MAKALAH
“MASAILUL
FIQH”
Dosen Pengampu : Hairul Fauzi, S.Pd.I., M.Pd.I
Tentang :
“Pengertian
dan Kedudukan Anak Angkat, Anak Pungut, dan
Anak Hasil Zina”
Disusun
oleh :
Efi Yuliana
NIM: 17.11.2186
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘ini
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliah yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
Maret 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa dimasa datang, generasi
penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini
mungkin yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan
belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh,
menyeluruh dan komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari anak angkat dan bagaimana kedudukannya?
- Apa pengertian anak pungut dan bagaimana kedudukannya?
- Apa pengertian ana hasil zina dan bagaimana statusnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak Angkat
Anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah keturunan kedua”. Pengertian ini
memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu
sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya
perkawinan antara kedua orang tuanya.
Pasal 171 huruf h KompilasiHukum Islam menyebutkan
bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.[1]
Kedudukan anak angkat yang sedemikian memberikan arti
yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak
sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari
kehari semakin berkembang, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental
dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian di atas, maka pengertian anak angkat
adalah anak yang dalam pemeliharaannya untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan
orang tua asal kepada orang tua angkat.
1.
Kedudukan Anak
Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan
istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut
adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang
yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya.
Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka
adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri
ayah angkatnya bukanlah
ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan
seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya.
Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan
anak aku-akuan”.
Yusuf Qardhawi menguraikan secara singkat perihal
pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah
menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak
kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan
dalam Islam. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal
lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak
angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang
tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain,
dalam arti pemeliharaan.
Hal ini juga berdasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat
4-5 yang telah dikemukakan di atas. [2]
Di samping pendapat di atas, ada semacam pengangkatan anak tetapi pada
hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu menemukan
anak yatim atau mendapat di jalan, kemudian memeliharanya, mencukupi
kebutuhannya, pendidikannya dan kebutuhan yang lain, namun tidak dinasabkan
sebagai anaknya dan tidak pula diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti di
atas. Anak yang dipungut ini disebut dengan ibnu sabil (anak jalan).[3] Dalam
hal ini, Islam menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia, dan akan
mendapat pahala berupa syurga, seperti yang dikatan oleh Rasulullah SAW dalam
haditsnya:
Artinya: “Saya akan bersama orang yang menanggung
anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia
ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada
masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan
anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki
hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai
mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota
keluarga orang tua angkatnya. Akan tetapi, mengambil anak yatim kemudian
memeliharanya dan mencukupi segala keperluannya, dan tidak menganggapnya anak,
maka hal tersebut boleh dan nabi sendiri melakukannya serta akan mendapatkan
pahala syurga.
B. Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia,
tidak diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain.[4] Laqiith ditinjau
dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak
diketahui siapa ayah dan ibunya Demikian.[7]
ditinjau dari sisi istilah syar’i artinya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah
sebutan untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin
atau untuk menghindari tuduhan telah berbuat aib.
Menurut pendapat madzhab Syafi’i, laqiith adalah
setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut madzhab
Hambali, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai
usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui nasabnya dan
terlantar, atau tersesat di jalan.
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat
disimpukan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia
mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh
keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena
alasan lainnya.
1.
Kedudukan Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak yang
tersia-siakan dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam
Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para
fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal
muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada
seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu,
sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang
menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam
al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak
pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.
Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan
institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan
fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka
jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan
mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak
angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya,
apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan
bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat
disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat
dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.[5]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata
dalam kitabnya Al-Mughni (V/392), “Memungut anak seperti ini
hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat
Al-Maidah ayat 2. Karena dengan memungut anak tersebut berarti ia telah
mcnyelamatkan jiwa seorang yang masih hidup dan ini hukumnya wajib. Seperti:
dengan cara memberikan makanan dan menyelamatkan anak yang hanyut”.[6]
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan
pendapat ulama tentang hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa
memungut anak yang tersia-siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi
umat Islam. Karena dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa
juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non
muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai
dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash
Al-Qur’an maupun dari nash Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status
anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara hukum mawaris tidak bisa
menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin
memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat
dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai
orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua
pungutnya. Selama anak pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka
saudara dari keluarga pungut berhak untuk menikahinya.
C. Anak Hasil Zinah
Anak
zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan menurut
Hassanain Makluf, bahwa anak zina adalah anak yang di lahirkan ibunya dari
hubungan yang tidak sah.
1.
Kedudukan hukum anak zina
Menurut
hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa, karena
kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut,
tetapi kepada orang tuanya ( yang tidak sah
menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan:
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه
فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
“Semua
anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi yahudi, atau nasrani atau majusi.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَ
“(yaitu)
bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm:
38).
Karena
itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi
pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di
masa depan. Yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (materiil
dan spiritual adalah ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab
atau perdata dengan ibunya.[7]
Mengenai status anak zina ini ada tiga
pendapat, yaitu:
a.
Menurut Imam Malik dan Syafi’I,
anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu
di nasabkan kepada bapaknya.
b.
Jika anak itu di lahirkan sebelum
enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena di duga ibunya itu telah
melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling
kurang enam bulan.
c.
Menurut Imam Abu Hanifah, anak
zina tetap di nasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan
waktu masa kehamilan si ibu.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak angkat adalah anak yang
dijadikan sebagai anak asuh yang diketahui nasab kedua orangtuanya. Baik anak
angkat maupun anak pungut bukanlah anak asli, ia diasuh, dibesarkan dan dididik
oleh orang lain dan tidak ada hubungan nasab antara anak asuh dengan bapak
asuhnya/. Status anak angkat dan anak pungut tidak bias disamakan dalam nasab
karena kedudukan anak angkat bukan anak secara syara’ dan tidak memiliki hak –
hak sebagai anak asli.
Anak pungut adalah anak yang
dijjadikan sebagai anak asuh yang tidak diketahui siapa nasabnya (ibu
bapaknya). Dan termasuk anak pungut juga anak yang diserahkan kerumah sakit
karena orangtuaya tidak mampu membayar biaya kelahiran.
Anak zina adalah anak hasil
hubungan suami istri diluar nikah dan status anak zina hanya memiliki nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya, waris mewaris dengan ibunya saja, dan jika
anak yang lahir itu perempuan dalam nikah yang menjadi walinya adalah wali
hakim. Wallahu a’lam bisshawaf.
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah memohon saran dan kritik para
pembaca demi kesempurnaan makalah pemakalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI,
2002),
Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya:
Al-Ikhlas, TTh),
Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000),
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),.
Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
(Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997),
Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji
Masagung, 1993),
Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Halal dan Haram
dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, TTh)
[1] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hlm. 9.
[2] Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh), hlm.
321.
[3] Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Halal dan Haram dalam Pandangan
Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, TTh), hlm. 53-54.
[4] Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
hl.m173.
[5] Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Op.Cit., hlm. 53-54.
[6] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hlm.
29.
[7] Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
(Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997),hlm 39-40.
[8] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 80-81.
No comments:
Post a Comment