil
pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa Shalat Jum'at adalah ibadah shalat
yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan
setelah khutbah. Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi setiap muslim
laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka sudah mukallaf, sehat badan
serta muqaim (bukan dalam keadaan mussafir) dan menetap di dalam negeri atau
tempat tertentu dan shalat jum’at juga memiliki syarat-syarat wajib dan syarat
syah nya yang harus dilaksanakan, supaya shalat jumat nya menjadi sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Arfan, Fiqih Ibadah Peraktis, malang: Uin-Maliki Press, 2011
Dja’far
Shiddieq Umay M., Syari’ah Ibadah, Jakarta Pusat: alGhuraba, 2006
http://indo-moeslim.blogspot.com/2010/08/hadits-tentang-orang-yang-
diwajibkan.html
Muhammad
Azzam Abdul Aziz dan Sayyed Hawwas Abdul Wahhab, Fiqih Ibadah, Jakarta:
Amzah, 2009
Sabiq
Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena, 2006
[1]Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah,
Jakarta Pusat: alGhuraba, Hal. 75
[2] Ibid, Hal. 76
[3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena,
Hal. 459
[4] Abdul
Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah,
Jakarta: Amzah, Hal. 309
[6] Ibid, Fiqih Sunnah, Hal. 462
[9] Ibid, Fiqih Ibadah Praktis, Hal. 114
No comments:
Post a Comment