efendyblooger.blogsot.com
FIQIH SIYASAH
Tentang :
Mekanisme Pengkatan Pembentukan Kepala Negara Hak dan
Kewajiban Kepala Negara
Dosen Pengampu :Dr.
Mohd Yasin,S.HI, MH
Disusun oleh :
Kelompk : 7
M. Ardan Maulana
Prayoga Pangestu
SEMESTER
IV/HTN/B
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMAN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Mekanisme
Pengaktan Pemebentukan Kepala Negara Hak dan Kewajiban Kepala Negara
tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliahyang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
Maret 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap sistem pemerintahan,
terdapat metode dan mekanisme dalam pengangkatan dan pemberhentian pemimpin.
Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan
kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat
hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan
dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.
Dalam sistem kerajaan misalnya, raja
menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki
otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya.
Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari
keturunannya.
Sedangkan dalam sistem republik
pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum
dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi
rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya.
Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh
parlemen.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Mekanisme Pengankatan
Kepala Negara?
2. Apa Hak dan Kewajiban Kepala Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pengkatan Pembetukan Kepala Negara
Selain menetapkan umat sebagai
pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode
tersebut adalah dengan bai’at. Baiat dalam buku Fikih Siyasah karya Drs.
Beni Ahmad Saebani M.si adalah perjanjian diantara dua golongan yaitu pemimpin
dan rakyat untuk bersedia taat kepada aturan-aturan Allah dan Rasul.[1]
Kesimpulan ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan
perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim
kepada Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas
pemerintahan. Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ
بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ
أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُنَّ اللَّهَ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).
Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin
al-Shamit yang mengatakan:
بَايَعْنَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ
نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan
menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar
kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami
mengerjakan atau
mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak
takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru
bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia
memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu.
Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim
dan Abu Daud).
Dalam hadits lain, Rasulullah saw
juga bersabda:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara
urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi
berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak
khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja.
Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban
terhadap urusan yang dibebeankan kepada mereka” (HR
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).
Juga Hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang bersabda:
إِذَا
بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).
Nash-nash al-Quran dan al-Sunnah
tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode pengangkatan
khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah
mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.
B. Beberapa Bentuk Pengangkatan Pemimpin
Bagi ummat Islam, tidak ada pilihan
lain selain meyakini bahwa menjalankan Syariat Islam merupakan bagian dari
menjalani aturan agama secara kaffah. Saat ini banyak terungkap keinginan untuk
menegakkan Syariat Islam diberbagai tempat di seluruh Indonesia [2]Memilih
pemimpin secara hukum syariah juga merupakan keinginan ummat Islam, akan tetapi
kita harus mengetahui beberapa bentuk atau sistem pengangkatan pemimpin sesuai
siyasah islamiyah.
Prosedur pengangkatan dan pembaitan
khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini
sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka
adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. Seluruh sahabat
mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal, tatacara itu termasuk dalam
perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab,
perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran
keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan
hukum Islam.
Pengangkatan Abu Bakar ra sebagai
khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum Muslim di Saqifah Bani
Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin Ubadah, Abu Ubaidah
bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin
al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu Bakar sehingga
seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin
Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah Abu Bakar.
Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat Abu Bakar.
Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd yang mengangkat
Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua merupakan baiat
taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa
sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan Muslim sedang berada
medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi), beliau memanggil kaum
Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah
sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan.
Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim, beliau pun
mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar sebagai penggantinya. Maka
Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah sesudahnya. Penunjukan atau
pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah.
Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap
membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah
Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum
Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu Bakar. Seandainya
pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada Umar, tentu tidak
diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah disebutkan
sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi
khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum Muslim
meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi, Umar menolaknya. Karena
terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang bermusyawarah mengenai
khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin
‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan
Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan
memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah
dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari untuk membuat keputusan.
Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat, dan
meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara satu orang yang lain
menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan pedang.” Kemudian Umar
menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal
mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk
mengadakan pertemuan.
Setelah Umar wafat dan setelah para
calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah di antara kalian
yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin
oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu Abdurrahman bin
‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”
Abdurrahman mulai meminta pend pat
mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan
kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya
jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan.
Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim dan menanyai siapa
di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai
baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat.
Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari.
Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat
dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu
rumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku
melihat engkau banyak tidur. Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur
mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga malam—dengan banyak tidur.” Ketika
orang-orang melaksanakan subuh, maka sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat
kaum Mukmin itulah Utsman menjadi khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada
enam orang tersebut.
Sesudah Utsman bin ‘Affan terbunuh,
mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan
baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.
Bertolak dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’
al-râsyidûn para sahabat itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang
dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd
terpenuhi pada masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli
Halli wa al-aqdi di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat.
Mereka merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’
al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para
sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi
khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah
proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan
pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa
yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’ al-rasyidun –semoga Allah
meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain yang dapat dipahami
pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaiatan Utsman. Dua
perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin sementara selama masa
penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon sebanyak enam orang
sebagai batasan maksimal.
C. Masa Jabatan Pemimpinan
Dalam sistem khilafah, jabatan
khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi dengan waktu tertentu
sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak kehilangan syarat,
berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu
melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia
tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda riwayat Imam al-Bukhari
dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:
اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ
زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang
memimpin adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul (HR
al-Bukhari).
Dari Nafi’ bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda:
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim
wajib dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat.
Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR
al-Bukhari).
Di samping itu, al-khulafâ’
al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat secara mutlak sebagaimana yang
terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan mereka tidak dibatasi dengan masa
tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’ al-râsyidûn memimpin sejak
dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ sahabat yang
menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat
mutlak.
D. Hak dan Kewajiban Pemimpin
1. Hak pemimpin
Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk
di taati dan hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah
ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta
baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan
kedudukanya sebagai imam.[3]
Selain itu Dhafir
Al-Qasimy menyebutkan lagi hak imam dalam melaksanakan tugas imam dalam
melaksanakan tugas Negara:
a.
Hak mendapat penghasilan
(Al-Qasimy). Hak ini terang adanya, sebab imam telah melakukan pekerjaan demi
kemaslahatan umum, sehingga tak ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan
pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran sekarang, meskipun
lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah Abu Bakar ra,
atas desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan
khalifahnya.
b.
Hak mengeluarkan peraturan (Haq
Al-Tasyri’) Seorang imam juga berhak mengeluarkan peraturan yang mengikat
warganya, sepanjang peraturan itu tidak terdapat dalam Al-Qu’an dan mengikuti
Al-Sunnah. Dalam mengeluarkan praturan-peraturan imam mestilah mengetahui
kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash. Yang terpenting di
antaranya ialah musyawarah (AL-Syura) yakni bahwa dalam mengeluarkan suatu
peraturan, ini tidak boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus mempertimbangkan
fikiran dari para ahli dalam masalah yang bersangkutan. Selain itu peraturan
tersebut juga tidat boleh bertentangan dengan nash syara’ atau dengan
ruh-tasyri’ dalam al-qur’an dan sunnah[4]
Selain itu terdapat hak
pemerintah Negara dalam buku Sayyid Abul A’la Maududi yaitu :
1. Kepala
Negara jangan berfungsi secara otokratik, tetapi secara musyawarah, yaitu dia
harus melaksanakan tugasnya dengan selalu bermusyawarah dengan orang-orang yang
memegang tanggung jawab dalam pemerntahan da dengan wakil-wakil yang dipilih
rakyat.
2. Kepala
Negara tidak memiliki hak untuk mencabut UUD seluruhnya ataupun sebagian
diantaranya, atau menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan.
3. Badan
yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara juga akan memiliki kewenangan
untuk memberhentikannyamelalui suara mayoritas.
4. Mengenai
hak-hak kewarganegaraan kepala Negara sama kedudukannya dengan kaum muslim
lainnya dan tidak diperkenankan berada diatas hukum.
5. Semua
warga Negara, apakah anggota pemerintahan, pejabat maupun pribadi, akan berada
dibawah hukum yang sama serta yurisdiksi pengadilan yang sama.
6. Penyebarluasan
dan publikasi pandangan serta idielogi yang dianggap mengancam prinsip dan
cita-cita dasar Negara islam akan dilarang.
Berbagai wilayah Negara harus
dianggap sebagai unit-unit pemerintahan dari suatu Negara. Wilayah-wiayah ini
tidak akan dijadikan sebagai wilayah yang sifatnya rasial, linguistic ataupun
kesukuan, tetapi hanya berbagai wilayah –wilayah pemerintahan yang boleh diberi
kekuasaan-kekuasaan dibawah supremasi pusat sebagaimana yang dianggap perlu
untuk kemudahan administrasi
2. Kewajiban Pemimpin
kewajiban
imam menurut al-Mawardi adalah:
a. Memelihara
agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa yang telah di sepakati
oleh umat salaf.
b. Mentafidzkan
hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan
perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
c. Memelihara
dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha
mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan
terhadap jiwanya atau hartanya.
d. Menegakkan
hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara
hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
e. Menjaga
tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan
menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai
dengan muslim (mu’ahid).
f. Memerangi
orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah dengan baik tapi mereka
tidak mau masuk islam dan tidak pula menjadi kafir dzimi.
g. Memungut
Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau
ijtihad tanpa ragu-ragu.
h. Manetapkan
kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari
Baitul Mal dengan wajar serta membayarkanya pada waktunya.
i.
Menggunakan orang-orang yang dapat di
percaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan
pengurusan kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan
oleh orang-orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang jujur.
j.
Melaksanakan tugas-tugasnya yang
langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
Selain itu terdapat kewajiban pemimpin secara umum,
antara lain:
1.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Taat
kepada Allah dan RasulNya bukan hanya kewajiban rakyat, tetapi kewajiban
pemimpin pula karena keumuman ayat diatas.
2.
Mengajak umat agar beribadah kepadaAllah dan memberantas
kesyirikan.
Inilah
satu-satu(nya) tugas yang paling pokok, yang dipikul oleh
pemimpin agar mengajak umat beribadah kepada Allah Ta’ala dan memberantas semua
bentuk kesyirikan dan sarananya sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan khulafaur Rasyidin sesudahnya.
3.
Berbuat adil
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).
Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Imam yang menghukumi manusia dengan adil dan menunaikan amanat, wajib ditaati”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi 5/258 dan Tafsir Al-Baghawi 2/204).
4. Melaksanakan hukum Allah.
Pemimpin utama adalah Allah, sedangkan pemimpin manusia adalah khalifah di permukaan bumi, dia bertugas melaksanakan hukum Allah dan menyeru manusia untuk berhukum dengan hukum Nya. FirmanNya:
أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً
Maka patutkah aku mencari hakim selain
daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu
dengan terperinci. (QS. Al-An’am: 114).
5.
Menasehati masyarakatnya. Syaikh
Ibnu Utsaimin berkata: “Pemimpin berkewajiban menasehati rakyatnya, agar
kembali ke jalan yang benar untuk memperoleh maslahat dunia dan akhiratnya.
Rakyat akan mudah taat kepada pemimpinnya, dan hendaknya pemimpin menunaikan
amanat, karena orang yang taat kepada Allah akan disegani oleh umat”. (Lihat Huquq Da’ at Ilaiha Fithroh wa Qorroha
As-Syariah hal. 33-34)[5]
BAB III
PENUTUP
Dalam konteks keislaman arti
pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan sebutan imam, khalifah dsb.
Namun pada esensinya seorang pemimpin itu diproyeksikan untuk mengambil alih
peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Untuk memilih
seorang pemimpin ada dua cara yag cukup
signifikan Yang pertama, adalah pemilihan oleh parlemen ( ahlu al-aqdi wa
al-hal ) dan yang kedua adalah dengan cara ditunjuk oleh pemimpin atau khalifah
sebelumnya. Hak pemimpin menurut Al-Mawardi ada dua yaitu hak untuk ditaati
oleh rakyatnya dan hak untuk dibantu jika pemimpin tersebut mengalami suatu
permasalahan yang susah untuk dipecahkan.
Islam senantiasa menekankan kepada
setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak
menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada
terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka
hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
3.2
Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya
penulis menyadari sangat banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa
mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Figh Siyasah, (Bogor: Prenada Media,
2003),
Sayyid
Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995),
http://ritongaislami.blogspot.com/2015/04/pengangkatan-pemimpin-perspektif-fiqh.html
Akses 25 April 2020
http://amaliahgoresan.blogspot.com/2016/06/kriteria-pemimpin-hak-dan-kewajiban.html
Akses 25 April 2020
[1]http://amaliahgoresan.blogspot.com/2016/06/kriteria-pemimpin-hak-dan-kewajiban.html
Akses 25 April 2020
[2] http://ritongaislami.blogspot.com/2015/04/pengangkatan-pemimpin-perspektif-fiqh.html
Akses 25 April 2020
[3] H. A. Djazuli, Figh Siyasah, (Bogor: Prenada Media,
2003),hal: 95
[4] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem
Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355.
[5] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem
Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355
No comments:
Post a Comment