Iklan Sponsor

Wednesday 6 May 2020

Pengertian dan Kedudukan Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina


MAKALAH
 MASAILUL FIQH
Dosen Pengampu : Hairul Fauzi, S.Pd.I., M.Pd.I
Tentang :
Pengertian dan Kedudukan Anak Angkat, Anak Pungut, dan Anak Hasil Zina

Description: Image result for logo stai an nadwah

Disusun oleh :
Efi Yuliana
NIM: 17.11.2186







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
                                                                                   
Kuala Tungkal   Maret 2020



DAFTAR ISI






BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa dimasa datang, generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan
Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.

B.     Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian dari anak angkat dan bagaimana kedudukannya?
  2. Apa pengertian anak pungut dan bagaimana kedudukannya?
  3. Apa pengertian ana hasil zina dan bagaimana statusnya?


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Anak Angkat

Anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah: ”Anak adalah keturunan kedua”. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Pasal 171 huruf h KompilasiHukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.[1]
Kedudukan anak angkat yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari kehari semakin berkembang, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian di atas, maka pengertian anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada orang tua angkat.
1.      Kedudukan Anak Angkat
Hukum Islam menjelaskan pengangkatan anak dengan istilah tabanni, dan dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi adopsi tersebut adalah pemalsuan atas realitas konkrit. Pemalsuan yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga, menjadi salah satu anggotanya. Ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya. Isteri ayah angkatnya bukanlah

ibunya, demikian pula dengan puteri, saudara perempuan, bibi, dan seterusnya. Mereka semua adalah ajnabi (orang lain) baginya. Dalam istilah yang sedikit kasar Yusuf Qardhawi menjelaskan “anak angkat dengan anak aku-akuan”.
Yusuf Qardhawi menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan dalam Islam. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.
 Hal ini juga berdasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 4-5 yang telah dikemukakan di atas. [2] Di samping pendapat di atas, ada semacam pengangkatan anak tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu menemukan anak yatim atau mendapat di jalan, kemudian memeliharanya, mencukupi kebutuhannya, pendidikannya dan kebutuhan yang lain, namun tidak dinasabkan sebagai anaknya dan tidak pula diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti di atas. Anak yang dipungut ini disebut dengan ibnu sabil (anak jalan).[3] Dalam hal ini, Islam menganggap perbuatan ini sebagai perbuatan yang mulia, dan akan mendapat pahala berupa syurga, seperti yang dikatan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
Artinya: “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara keduanya”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
Berdasarkan pendapat kedua ulama yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status anak angkat atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah adopsi adalah tidak bisa disamakan dengan anak kandung, mengenai nasabnya. Sehingga dalam hal mawaris, ia tidak memiliki hak waris terhadap harta kedua orang tua angkatnya. Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua angkatnya.  Akan tetapi, mengambil anak yatim kemudian memeliharanya dan mencukupi segala keperluannya, dan tidak menganggapnya anak, maka hal tersebut boleh dan nabi sendiri melakukannya serta akan mendapatkan pahala syurga.

B.     Anak Pungut

Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain.[4] Laqiith ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan ibunya Demikian.[7] ditinjau dari sisi istilah syar’i artinya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah sebutan untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk menghindari tuduhan telah berbuat aib.
 Menurut pendapat madzhab Syafi’i, laqiith adalah setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut madzhab Hambali, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui nasabnya dan terlantar, atau tersesat di jalan.
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat disimpukan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
1.      Kedudukan Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t. Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.[5]
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Mughni (V/392), “Memungut anak seperti ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 2. Karena dengan memungut anak tersebut berarti ia telah mcnyelamatkan jiwa seorang yang masih hidup dan ini hukumnya wajib. Seperti: dengan cara memberikan makanan dan menyelamatkan anak yang hanyut”.[6]
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama tentang hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua pungutnya. Selama anak pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari keluarga pungut berhak untuk menikahinya.

C.    Anak Hasil Zinah

Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Hassanain Makluf, bahwa anak zina adalah anak yang di lahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah.
1.      Kedudukan hukum anak zina
Menurut hukum perdata Islam, anak zina/jadah itu suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut,
tetapi kepada orang tuanya ( yang tidak sah menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan:      
                                                                         
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه    
“Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, atau nasrani atau majusi.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَ
“(yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38).
Karena itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masa depan. Yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (materiil dan spiritual adalah ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.[7]
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
a.         Menurut Imam Malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu di nasabkan kepada bapaknya.
b.         Jika anak itu di lahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena di duga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.
c.         Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap di nasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.[8]



BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Anak angkat adalah anak yang dijadikan sebagai anak asuh yang diketahui nasab kedua orangtuanya. Baik anak angkat maupun anak pungut bukanlah anak asli, ia diasuh, dibesarkan dan dididik oleh orang lain dan tidak ada hubungan nasab antara anak asuh dengan bapak asuhnya/. Status anak angkat dan anak pungut tidak bias disamakan dalam nasab karena kedudukan anak angkat bukan anak secara syara’ dan tidak memiliki hak – hak sebagai anak asli.
Anak pungut adalah anak yang dijjadikan sebagai anak asuh yang tidak diketahui siapa nasabnya (ibu bapaknya). Dan termasuk anak pungut juga anak yang diserahkan kerumah sakit karena orangtuaya tidak mampu membayar biaya kelahiran.
Anak zina adalah anak hasil hubungan suami istri diluar nikah dan status anak zina hanya memiliki nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, waris mewaris dengan ibunya saja, dan jika anak yang lahir itu perempuan dalam nikah yang menjadi walinya adalah wali hakim. Wallahu a’lam bisshawaf.

B.     Saran

Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah memohon saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaan makalah pemakalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002),
Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh),
Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),.
Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997),
Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993),
Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, TTh)



[1] Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hlm. 9.
[2] Ahmad Syarabasyi, Himpunan Fatwa, (Surabaya: Al-Ikhlas, TTh), hlm. 321.
[3] Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Halal dan Haram dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT Bina Ilmu, TTh), hlm. 53-54.
[4] Anonim, Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hl.m173.
[5] Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, Op.Cit., hlm. 53-54.
[6] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hlm. 29.
[7] Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997),hlm 39-40.
[8] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 80-81.

No comments:

Post a Comment