MAKALAH
“ETIKA PROFESI HUKUM”
Tentang :
“Etika
Profesi Jaksa’’
Dosen Pengampu
: Imam Wahyu Jati, S.H.Mkn
Disusun oleh
:
KHALIMAH
19.21.003
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur
atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan.
Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang
“Etika
Profesi JaksaAgar Bisa Diterapkan Dalam Konteks Sekarang
Kami
sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para
pembaca.
Demikianlah
makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Kuala
Tungkal, April 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
penjelasan umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya
jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the
law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
Kejaksaan
sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakan HAM,
serta pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang me-laksanakan kekuasaan Negara
di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum,
keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma
keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan
juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain:
turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan
Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah profesi jaksa itu ?
2.
Bagaimana lembaga kejaksaan di Indonesia dan pengawasan terhadap jaksa ?
3.
Bagaimanakah kode etik bagi profesi jaksa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profesi Jaksa
Profesi
Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksa berasal
dari kata dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah
dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang
bertugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah kekuasaan kerajaan
majapahit. Patih Gajah Mada selaku pejabat Adhyaksa.
Sebagai
lembaga penegak hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan
diharapkan muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan.
Sehingga Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil
Negara dan wakil Negara dalam penegakan hukum.
Profesionalisme
jaksa terhambat oleh masalah-masalah seperti independensi, pelanggaran kode
etik, penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan
menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam
mengatasi sebuah perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi
keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu meningkatkan mengasah
kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun non
formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat rasional.
Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah yang mempergunakan
metodologi modern. Sehingga dapat mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap
perkara-perkara yang akan dihadapinya.
Dilihat
dari keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara
tampak sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus memiliki
keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan pendekatan
yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat
memahami peristiwa pidana secara
menyeluruh agar kebenaran dapat
ditemukan sehingga kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil[1]
B. Lembaga Kejaksaan di Indonesia dan Pengawasan Terhadap Jaksa
Peningkatan
disiplin Jaksa disamping dilakukan melalui pengawasan, melekat pengawasan
fungsional dan kode etik, juga dilakukan melalui pengawasan masyarakat.
Mekanisme kontrol eksternal dari masyarakat disalurkan melalui tromol pos 5000,
tromol pos 4343 atau kepada pimpinan Jaksa yang bersangkutan. Proses
penyelesaian laporan pengaduan masyarakat baik secara langsung maupun melalui
tromol pos selama ini ditangani oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan. Setelah
laporan masuk ke Kejaksaan agung kemudian ditindak-lanjuti oleh Jaksa Agung
Pengawasan melalui surat-menyurat ke Kejaksaan tinggi wilayah hukum Jaksa/
Pegawai yang terlapor.
Menurut
MS. Rahardjo, SH. (JAMWAS) semua laporan aduan masyarakat pasti akan ditangani
tetapi dalam proses pemeriksaan yang biasanya melalui surat-menyurat sehingga
penanganannya lambat, sehingga hasilnya kurang efektif. Bahwa penyebab kekurang
efektifnya penanganan laporan aduan masyarakat disebabkan mekanisme
penyelesaian aduan masyarakat menurut Peraturan pemeirntah nomor 30 tahun 1980
(PP 30 Tahun 1980) tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil memang mekanismenya
seperti itu. Ke depan, mekanisme penanganan laporan aduan masyarakat yang
digariskan oleh PP 30 Tahun 1980 perlu ditinjau kembali atau dibuatkan aturan
khusus bagi penanganan laporan aduan masyarakat di lingkungan Kejaksaan
sehingga tidak memakan waktu yang lama[2]
Hal lain
yang perlu dipikirkan adalah sudah saatnya mengklasifikasikan jenis pelanggaran
yang menjadi wewenang pemeriksaannya oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung
Muda Pengawasan dan Jaksa Agung sehingga tidak semua jenis pelanggaran bermuara
kepada Jaksa Agung. Bahwa setelah diterimanya laporan / pengaduan masyarakat,
oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan, laporan tersebut ditindaklanjuti kebenarannya
melalui mekanisme pemeriksaan dalam pengawasan internal Kejaksaan dengan
menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Berbagai
kasus yang ditangani oleh Kejaksaan yang menarik perhatian oleh masyarakat luas
sehingga keterbukaan penanganan kasus akan mengembalikan citra penegak hukum
khususnya lembaga Kejaksaan. Lembaga Kejaksaan harus mampu melaksanakan tugas
dan kewenangan yang ia miliki dengan penuh rasa tanggungjawab termasuk
memberikan alasan- alasan yang rasional terhadap kasus-kasus yang diberhentikan
penyidikannya (SP-3).
Berkaitan
dengan hal tersebut Suhadibroto mengatakan bahwa: Akses publik yang
diselenggarakan Kejaksaan masih jauh dari harapan masyarakat, sehingga oleh
masyarakat Kejaksaan diberi predikat sebagai instansi yang paling tertutup.Transparansi
lembaga Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem peradilan pidana tentunya
sangat diharapkan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan
undang-undang tetapi di sisi lain tetap menghormati asas praduga tak bersalah
sebagai cerminan perlindungan terhadap hak tersangka / terdakwa.
Lembaga
Kejaksaan memang secara kelembagaan sejak dari dulu sudah mempunyai mekanisme
pengawasan secara internal yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan
beserta jajarannya.
Bentuk
pertanggung-jawaban dari pengawasan internal selama ini terfokus hanya kepada
Presiden dan DPR sementara pertanggungjawaban kepada masyarakat masih dianggap
kurang. Dalam undang-undang tentang Kejaksaan RI sendiri hanya mengamanatkan
seperti demikian karena DPR sudah dianggap jelmaan dari masyarakat.
Persoalannya adalah banyak keinginan dari masyarakat yang belum terakomodir
dengan apa yang disuarakan oleh anggota DPR, dengan demikian lembaga Kejaksaan
harus tanggap terhadap tentang rasa ketidak-puasan oleh masyarakat pada umumnya. Dengan hadirnya komisi Kejaksaan
diharapkan akan memberi solusi[3]
Jadi
komisi Kejaksaan diharapkan sebagai sarana pertanggung-jawaban kepada publik
oleh lembaga Kejaksaan untuk menyampaikan tentang apa yang telah, sedang dan
akan dilakukan oleh lembaga Kejaksaan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja
lembaga Kejaksaan. Menurunnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada
lembaga Kejaksaan. disebabkan karena minimnya upaya pengawasan yang dilakukan
terhadap lembaga Kejaksaan. Padahal, untuk memenuhi terselenggaranya Clean
Government (Pemerintahan yang bersih) dan Good Governance (pemerintahan yang
baik) dalam suatu sistem pemerintahan, keduanya tidak dapat dipisahkan karena
pemerintahan yang bersih merupakan bagian yang integral dari pemerintahan yang
baik dan pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan
yang baik. Dengan kata lain bahwa pemerintahan yang bersih adalah sebagian dari
pemerintahan yang baik.
Hal ini
merupakan prinsip penting yang harus terpenuhi sebagai salah satu perwujudan
akuntabilitas dari setiap penyelenggaraan kekuasaan publik.Pemerintahan yang
baik (Good Governance) mencerminkan kesinergian antara pemerintah dan
masyarakat. Salah satu komponennya adalah pemerintahan yang bersih, yaitu
pemerintahan yang didasarkan atas keabsahan bertindak dari pemerintah. Karena
itu pembahasan pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik sebagai norma
pemerintahan, adalah suatu sasaran yang akan dituju dan diwujudkan dalam
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan asas-asas umum pemerintahan yang baik
layak sebagai norma mengikat yang menuntun pemerintah dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik.
Sinergitas
antara pemerintahan yang baik dan asas umum pemerintahan yang layak menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Seorang Jaksa pada khususnya dan
pegawai Kejaksaan secara umum untuk senantiasa menghayati tugas dan tanggung
jawabnya sebagai aparat penegak hukum. Salah satu caranya adalah selalu
memegang kode etik dan menjaga profesionalitas dalam menjalankan tugas.
Pembentukan Komisi Kejaksaan merupakan suatu langkah pengawasan dalam rangka
pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan baik dilingkungan kejaksaan, karena
ini dinilai penting untuk “mengawasi” kinerja Kejaksaan dan membuat rekomendasi
kepada Presiden untuk menentukan kebijakannya di bidang hukum. Dalam pertemuan
puncak seluruh institusi hukum yang ketiga (Law summit III) difasilitasi oleh
Governance Reform in Indonesia direkomendasikan pembentukan lembaga pengawasan
eksternal Kejaksaan.
Dalam
pembahasan revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang melahirkan
Undang-undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, maka Dewan Perwakilan Rakyat
menyepakati Pembentukan Komisi Kejaksaan. Adanya tugas Komisi Kejaksaan untuk
memantau dan menilai lembaga Kejaksaan, ke depan Komisi Kejaksaan diharapkan
mampu memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung berupa rekomendasi tentang
perbaikan organisasi penyusunan penyempurnaan mekanisme pengawasan dan tata
kerja pengawasan yang baku, partisipatif, transparan dan akuntabel. Selain itu
komisi Kejaksaan ikut mendorong penyusunan aturan mengenai tingkah laku Jaksa
(Code of Conduct Jaksa) ini terkait dengan apa yang dikatakan oleh efektif dan
berhasil tidaknya pemidanaan sangat bergantung kepada realitas penegakan
hukumnya. Hal ini sangat berkaitan dengan unsur hukum yaitu materi hukum,
struktur hukum dan budaya hukum, dalam sebuah masyarakat.
Materi
hukum meliputi perangkat perundang-undangan, kemudian struktur hukum menyangkut
aparat penegak hukum dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang dianut
dalam suatu masyarakat. Karena hanya sebatas rekomendasi, keberhasilan komisi
Kejaksaan sangat tergantung pada diri Jaksa Agung dan anggota komisi Kejaksaan.
Anggota Komisi Kejaksaan harus aktif memantau hasil penelitian yang diserahkan
kepada Jaksa Agung ditindaklanjuti dan harus aktif melaporkan kepada masyarakat
yang mengadu tentang perkembangan kasus yang diadukan.Selanjutnya dalam pasal
13 ayat (2) menyebutkan, dalam hal komisi Kejaksaan menerima langsung lapoan
masyarakat sebagaimana dalam pasal 11 huruf a, wajib mengirimkan salinan
laporan tersebut kepada Jaksa Agung untuk segera ditindak lanjuti oleh aparat
internal.
Adanya
keharusan dari komisi Kejaksaan yang menerima langsung pengaduan dari
masyarakat dan harus mengirimkan salinan laporan tersebut kepada Jaksa Agung
untuk ditindaklanjuti oleh aparat pengawasan internal Kejaksaan.Semestinya
tidak semua laporan aduan dari masyarakat diteruskan kepada Jaksa Agung untuk
ditindak lanjuti oleh pengawasan internal. Komisi Kejaksaan harus diberikan
kewenangan untuk menentukan laporan masyarakat yang mana ia periksa sendiri dan
yang mana yang harus diteruskan kepada Jaksa Agung berdasarkan kasus yang
dilaporkan. Contoh, pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan
oleh aparat pengawasan internal sendiri menjadi kewenangan komisi Kejaksaan
untuk memeriksa langsung[4]
C. Syarat-Syarat untuk Diangkat Menjadi Jaksa
Kejaksaan sebagai lembaga Negara yang mempunyai tugas
penegakan dan supremasi hokum memerlukan tenaga yang profesional dan memiliki
budi pekerti yang baik. Sebab pundak seorang jaksa terdapat beban yang begitu
berat sebagai salah satu pilar utama penegakan hokum di Indonesia sehingga
kalau persayaratan ini tidak diikuti akan berdampak pada penegakan hokum
tersebut, dan di sinilah korelasi yang signifikan penetapan persyaratan yang
harus dipenuhi bagi seorang calon jaksa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 9 UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan bahwa syarat-syarat untuk dapat
diangkat menjadi jaksa adalah:
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c.
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
d.
Birjazah paling rendah sarjana hokum
e.
Berumur paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 35 tahun
f.
Sehat jasmani dan rohani
g.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
h.
Pegawai negeri sipil
Dalam menjalankan tugasnya seorang jaksa tunduk dan patuh
pada tugas dan wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang ini. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1991 yang berbunyi:
dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.
Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
c.
Melkukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pelepasan
bersyarat;
d.
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) diatas, maka
dalam UU Kejaksaan yang baru menyangkut wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal
30 ayat (1) dinyatakan bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang:
a.
Melaksanakan penuntutan;
b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah mmperoleh kekuatanhukum tetap;
c.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat;
d.
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sementara itu, kejaksaan selain mempunyai tugas di bidang
penuntutan, juga diserahi tugas dibidang perdata dan tata usaha Negara. Hal ini
sesuai ketentuan dalam pasal 3o ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan
bahwa di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
Negara atau pemerintah. Kemudian dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan pasal 30 ayat (3):
a.
Peningkatan kesadaran hokum masyarakat;
b.
Pengamanan kebijakan penegakan hokum;
c.
Pengawasan peredaran barang cetakan;
d.
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e.
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
Penelitian dan pengembangan hokum serta statistic criminal[5]
D. Kode Etik Profesi Jaksa
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain.
Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu
profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan
melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam
melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan
mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak
hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali
merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan
dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap,
pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam
memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat
dalam bidang penegakan hukum
Sebagai kelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai
jaksa, berdasarkan keputusan jaksa agung nomor Kep-074/J.A./7/1978 tanggal 17
Juli 1978, disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat kejaksaan,
lambang kebanggaan korps, lambing cita-cita kejaksaan dan mengikat jiwa korps
kejaksaan.Pada panji tersebuit terdapat lambing korps kejaksaan, berbentuk
lukisan yang terdiri dari tiga buah bintang bersudut tiga, Pedang, timbangan,
setangkai padi dengan jumlah 17 butir dan kelopak bungan kapas sejumlah 8 buah
melingkari pedang dan timbangan ditengahnya. Dibawahnya terdapat seloka
berbunyi Satya Adhi Wicaksana.
Selanjutnya berdasarkan keputusan jaksa agung no.
kep-052/J.A./8/1979 yang disempurnakan oleh keputusan Jaksa Agung No.
kep-030/J.A./1988 ditetapkan doktrin kejaksaan tri karma adhyaksa, sebagai
pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan. Doktrin tersebut kemudian
dijabarkan dalam kode etik jaksa yang diterbitkan oleh pengurus pusat persatuan
jaksa pada tanggal 15 Juni 1993 yang disebut tata karma adhyaksa, terdiri atas
pembukaan dan 17 pasal.
Dalam
rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin
tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana
tertuang dalam peraturan jaksa agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007
tanggal 12 Juli 2007.
Dalam
kode perilaku jaksa antara lain disebut
a)
Kewajiban pasal (3)
1.
Mentaati kaidah hokum, peraturan perundang-undang dan
peraturan kedinasan yang berlaku
2.
Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai
dengan asas peradilan yang diatur dalam KUHAP.
3.
Berdasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk
mencapai keadilan kebenaran
4.
Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ ancaman,
opini public secara langsung atau tidak langsung
5.
Bertindak secara objektif dan tidak memihak
6.
Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki
oleh tersangka/terdakwa maupun korban
7.
Membangun dan memelihara hubungan antara aparat penegak
hokum dan mewujudkan system peradilan pidana terpadu
8.
Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau
financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung
9.
Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya
dirahasiakan
10. Menghormati kebebasan
dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
11. Menghormati dan
melindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang
tertera dalam peraturan perundang-undang dan instrument hak asasi manusia yang
diterima secara universal.
12. Menanggapi kritik
dengan arif dan bijaksana
13. Bertanggung jawab
secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
14. Yang bertanggung
jawab secara eksternal kepada public sesuai dengan kebijakan pemerintah dan
aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran
b)
Larangan (pasal 4)
Dalam menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
Menggunakan jabatan dan atau kekuasaanya
untuk kepentingan pribadi ata pihak lain Merekayasa fakta-fakta hokum dalam
penanganan perkara Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan
penekanan secara fisik atau dan psikis Meminta dan atau menerima hadiah dan
atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan atau menerima hadiah dan
atau keuntungan sehubungan dengna jabatannya Menangani perkara yang mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga, atau mempunyai hubungan pekerjaan, partai,
atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak
langsung Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun Membentuk opini public
yang dapat merugikan kepentingan kepenegakan hokum Memberikan keterangan kepada
public kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah kami diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka.
Asal mula kata Jaksa berasal dari kata dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit
jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa
sebagai pejabat Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah peradilan
di bawah kekuasaan kerajaan majapahit.
2.
Dari segi lembaga pengawas bagi jaksa, Peningkatan disiplin
Jaksa disamping dilakukan melalui pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan
kode etik, juga dilakukan melalui pengawasan masyarakat. Mekanisme kontrol
eksternal dari masyarakat disalurkan melalui tromol pos 5000, tromol pos 4343
atau kepada pimpinan Jaksa yang bersangkutan. Proses penyelesaian laporan
pengaduan masyarakat baik secara langsung maupun melalui tromol pos selama ini
ditangani oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
3.
Untuk syarat menjadi seorang jaksa sendiri dapat dilihat
dalam ketentuan dalam Pasal 9 UU Nomor 16 Tahun 2004, tentang syarat untuk
diangkat menjadi seorang jaksa.
4.
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain.
Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu
profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan
melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam
melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan
mengarah pada keberhasilan.
DAFTAR PUSTAKA
Angelina
Sinaga. Etika Profesi Jaksa. Https://Angelinasinaga.Wordpress.Com di akses pada
20 april 2020
Http://Ayusulaeman.Blogspot.Com/2014/04/Etika-Profesi-Jaksa.Html.
Di akses pada 20 April 2020
https://ulahcopas.blogspot.com/2016/05/etika-profesi-jaksa.html
di akses 20 April 2020
Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI
Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Supriadi. 2008. Etika Dan Tanggung
Jawab Profesi Hukum Diindonesia, Cetakan Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.
[1] https://ulahcopas.blogspot.com/2016/05/etika-profesi-jaksa.html
di akses 20 April 2020
[2]Angelina
Sinaga. Etika Profesi Jaksa. Https://Angelinasinaga.Wordpress.Com di akses pada
20 april 2020
[3] Marwan
Effendy. 2005. Kejaksaan RI Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum.
Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hlm.68.
[5] Supriadi.
2008. Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Diindonesia, Cetakan Kedua.
Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 127-129
No comments:
Post a Comment