MAKALAH
Fiqh
Siyasah
“Perkembangan
dan Pemikiran Politik Islam
Abad
Klasik”
Dosen Pengampu: Dr. Mohd. Yasin,
S.HI.,M.H
Disusun
Oleh
Kelompok
: 12
Riana Pratiwi
18.31.12.18
Mutawalli Sya’rawi
18.31.11.97
STAI
AN-NADWAH KUALA TUNGKAL
Tahun
pelajaran 2020
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,karunia
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh Siyasah
tentang “Perkembangan dan Pemikiran
Politik Islam Abad Klasik” dengan tepat waktu
dan tanpa halangan apapun.Kami juga berterima kasih kepada bapak
Dr.Mohd.Yasin,S.HI.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Siyasah.
Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan kritik
dan saran yang sangat bermanfaat.Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah
wawasan kita tentang sabar.Semoga atas segala bantuan yang diberikan akan
mendapat balasan dari Allah SWT.Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna,untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak.
Kuala Tungkal,30 April 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan
agama Rahmatal lil ‘Alamin yaitu
rahmat bagi semesta alam yang di dalamnya tidak akan pernah ada kesulitan,
karena Allah telah mengatur semua yang ada di bumi ini untuk manusia. Dalam
politik Islam, tentunya akan ada pemikiran-pemikiran yang membuat masa
kepemimpinanya semakin kuat dan lama. Maka untuk itu dalam sejarah politik
Islam selama ini, terdapat beberapa kenyataan yang menjadikan politik itu
berhasil dan gagal, ciri-ciri yang khas dari masing-masing periode serta
tokoh-tokoh yang muncul dalam periode tersebut. Oleh sebab itu, penulis akan
menyusun tentang karakteristik pemikiran politik Islam pada periode klasik,
pertengahan, dan modern serta pola pemikiran politik Islam yang ideal.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Karakteristik Pemikiran Politik Islam pada Periode
Klasik ?
2. Bagaimana Pola Pemikiran Politik
Islam yang Ideal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pemikiran Politik Islam
Pemikiran
politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting
sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Piagam Madinah merupakan kontrak Rasulullah
bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku dan agama untuk membangun
Madinah dalam pluralitas. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama yang secara
brilian mampu menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian
bersama (Syarif dan Zada, 2008 : 26).
Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara
kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di
Saqifah Bani sa’idah.
Proses
pergantian kekuasaan yang tidak sama di masing-masing periode kekuasaan
(Saebani, Beni Ahmad, 2007: 213-219). (Abu Bakar dipilih dengan jalan
musyawarah terbatas antara kelompok Anshar dan Muhajirin, Umar ditunjuk oleh
Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan menjadi khalifah berdasarkan musyawarah tim
formatur, dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang
terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh sebagian kelompok umat Islam). Pemikiran
politik Islam terbagi dalam tiga periode besar, yakni:
B. Pemikiran Politik Islam masa Klasik dan Pertengahan
Pemikiran politik islam berkembang
secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah
ke Madinah. Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah,
yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok
agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah
bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam
untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik.
Setelah wafatnya Rasulullah Saw,
muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin
yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah. Kemudian berbagai peristiwa
politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar
Siddiq, Umar bin
Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat
islam.
Yang paling menegangkan dalam sejarah
Islam adalah peristiwa tahkim yang
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perebutan
kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis yang sangat kuat (kafir
mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya di masa Rasulullah tidak
ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan Murjiah.
Peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di
masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi
Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah
Waliyullah al-Dahlawi.[1]
1.
Periode Klasik
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi
dan keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi
Muhammad Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di
bawah kekuasaan islam. Pada masa
Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam
seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti
Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih
Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali),
dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti
Abbasiyah.
Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
a. Ibn Abi Rabi’ (833-842 M)
Adalah penulis kitab Suluk
al-Malik fi Tadbir al-mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan
Kerajaan-Kerajaan).[2]
Merupakan sarjana muslim pertama penggagas teori politik. Dalam teori
politiknya ada sebagian pengaruh falsafah politik Yunani.
Teori
pemikiran politik Ibn Abi Rabi’ dapat diringkas sebagai berikut :
1. Allah SWT menciptakan manusia
sebagai makhluk sosial, karena itu tidak ada orang yang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya secara sendiri.
2. Untuk mengatur dan menjamin
ketentraman hidupnya, Allah SWT. memberi petunjuk, aturan tentang kewajiban dan
haknya.
3. Allah SWT. mengangkat penguasa
sebagai tanfidz (pelaksana) demi terlaksananya petunjuk Illahi itu.
4. Bentuk pemerintahan yang ideal
adalah kerajaan turun temurun atau monarki.
5. Kepala Negara adalah orang yang
termulia di tempat itu.
Bernama lengkap Abu Nashr Muhammad
ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan sebutan nama Abu
Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama Al-Farabi. Ia dilahirkan di Utrar (Farab) pada 257 H/870
M, dan meninggal dunia di Damaskus pada
339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan
dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam
serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu [3]
Teori pemikiran
politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1. Allah SWT. menciptakan manusia
sebagai makhluk sosial.
2. Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3. Manusia mempunyai
perbedaan-perbedaan.
4. Ada masyarakat sempurna besar
semisal perserikatan internasional.
5. Masyarakat yang belum sempurna misalnya
masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6. Negara kota adalah kesatuan politik
yang terbaik, negara utama.
7. Warga Negara dibagi menjadi tiga
kelas, yaitu elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8. Kepala Negara harus ada lebih
dahulu, baru kemudian rakyat yang dikepalainya.
c. Al-Mawardi
(364-450 H)
Bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali ibn
Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam
al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan). dilahirkan
di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkemuka
mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan
Abbasiyah. Terbukti pada masa
pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia diangkat menjadi Ketua Mahkamah
Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.
Teori pemikiran politik Al-Mawardi dapat diringkas sebagai berikut:[4]
1.
Manusia secara syahsiyah adalah
berbeda, tetapi saling membutuhkan.
2.
Negara harus ditopang oleh enam hal
yaitu al-Diinu al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun
(penguasa yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun
‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian
kesuburan tanah).
3.
Iman, raja atau sultan merangkap
jabatan agama dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati
Fii hiraasati al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk
menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi,
130 H;4).
4.
Sistem kerajaan turun temurun
merupakan system ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang
memiliki kewenangan menggariskan kebijakan
dan wazir tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.
Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh
ahlu al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.
Hak mengisi jabatan adalah ahlu
al-imaamah yang memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat
inderanya, utuh anggota badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan
Quraisy.
7.
Pemilihan bisa melalui bisa melalui
ahlu al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.
Imam dapat dijatuhkan jika
menyimpang.
9.
Hubungan antara ahlu al-halli wa
al-‘aqdi dengan iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan
kewajiban dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang
di dunia Barat dan Timur.
d. Al-Ghazali
(450-505 H) .
Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali
ath-Thusi asy-Syafi'i . Ia lahir di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus,
Khurasan, (1059 M/450 h) dan meninggal di kota yang sama pada 1111 M/501
H. Al-Ghazali dapat dikatakan sebagai
pemikir muslim yang paling populer dan paling berpengaruh di dunia islam.
Pemikiran keislamannya meliputi seluruh aspek ajaran Islam.
Teori pemikiran
politik Al-Ghazali dapat diringkas sebagai berikut:[5]
1.
Manusia sebagai makhluk sosial.
2.
Manusia perlu pembagian tugas
meliputi pertanian, pemintalan, pembagian dan politik.
3.
Profesi politik merupakan hal yang
paling penting.
4.
Profesi politik adalah satu derajat
dibawah kenabian, harus dijabat oleh orang yang memiliki ilmu, mahir, arif dan
netral dari tugas lain.
5.
Pengangkatan imam merupakan tugas
syara’
6.
Hubungan agama dan politik seperti
dua anak kembar, agama sebagai pondasi dan sultan sebagai penjaganya.
7.
Sistem pemerintahan yang ideal
adalah teokrasi dengan kekuasaan muqaddas, khalifah sebagai bayangan
Allah dan ketaatan mutlak bagi rakyat.
8.
Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam Fadha’il
al Bathiniyah bahwa imamah ditegakkan oleh syaukah, dan syaukah ditegakkan
oleh mubaya’ah.
9.
Syaukah tidak dapat tercapai tanpa dukungan
mayoritas orang-orang kepercayaan pada zaman tersebut atau Mu’bar al-kul
al-Zaman.
Ada beberapa ciri yang menonjol dari
pemikiran politik Islam di zaman klasik. Pertama,
adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan plato tentang asal-usul
negara. Plato dalam teori politiknya menyatakan bahwa, negara terbentuk karena
begitu banyaknya kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan
dan kemampuan sendiri. Persekutuan hidup dan kerjasama yang semakin lama
semakin teroganisir dengan baik itu, kemudian membentuk negara. Teori ini
kemudian diambil pemikir politik islam sebagai kontruksi filosofis terbentuknya
negara, seperti karya Ibnu Abi Rabi’ Suluk
al-Malik fi Tadbir al-mamalik, al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, serta al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadhilah dan Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Meski demikian teori ini tidak
diambil secara sekuler, yakni dengan tujuan bernegara adalah tidak semata-mata
untuk kebutuhan lahiriyah manusia, tetapi juga kebutuhan rohaniyah dan
ukhrawiyah. Elaborasi ini oleh Al-Farabi dikemukakan dalm konsepnya tentang al-sa’adah (happiness) sebagai jalan
ruhani dalam kekuasaan dan oleh al-Mawardi dijelaskan negara dibentuk untuk
melanjutkan misi kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia.
Kedua, pemikiran politik yang berkembang
lebih berpijak pada kondisi real sosial-politik. Pemikiran mereka lebih banyak
dilahirkan sebagai respon terhadap kondisi soail-politik yang terjadi. Ibn Abi
Rabi’ yang menulis Suluk al-Malik fi
Tadbir al-mamalik merupakan karya persembahan kepada Khalifah Dinasti
Abbasiyah, al-Mu’tashim (833-842 M). tentu saja sebagai buku persembahan, Ibn
Abi Rabi’ tidak melakukan kritik terhadap khalifah. Karena itu, Ibn Abi Rabi’
menekankan kepatuhan mutlak kepada pemerintahan khalifah. Berbeda dengan Ibn
Abi Rabi’, al-Ghazali jelas-jelas
menunjukkan komitmen al-Ghazali untuk memeringatkan penguasa ketika berbuat
kesalahan.
Berbeda dengan kecenderungan
sebelumnya al-Farabi justru berpijak pada paradigma idealistik, utopian dan
cendeung tidak realistik. Karena itulah al-Farabi dalam teori politiknya bahwa
tujuan didirikannya negara untuk meraih kebahagiaan dan filsuflah yang mampu
mewujudkan kebahagiaan, sehingga yang pantas menjadi kepala negara adalah
filsuf. Kecenderungan al-Farabi terlihat ketika mengajukan gagasan negara ideal
al-madinah al-fadhilah, yakni kota
utama.kota utama sebagai suatu keseluruhan dai bagian-bagian terpadu. Aktivitas
sosial mereka masing-masing berbeda sesuai dengan tujuan masing-masing.
Kota ideal dalam pandangan al-Farabi
berbeda dengan al-madinah al-jahiliyah,
al-madinah al-fasiqah, al-madinah al-mutabadilah, dan al-mudinah al-dhalah,terutama anggota-anggota masyarakat yang
mendiaminya.kota ideal menurut al-Farabi memiliki anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan intelektual tinggi terutama kemampuan filsafatnya. Idealisme
al-Farabi ini jelas memberikan kesan bahwa ia adalah seorang pemikir yang
idealis. Kecendurungan inilah yang menyebabkan gagasannya sulit diwujudkan
dalam praktek.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sejarah karakteristik pemikiran
politik Islam pada periode klasik, pertengahan, dan modern, penulis akan
membuat kesimpulan, bahwa:
Pada periode klasik (abad ke-7 sampai
ke-13), merupakan masa ekspansi, integrasi, dan keemasan Islam. Dengan beberapa
ciri yang menonjol adalah adanya pengaruh alam pikiran Yunani dan politik yang
berpijak pada kondisi real (realistik) sosial-politik. Tokonya yaitu Ibn Abi
Rabi’, Al-Farabi, Al-Mawardi, dan
Al-Ghazali
Pola pemikiran politik Islam yang ideal
menurut penulis adalah responsif-realis yang terjadi pada periode pertengahan
yang merupakan pola pemikiran politik Islam yang apabila pemerintahnya itu
baik, maka rakyatnya pun baik atau sebaliknya.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan, apabila ada yang kurang mohon diberikan kritik
dan saran, agar lebih baiknya pembuatan karya ilmiah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah.
Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema
Insani Press.
Saebani, Beni Ahmad. 2007. Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam. Band
ung: Pustaka Setia.
Syafe’i, Zakaria. 2012. Negara Dalam Perspektif Islam Fiqih Siyasah.
Jakarta: Hartomo Media Pustaka.
Syarif, Mujar Ibnu dan Zada, Khamami.
2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam. Jakarta: Erlangga.
Tanthawi, Muhammad, dkk. 1997. Problematika Pemikiran Muslim Sebuah
Analisis Syar’iyah. Yogyakarta: Adi Wacana.
[3] Saebani, Beni
Ahmad. 2007. Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu
Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia.hlm
65
[4] Syarif, Mujar
Ibnu dan Zada, Khamami. 2008. Fiqh
Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga.hlm 97
[5] Tanthawi,
Muhammad, dkk. 1997. Problematika
Pemikiran Muslim Sebuah Analisis Syar’iyah. Yogyakarta: Adi Wacana.hlm 99
No comments:
Post a Comment