Iklan Sponsor

Wednesday 6 May 2020

Etika Profesi Jaksa’


MAKALAH
“ETIKA PROFESI HUKUM”
Tentang :
Etika Profesi Jaksa’’
Dosen Pengampu : Imam Wahyu Jati, S.H.Mkn


Description: Image result for logo stai an nadwah

Disusun oleh :
KHALIMAH
19.21.003





JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb
            Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan. Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang “Etika Profesi JaksaAgar Bisa Diterapkan Dalam Konteks Sekarang
            Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
            Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam

Kuala Tungkal,  April 2020




Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Dalam penjelasan umum Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakan HAM, serta pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang me-laksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain: turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

B.     Rumusan Masalah

1. Apakah profesi jaksa itu ?
2. Bagaimana lembaga kejaksaan di Indonesia dan pengawasan terhadap jaksa ?
3. Bagaimanakah kode etik bagi profesi jaksa ?



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Profesi Jaksa

Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksa berasal dari kata dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah kekuasaan kerajaan majapahit. Patih Gajah Mada selaku pejabat Adhyaksa.
Sebagai lembaga penegak hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan. Sehingga Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara dalam penegakan hukum.
Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalah-masalah seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat rasional. Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah yang mempergunakan metodologi modern. Sehingga dapat mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang akan dihadapinya.
Dilihat dari keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus memiliki keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan pendekatan yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat memahami peristiwa pidana secara

menyeluruh agar kebenaran dapat ditemukan sehingga kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil[1]

B.     Lembaga Kejaksaan di Indonesia dan Pengawasan Terhadap Jaksa

Peningkatan disiplin Jaksa disamping dilakukan melalui pengawasan, melekat pengawasan fungsional dan kode etik, juga dilakukan melalui pengawasan masyarakat. Mekanisme kontrol eksternal dari masyarakat disalurkan melalui tromol pos 5000, tromol pos 4343 atau kepada pimpinan Jaksa yang bersangkutan. Proses penyelesaian laporan pengaduan masyarakat baik secara langsung maupun melalui tromol pos selama ini ditangani oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan. Setelah laporan masuk ke Kejaksaan agung kemudian ditindak-lanjuti oleh Jaksa Agung Pengawasan melalui surat-menyurat ke Kejaksaan tinggi wilayah hukum Jaksa/ Pegawai yang terlapor.
Menurut MS. Rahardjo, SH. (JAMWAS) semua laporan aduan masyarakat pasti akan ditangani tetapi dalam proses pemeriksaan yang biasanya melalui surat-menyurat sehingga penanganannya lambat, sehingga hasilnya kurang efektif. Bahwa penyebab kekurang efektifnya penanganan laporan aduan masyarakat disebabkan mekanisme penyelesaian aduan masyarakat menurut Peraturan pemeirntah nomor 30 tahun 1980 (PP 30 Tahun 1980) tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil memang mekanismenya seperti itu. Ke depan, mekanisme penanganan laporan aduan masyarakat yang digariskan oleh PP 30 Tahun 1980 perlu ditinjau kembali atau dibuatkan aturan khusus bagi penanganan laporan aduan masyarakat di lingkungan Kejaksaan sehingga tidak memakan waktu yang lama[2]
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah sudah saatnya mengklasifikasikan jenis pelanggaran yang menjadi wewenang pemeriksaannya oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung sehingga tidak semua jenis pelanggaran bermuara kepada Jaksa Agung. Bahwa setelah diterimanya laporan / pengaduan masyarakat, oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan, laporan tersebut ditindaklanjuti kebenarannya melalui mekanisme pemeriksaan dalam pengawasan internal Kejaksaan dengan menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Berbagai kasus yang ditangani oleh Kejaksaan yang menarik perhatian oleh masyarakat luas sehingga keterbukaan penanganan kasus akan mengembalikan citra penegak hukum khususnya lembaga Kejaksaan. Lembaga Kejaksaan harus mampu melaksanakan tugas dan kewenangan yang ia miliki dengan penuh rasa tanggungjawab termasuk memberikan alasan- alasan yang rasional terhadap kasus-kasus yang diberhentikan penyidikannya (SP-3).
Berkaitan dengan hal tersebut Suhadibroto mengatakan bahwa: Akses publik yang diselenggarakan Kejaksaan masih jauh dari harapan masyarakat, sehingga oleh masyarakat Kejaksaan diberi predikat sebagai instansi yang paling tertutup.Transparansi lembaga Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem peradilan pidana tentunya sangat diharapkan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan undang-undang tetapi di sisi lain tetap menghormati asas praduga tak bersalah sebagai cerminan perlindungan terhadap hak tersangka / terdakwa.
Lembaga Kejaksaan memang secara kelembagaan sejak dari dulu sudah mempunyai mekanisme pengawasan secara internal yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan beserta jajarannya.
Bentuk pertanggung-jawaban dari pengawasan internal selama ini terfokus hanya kepada Presiden dan DPR sementara pertanggungjawaban kepada masyarakat masih dianggap kurang. Dalam undang-undang tentang Kejaksaan RI sendiri hanya mengamanatkan seperti demikian karena DPR sudah dianggap jelmaan dari masyarakat. Persoalannya adalah banyak keinginan dari masyarakat yang belum terakomodir dengan apa yang disuarakan oleh anggota DPR, dengan demikian lembaga Kejaksaan harus tanggap terhadap tentang rasa ketidak-puasan oleh masyarakat pada   umumnya. Dengan hadirnya komisi Kejaksaan diharapkan akan memberi solusi[3]
Jadi komisi Kejaksaan diharapkan sebagai sarana pertanggung-jawaban kepada publik oleh lembaga Kejaksaan untuk menyampaikan tentang apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh lembaga Kejaksaan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja lembaga Kejaksaan. Menurunnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat kepada lembaga Kejaksaan. disebabkan karena minimnya upaya pengawasan yang dilakukan terhadap lembaga Kejaksaan. Padahal, untuk memenuhi terselenggaranya Clean Government (Pemerintahan yang bersih) dan Good Governance (pemerintahan yang baik) dalam suatu sistem pemerintahan, keduanya tidak dapat dipisahkan karena pemerintahan yang bersih merupakan bagian yang integral dari pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan yang baik. Dengan kata lain bahwa pemerintahan yang bersih adalah sebagian dari pemerintahan yang baik.
Hal ini merupakan prinsip penting yang harus terpenuhi sebagai salah satu perwujudan akuntabilitas dari setiap penyelenggaraan kekuasaan publik.Pemerintahan yang baik (Good Governance) mencerminkan kesinergian antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu komponennya adalah pemerintahan yang bersih, yaitu pemerintahan yang didasarkan atas keabsahan bertindak dari pemerintah. Karena itu pembahasan pemerintahan yang bersih tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik sebagai norma pemerintahan, adalah suatu sasaran yang akan dituju dan diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik dan asas-asas umum pemerintahan yang baik layak sebagai norma mengikat yang menuntun pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
Sinergitas antara pemerintahan yang baik dan asas umum pemerintahan yang layak menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Seorang Jaksa pada khususnya dan pegawai Kejaksaan secara umum untuk senantiasa menghayati tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum. Salah satu caranya adalah selalu memegang kode etik dan menjaga profesionalitas dalam menjalankan tugas. Pembentukan Komisi Kejaksaan merupakan suatu langkah pengawasan dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan baik dilingkungan kejaksaan, karena ini dinilai penting untuk “mengawasi” kinerja Kejaksaan dan membuat rekomendasi kepada Presiden untuk menentukan kebijakannya di bidang hukum. Dalam pertemuan puncak seluruh institusi hukum yang ketiga (Law summit III) difasilitasi oleh Governance Reform in Indonesia direkomendasikan pembentukan lembaga pengawasan eksternal Kejaksaan.
Dalam pembahasan revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang melahirkan Undang-undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati Pembentukan Komisi Kejaksaan. Adanya tugas Komisi Kejaksaan untuk memantau dan menilai lembaga Kejaksaan, ke depan Komisi Kejaksaan diharapkan mampu memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung berupa rekomendasi tentang perbaikan organisasi penyusunan penyempurnaan mekanisme pengawasan dan tata kerja pengawasan yang baku, partisipatif, transparan dan akuntabel. Selain itu komisi Kejaksaan ikut mendorong penyusunan aturan mengenai tingkah laku Jaksa (Code of Conduct Jaksa) ini terkait dengan apa yang dikatakan oleh efektif dan berhasil tidaknya pemidanaan sangat bergantung kepada realitas penegakan hukumnya. Hal ini sangat berkaitan dengan unsur hukum yaitu materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, dalam sebuah masyarakat.
Materi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, kemudian struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat. Karena hanya sebatas rekomendasi, keberhasilan komisi Kejaksaan sangat tergantung pada diri Jaksa Agung dan anggota komisi Kejaksaan. Anggota Komisi Kejaksaan harus aktif memantau hasil penelitian yang diserahkan kepada Jaksa Agung ditindaklanjuti dan harus aktif melaporkan kepada masyarakat yang mengadu tentang perkembangan kasus yang diadukan.Selanjutnya dalam pasal 13 ayat (2) menyebutkan, dalam hal komisi Kejaksaan menerima langsung lapoan masyarakat sebagaimana dalam pasal 11 huruf a, wajib mengirimkan salinan laporan tersebut kepada Jaksa Agung untuk segera ditindak lanjuti oleh aparat internal.
Adanya keharusan dari komisi Kejaksaan yang menerima langsung pengaduan dari masyarakat dan harus mengirimkan salinan laporan tersebut kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti oleh aparat pengawasan internal Kejaksaan.Semestinya tidak semua laporan aduan dari masyarakat diteruskan kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti oleh pengawasan internal. Komisi Kejaksaan harus diberikan kewenangan untuk menentukan laporan masyarakat yang mana ia periksa sendiri dan yang mana yang harus diteruskan kepada Jaksa Agung berdasarkan kasus yang dilaporkan. Contoh, pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pengawasan internal sendiri menjadi kewenangan komisi Kejaksaan untuk memeriksa langsung[4]

C.    Syarat-Syarat untuk Diangkat Menjadi Jaksa

Kejaksaan sebagai lembaga Negara yang mempunyai tugas penegakan dan supremasi hokum memerlukan tenaga yang profesional dan memiliki budi pekerti yang baik. Sebab pundak seorang jaksa terdapat beban yang begitu berat sebagai salah satu pilar utama penegakan hokum di Indonesia sehingga kalau persayaratan ini tidak diikuti akan berdampak pada penegakan hokum tersebut, dan di sinilah korelasi yang signifikan penetapan persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang calon jaksa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan bahwa syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah:
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c.       Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
d.      Birjazah paling rendah sarjana hokum
e.       Berumur paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 35 tahun
f.       Sehat jasmani dan rohani
g.      Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
h.      Pegawai negeri sipil
Dalam menjalankan tugasnya seorang jaksa tunduk dan patuh pada tugas dan wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang ini. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1991 yang berbunyi: dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.       Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
b.      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
c.       Melkukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat;
d.      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) diatas, maka dalam UU Kejaksaan yang baru menyangkut wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.       Melaksanakan penuntutan;
b.      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mmperoleh kekuatanhukum tetap;
c.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat;
d.      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Sementara itu, kejaksaan selain mempunyai tugas di bidang penuntutan, juga diserahi tugas dibidang perdata dan tata usaha Negara. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 3o ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan bahwa di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah. Kemudian dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pasal 30 ayat (3):
a.       Peningkatan kesadaran hokum masyarakat;
b.      Pengamanan kebijakan penegakan hokum;
c.       Pengawasan peredaran barang cetakan;
d.      Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;
e.       Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.       Penelitian dan pengembangan hokum serta statistic criminal[5]

D.    Kode Etik Profesi Jaksa

Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum
Sebagai kelengkapan dari pembinaan dan etika profesi sebagai jaksa, berdasarkan keputusan jaksa agung nomor Kep-074/J.A./7/1978 tanggal 17 Juli 1978, disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambing cita-cita kejaksaan dan mengikat jiwa korps kejaksaan.Pada panji tersebuit terdapat lambing korps kejaksaan, berbentuk lukisan yang terdiri dari tiga buah bintang bersudut tiga, Pedang, timbangan, setangkai padi dengan jumlah 17 butir dan kelopak bungan kapas sejumlah 8 buah melingkari pedang dan timbangan ditengahnya. Dibawahnya terdapat seloka berbunyi Satya Adhi Wicaksana.
Selanjutnya berdasarkan keputusan jaksa agung no. kep-052/J.A./8/1979 yang disempurnakan oleh keputusan Jaksa Agung No. kep-030/J.A./1988 ditetapkan doktrin kejaksaan tri karma adhyaksa, sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan. Doktrin tersebut kemudian dijabarkan dalam kode etik jaksa yang diterbitkan oleh pengurus pusat persatuan jaksa pada tanggal 15 Juni 1993 yang disebut tata karma adhyaksa, terdiri atas pembukaan dan 17 pasal.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan jaksa agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Dalam kode perilaku jaksa antara lain disebut
a) Kewajiban pasal (3)
  1.      Mentaati kaidah hokum, peraturan perundang-undang dan peraturan kedinasan yang berlaku
  2.      Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang diatur dalam KUHAP.
  3.      Berdasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan kebenaran
  4.      Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ ancaman, opini public secara langsung atau tidak langsung
  5.      Bertindak secara objektif dan tidak memihak
  6.      Memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa maupun korban
  7.      Membangun dan memelihara hubungan antara aparat penegak hokum dan mewujudkan system peradilan pidana terpadu
  8.      Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung
  9.      Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan
10.      Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
11.      Menghormati dan melindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undang dan instrument hak asasi manusia yang diterima secara universal.
12.      Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana
13.      Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
14.      Yang bertanggung jawab secara eksternal kepada public sesuai dengan kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran
b) Larangan (pasal 4)
Dalam menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
Menggunakan jabatan dan atau kekuasaanya untuk kepentingan pribadi ata pihak lain Merekayasa fakta-fakta hokum dalam penanganan perkara Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik atau dan psikis Meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan sehubungan dengna jabatannya Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau mempunyai hubungan pekerjaan, partai, atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun Membentuk opini public yang dapat merugikan kepentingan kepenegakan hokum Memberikan keterangan kepada public kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangan




BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dari makalah kami diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa:
1.      Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia Merdeka. Asal mula kata Jaksa berasal dari kata dyaksa. Pada masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah kekuasaan kerajaan majapahit.
2.      Dari segi lembaga pengawas bagi jaksa, Peningkatan disiplin Jaksa disamping dilakukan melalui pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan kode etik, juga dilakukan melalui pengawasan masyarakat. Mekanisme kontrol eksternal dari masyarakat disalurkan melalui tromol pos 5000, tromol pos 4343 atau kepada pimpinan Jaksa yang bersangkutan. Proses penyelesaian laporan pengaduan masyarakat baik secara langsung maupun melalui tromol pos selama ini ditangani oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
3.      Untuk syarat menjadi seorang jaksa sendiri dapat dilihat dalam ketentuan dalam Pasal 9 UU Nomor 16 Tahun 2004, tentang syarat untuk diangkat menjadi seorang jaksa.
4.      Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan mengarah pada keberhasilan.


DAFTAR PUSTAKA


Angelina Sinaga. Etika Profesi Jaksa. Https://Angelinasinaga.Wordpress.Com di akses pada 20 april 2020

Http://Ayusulaeman.Blogspot.Com/2014/04/Etika-Profesi-Jaksa.Html. Di akses pada 20 April 2020

https://ulahcopas.blogspot.com/2016/05/etika-profesi-jaksa.html di akses 20 April 2020

Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Supriadi. 2008. Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Diindonesia, Cetakan Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.




[1] https://ulahcopas.blogspot.com/2016/05/etika-profesi-jaksa.html di akses 20 April 2020
[2]Angelina Sinaga. Etika Profesi Jaksa. Https://Angelinasinaga.Wordpress.Com di akses pada 20 april 2020
[3] Marwan Effendy. 2005. Kejaksaan RI Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hlm.68.
[4] Http://Ayusulaeman.Blogspot.Com/2014/04/Etika-Profesi-Jaksa.Html. Di akses pada 20 April 2020
[5] Supriadi. 2008. Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Diindonesia, Cetakan Kedua. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 127-129

No comments:

Post a Comment