Iklan Sponsor

Wednesday 13 May 2020

Mekanisme Pengkatan Pembentukan Kepala Negara Hak dan Kewajiban Kepala Negara

efendyblooger.blogsot.com
FIQIH SIYASAH

Tentang :

Mekanisme Pengkatan Pembentukan Kepala Negara Hak dan Kewajiban Kepala Negara

Dosen Pengampu :Dr. Mohd Yasin,S.HI, MH






Description: Image result for logo stai an nadwah
 









Disusun oleh :

Kelompk : 7
M. Ardan Maulana
Prayoga  Pangestu




SEMESTER IV/HTN/B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMAN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Mekanisme Pengaktan Pemebentukan Kepala Negara Hak dan Kewajiban Kepala Negara tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliahyang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
                                                                                   
Kuala Tungkal   Maret 2020



DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam setiap sistem pemerintahan, terdapat metode dan mekanisme dalam pengangkatan dan pemberhentian pemimpin. Metode tersebut erat kaitannya dengan konsep kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân). Kedaulatan berkaitan dengan otoritas pembuat hukum yang harus ditaati seluruh warga negara. Sedangkan kekuasaan berkenaan dengan pihak yang menjadi pelaksana dan penegak hukum.
Dalam sistem kerajaan misalnya, raja menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan sekaligus. Dialah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum sekaligus penentu siapa yang menjadi penggantinya. Dalam hal ini, raja mengangkat ‘putra mahkota’, yang biasanya berasal dari keturunannya.
Sedangkan dalam sistem republik pemegang kedaulatan dan kekuasaan adalah rakyat. Konsekuensinya, semua hukum dan undang-undang menjadi otoritas parlemen yang dianggap menjadi representasi rakyat. Rakyat pula yang berhak memilih presiden atau kepala negaranya. Pemilihan itu bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat, bisa juga oleh parlemen.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana Mekanisme Pengankatan Kepala Negara?
2.      Apa Hak dan Kewajiban Kepala Negara?



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Mekanisme Pengkatan Pembetukan Kepala Negara

Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah dengan bai’at. Baiat dalam buku Fikih Siyasah karya Drs. Beni Ahmad Saebani M.si adalah perjanjian diantara dua golongan yaitu pemimpin dan rakyat untuk bersedia taat kepada aturan-aturan Allah dan Rasul.[1] Kesimpulan ini didasarkan pada baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw dan perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang khalifah. Baiat kaum Muslim kepada Rasulullah saw bukanlah baiat atas kenabian, tetapi baiat atas pemerintahan. Masalah baiat ini juga tercantum dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 12).
Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami mengerjakan atau


mengatakan yang haqq di mana saja kami berasa, tidak takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertaama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebeankan kepada mereka” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan alafadz al-Bukhari).
Juga Hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Sa’id al Khudri dari Rasulullah saw yang bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
Apabila dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR Muslim).
Nash-nash al-Quran dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa baiat merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam pengangkatan al-khulafâ’ al-râsyidûn.

B.     Beberapa Bentuk Pengangkatan Pemimpin

Bagi ummat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan Syariat Islam merupakan bagian dari menjalani aturan agama secara kaffah. Saat ini banyak terungkap keinginan untuk menegakkan Syariat Islam diberbagai tempat di seluruh Indonesia [2]Memilih pemimpin secara hukum syariah juga merupakan keinginan ummat Islam, akan tetapi kita harus mengetahui beberapa bentuk atau sistem pengangkatan pemimpin sesuai siyasah islamiyah.
Prosedur pengangkatan dan pembaitan khalifah dapat dilaksanakan dlam bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana pernah dipraktikkan dalam al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallah ‘anhum. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal, tatacara itu termasuk dalam perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan institusi kaum Muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam.
Pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah dihasilkan dari hasil musyawarah sebagian kaum Muslim di Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu, yang dicalonkan adalah Sa’ad bin Ubadah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Umar bin al-Khaththab, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak bersedia menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja. Bukan yang lain. Dari hasil musyawarah itu, dibaiatlah Abu Bakar. Pada hari kedua kaum Muslim diundang ke Masjid Nabawi untuk membaiat Abu Bakar. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah bai’at in’iqãd yang mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Sementara baiat pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian dan pasukan Muslim sedang berada medan perang melawan negara besar (Persia dan Romawi), beliau memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan. Setelah Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim, beliau pun mengetahui pendapat mayoritas yang menghendaki Umar sebagai penggantinya. Maka Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khaifah sesudahnya. Penunjukan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah. Sebab, sesudah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah Umar sah menjadi kaum Muslim. Bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim. Juga bukan dengan proses penunjukan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kehilafahan kepada Umar, tentu tidak diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah disebutkan sebelumnya yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum Muslim meminta beliau menunjuk penggantinya. Akan tetapi, Umar menolaknya. Karena terus didesak, Umar pun menunjuk enam orang yang bermusyawarah mengenai khalifah penggantinya. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhab bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, dan Saad bi Abi Waqash. Beliau juga menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan memimpin enam orang yang telah dicalonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka. Mereka diberikan jangka waktu tiga hari untuk membuat keputusan. Beliau berkata kepada Suhaib, “Jika lima orang telah bersepakat, dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah), sementara satu orang yang lain menolaknya, maka penggallah leher orang itu dengan pedang.” Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau memilih Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.
Setelah Umar wafat dan setelah para calon berkumpul Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?” Semua diam. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku mengundurkan diri.”
Abdurrahman mulai meminta pend pat mereka satu-persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya jawabannya terbatas pada dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk pendapat kaum Muslim dan menanyai siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman melakukannya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari.
Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata,”Aku melihat engkau banyak tidur. Demi Allah, janganlah kalian banyak tidur mengabiskan tiga hari ini –yakni tiga malam—dengan banyak tidur.” Ketika orang-orang melaksanakan subuh, maka sempurnalah pembaitan Utsman. Dengan baiat kaum Mukmin itulah Utsman menjadi khalifah. Bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang tersebut.
Sesudah Utsman bin ‘Affan terbunuh, mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.
Bertolak dari tatacara pembaiatan al-khulafâ’ al-râsyidûn para sahabat itu, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat. Di samping itu, syarat in’iqãd terpenuhi pada masing-masing calon. Kemudian di ambilalih pendapat Ahli Halli wa al-aqdi di antara kaum Muslim, yaitu yang merepresentasikan umat. Mereka merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa al-khulafâ’ al-râsyidûn. Siapa saja yang dikehendaki sahabat atau mayoritas para sahabat untuk dibaiat dengan in’iqãd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslim wajib membaiat mereka dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya khilafah yang menjadi wakil umatdalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan al-khulafa’ al-rasyidun –semoga Allah meridhai mereka. Selain itu, ada dua perkara lain yang dapat dipahami pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaiatan Utsman. Dua perkara itu adalah: (1) adanya amir atau pemimpin sementara selama masa penngangkatan khalifah yang baru, dan (2) pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal.

C.    Masa Jabatan Pemimpinan

Dalam sistem khilafah, jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi dengan waktu tertentu sebagaimana dalam sistem republik. Selama khalifah tidak kehilangan syarat, berpegang teguh kepada syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Hal ini didasarkan peda riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak hitam yang kepalanya seperti dipenuhi bisul (HR al-Bukhari).
Dari Nafi’ bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim wajib dalam hal yang disulai atau dibenci selama tidak diperintahkan maksiat. Apabila diperintahkan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).
Di samping itu, al-khulafâ’ al-râsyidûn`masing-masing telah dibaiat secara mutlak sebagaimana yang terdapat dalam sejumlah hadits. Kekhilafahan mereka tidak dibatasi dengan masa tertentu. Masing-masing dari al-khulafâ’ al-râsyidûn memimpin sejak dibaiat sampai wafat. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ sahabat yang menunjukkan bahwa kekhilafahan tidak mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat mutlak.

D.    Hak dan Kewajiban Pemimpin

1.      Hak pemimpin 

            Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di taati dan hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukanya sebagai imam.[3]
Selain itu Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak imam dalam melaksanakan tugas imam dalam melaksanakan tugas Negara:
a.       Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy).  Hak ini terang adanya,  sebab imam telah melakukan pekerjaan demi kemaslahatan umum, sehingga tak ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran sekarang, meskipun lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah Abu Bakar ra, atas desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan khalifahnya.
b.      Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri’) Seorang imam juga berhak mengeluarkan peraturan yang mengikat warganya, sepanjang peraturan itu tidak terdapat dalam Al-Qu’an dan mengikuti Al-Sunnah. Dalam mengeluarkan praturan-peraturan imam mestilah mengetahui kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash. Yang terpenting di antaranya ialah musyawarah (AL-Syura) yakni bahwa dalam mengeluarkan suatu peraturan, ini tidak boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus mempertimbangkan fikiran dari para ahli dalam masalah yang bersangkutan. Selain itu peraturan tersebut juga tidat boleh bertentangan dengan nash syara’ atau dengan ruh-tasyri’ dalam al-qur’an dan sunnah[4]
Selain itu terdapat hak pemerintah Negara dalam buku Sayyid Abul A’la Maududi yaitu :
1.      Kepala Negara jangan berfungsi secara otokratik, tetapi secara musyawarah, yaitu dia harus melaksanakan tugasnya dengan selalu bermusyawarah dengan orang-orang yang memegang tanggung jawab dalam pemerntahan da dengan wakil-wakil yang dipilih rakyat.
2.      Kepala Negara tidak memiliki hak untuk mencabut UUD seluruhnya ataupun sebagian diantaranya, atau menyelenggarakan pemerintahan tanpa majelis permusyawaratan.
3.      Badan yang diberi wewenang untuk memilih Kepala Negara juga akan memiliki kewenangan untuk memberhentikannyamelalui suara mayoritas.
4.      Mengenai hak-hak kewarganegaraan kepala Negara sama kedudukannya dengan kaum muslim lainnya dan tidak diperkenankan berada diatas hukum.
5.      Semua warga Negara, apakah anggota pemerintahan, pejabat maupun pribadi, akan berada dibawah hukum yang sama serta yurisdiksi pengadilan yang sama.
6.      Penyebarluasan dan publikasi pandangan serta idielogi yang dianggap mengancam prinsip dan cita-cita dasar Negara islam akan dilarang.
Berbagai wilayah Negara harus dianggap sebagai unit-unit pemerintahan dari suatu Negara. Wilayah-wiayah ini tidak akan dijadikan sebagai wilayah yang sifatnya rasial, linguistic ataupun kesukuan, tetapi hanya berbagai wilayah –wilayah pemerintahan yang boleh diberi kekuasaan-kekuasaan dibawah supremasi pusat sebagaimana yang dianggap perlu untuk kemudahan administrasi

2.              Kewajiban Pemimpin

kewajiban imam menurut al-Mawardi adalah:
a.       Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa yang telah di sepakati oleh umat salaf.
b.      Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
c.       Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
d.      Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
e.       Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
f.       Memerangi orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah dengan baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula menjadi kafir dzimi.
g.      Memungut Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
h.      Manetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta membayarkanya pada waktunya.
i.        Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang jujur.
j.        Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan menjaga agama.
              Selain itu terdapat kewajiban pemimpin secara umum, antara lain:
1.      Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Taat  kepada Allah dan RasulNya bukan hanya kewajiban rakyat, tetapi kewajiban pemimpin pula karena keumuman ayat diatas.
2.      Mengajak umat agar beribadah kepadaAllah dan memberantas kesyirikan.
Inilah satu-satu(nya) tugas yang paling pokok, yang dipikul oleh pemimpin agar mengajak umat beribadah kepada Allah Ta’ala dan memberantas semua bentuk kesyirikan dan sarananya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur Rasyidin sesudahnya.
3.      Berbuat adil

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ

 

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,  dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).

Sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Imam yang menghukumi manusia dengan adil dan menunaikan amanat, wajib ditaati”. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi 5/258 dan Tafsir Al-Baghawi 2/204).

4.        Melaksanakan hukum Allah.

Pemimpin utama adalah Allah, sedangkan pemimpin manusia adalah khalifah di permukaan bumi, dia bertugas melaksanakan hukum Allah dan menyeru manusia untuk berhukum dengan hukum Nya. FirmanNya:

أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan terperinci. (QS. Al-An’am: 114).
5.      Menasehati masyarakatnya. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Pemimpin berkewajiban menasehati rakyatnya, agar kembali ke jalan yang benar untuk memperoleh maslahat dunia dan akhiratnya. Rakyat akan mudah taat kepada pemimpinnya, dan hendaknya pemimpin menunaikan amanat, karena orang yang taat kepada Allah akan disegani oleh umat”. (Lihat Huquq Da’ at Ilaiha Fithroh wa Qorroha As-Syariah hal. 33-34)[5]





BAB III

PENUTUP

Dalam konteks keislaman arti pemimpin dalam konsep lughoh sering disebut dengan sebutan imam, khalifah dsb. Namun pada esensinya seorang pemimpin itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran serta fungsi nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Untuk memilih seorang pemimpin  ada dua cara yag cukup signifikan Yang pertama, adalah pemilihan oleh parlemen ( ahlu al-aqdi wa al-hal ) dan yang kedua adalah dengan cara ditunjuk oleh pemimpin atau khalifah sebelumnya. Hak pemimpin menurut Al-Mawardi ada dua yaitu hak untuk ditaati oleh rakyatnya dan hak untuk dibantu jika pemimpin tersebut mengalami suatu permasalahan yang susah untuk dipecahkan.
Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
3.2         Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.




DAFTAR PUSTAKA


Djazuli,  Figh Siyasah, (Bogor: Prenada Media, 2003),
Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995),
http://ritongaislami.blogspot.com/2015/04/pengangkatan-pemimpin-perspektif-fiqh.html Akses 25 April 2020
http://amaliahgoresan.blogspot.com/2016/06/kriteria-pemimpin-hak-dan-kewajiban.html Akses 25 April 2020



[1]http://amaliahgoresan.blogspot.com/2016/06/kriteria-pemimpin-hak-dan-kewajiban.html Akses 25 April 2020
[2] http://ritongaislami.blogspot.com/2015/04/pengangkatan-pemimpin-perspektif-fiqh.html Akses 25 April 2020
[3] H. A. Djazuli,  Figh Siyasah, (Bogor: Prenada Media, 2003),hal: 95
[4] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355.
[5] Sayyid Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 1995), hal.353-355

No comments:

Post a Comment