“Mujadalah Wal Munazarah”
Tentang :
“Mujadalah ”
Dosen Pengampu : Imam Khalid, S.Sos.M.I.Kom
Disusun oleh :
Kelmpok 4
Qurota
Ayunil Azizah
Siti Rodiyah
Jurusan :
KPI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’Mujadalah’’
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata
Kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
April 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah
merupakan tugas kita bersama untuk menjadikan manusia melakukan suatu perubahan
ke arah yang lebih baik lagi. Namun dalam perjalanan menyampaikan suatu
kebaikan, harus bisa melihat situasi dan kondisi tempat dan sasaran dakwah
dengan tepat. Dalam menyampaikannya tidak sembarang begitu saja, terdapat
beberapa metode bagaimana caranya agar dakwah tersebut dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat. Adapun caranya, bisa melalui dengan bil-hikmah, mauidzoh
khasanah, dan mujadalah atau yang biasa kita kenal dengan berdebat dengan cara
yang baik. Dalam mujadalah ini sangat
diperlukan sekali untuk para juru dakwah yang akan berinteraksi langsung dengan
si penerima dakwah. Dalam mujadalah pun di dalamnya terdapat suatu perdebatan
mengenai masalah agama yang masih perlu diperdebatkan. Dan tentunya harus
mempunyai landasan yang tepat agar mujadalah ini bisa dilakukan dengan baik dan
tanpa adanya kekecewaan antar dua belah pihak.
Oleh karean
itu, perlulah disusun makalah mengenai mujadalah ini agar para juru dakwah
dapat memahami dan melaksanakan dakwah dengan cara mujadalah yang sesuai dengan
ajaran yang telah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Metode Al-Mujadalah ?
2.
Macam-macam Mujadlah?
3.
Bagaimana Model Metode Mujadalah Pada Masa Nabi
Muhammad SAW?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Al-Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari
kata “Jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan Alif
pada huruf jim yang mengikuti wazan Faaala, “jaa dala” dapat
bermakna berdebat, dan “Mujadalah” perdebatan.[1]
Kata “Jaadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya
guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan
untuk menyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi
yang disampaikan.[2]
Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar
wa-almunadzarah, mengartikan bahwa “al-jidal” secara bahasa dapat bermakna pula
“datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-Jadlu” maka
berarti pertentangan atau perseteruan yang tajam. Al-Jarisyah menambahkan
bahwa, lafadz musytaqdarilafazh “al-Qatlu” yang berarti sama-sama
terjadi pertentangan, seperti halnya terjadinya perseteruan antara dua orang
yang saling bertentangan sehingga saling melawan/menyerang dan salah satu
menjadi kalah.[3]
Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian
al-Mujadalah (al-Hiwar). Al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat
yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya susunan yang
mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Sedangkan menurut Dr.
Sayyid Muhammad Thantawi ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan
pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Menurut tafsir an-Nasafi, kata ini mengandung arti:
Berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang
sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak,
lemah lembut, tidak
dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu
(perkataan) yang bisa menyadarkan hati membangunkan jiwa dan memerangi akal
pikiran, ini merupakan
penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan
dalam agama.
Mahmudah membagi al Jidal/al-Mujaadalah menjadi dua bagian,
yaitu Al-Khiwar dan As Ilah wa Ajwibah. Dari pembagian segi
bahasa tersebut terlihat, bahwa terdapat perbedaan pendapat antara al-Hiwar (Dialog)
dan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab). Al-Hiwar (dialog) dikemas dalam
bentuk dua orang berbicara dalam tingkat kesetaraan. Tidak ada dominasi yang satu
dengan yang lainnya. Dalam kerangka ini, metode ini dapat digunakan apabila
antara da’I dan mad’u berada pada tingkat kecerdasan yang sama.
Sedangkan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab) dikemas dalam bentuk dua
orang berbicara dalam tingkat yang berbeda. Salah satu sisi bertanya dan salah
satu sisi menjawab.[4]
B. Macam-macam Al-Mujadalah
1.
Al-Hiwar (Dialog)
Redaksi al-Mujadalah Allah
menyebutkan sebanyak 16 kali di dalam Al-Quran. Akan tetapi, redaksi Al-Qur’an
yang mempergunakan lafadz al-Mujadalah tidaklah menunjukkan al-hiwar/dialog.
Ayat-ayat yang mempergunakan redaksi al-mujaadalah, secara keseluruhan
menunjukkan dalam kontek pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat
(membantah/bantahan).
Ini berarti menunjukkan adanya
perbedaan antara “debat dan dialog”. Biasanya dalam perdebatan terjadi
perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa
bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya
masing-masing pihak dengan merendahkan pihak lain. Sedangkan dialog yang dalam
redaksi al-Quran menggunakan lafadz “al-Hiwar” dan disebutkan sebanyak 7
kali dalam al-Qur’an juga tidak mengisyaratkan dialog yang diharapkan dalam
pendekatan sebuah metode dakwah.
Dalam hal ini al-Quran menyikapinya
ternyata bukan mempergunakan redaksi al-Mujadalah/ al-Hiwar akan tetapi
memakai lafadz “Qaala” (dia telah berkata), “Yaquulu” (dia
sedang/ akan berkata), “Qul” (katakanlah), “Qaalu” (mereka telah
berkata), “yaquuluna” (mereka sedang/akan berkata) dan “Quuluu”
(katakanlah oleh kamu semua) diturunkan dari kata dasar “al-Qawl” yang
berarti pendapat, karena dalam dialog tersebut kedua pihak saling mengemukakan
pendapatnya, dan hal ini telah diungkapkan oleh al-Quran secara berulang-ulang
lebih dari 1700 [5]Firman
Allah SWT. surat An-Nahl 16:125 :
اُدْعُ اِلَي
سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْه هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Dengan melihat kejelasan di atas,
apa yang tercantum dalam lafadz “Al-Mujadalah” dalam Qs. An-Nahl 125,
sebagai bagian metode dakwah yang disampaikan oleh Allah dan disepakati oleh
para ulama dan mufassir bukanlah menunjukkan mujadalah yang dalam arti yang
sebenarnya, akan tetapi dalam konteks al-Hiwar. Bahkan begitu besarnya
perhatian Allah SWT terhadap bantahan/dialog ini Allah SWT paparkan dialog
dengan ahli kitab, dialog dengan orang munafik, dialog orang baik dan orang
jahat, dialog sesama orang jahat dan dialog dengan orang-orang shalih.
Dalam pemahaman surat an-nahl ayat
125, Nabi SAW diperintahkan berdakwah kepada golongan Yahudi, kemudian mengajak
mereka berdebat jika dakwah kurang diterima. Perdebatan senantiasa digunakan
Al-Qur’an dalam menghadapi masyarakat ahli kitab. Al-Qur’an selalu mengutarakan
kesalahan Ahli kitab serta kelemahan argumentasi mereka. Dalam perdebatan,
pihak yang telah jelas kesalahannya dan lemah argumentasinya dapat dipastikan
akan mengalami kekalahan. Selain itu, usaha para pemuka ahli kitab dalam
mengubah ajaran agama mereka juga menampakkan kesalahan yang nyata. Ada sisi
keunggulan ketika perdebatan digunakan untuk menghadapi ahli kitab. Pada saat
pemuka ahli kitab mengalami kekalahan, para pengikutnya yang masih awam segera
berpindah keyakinan usai melihat perdebatan. Bahkan tidak sedikit peserta debat
mengakui kesalahannya dan kemudian masuk islam.
Berdebat patut dijadikan sebagai
metode dakwah. Namun, perlu diketahui bahwa debat (Mujadalah) yang dimaksud di
sini adalah debat yang baik, adu argument dan tidak tegang (ngotot) sampai
terjadi pertengkaran. Sebab salah satu ciri berdebat adalah mencari kemenangan
dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi bila berdebat
mengakibatkan pertengkaran atau permusuhan.
Debat sebagai metode dakwah pada
dasarnya mencari kemenangan, dalam arti menunjukkan kebenaran dan kehebatan
islam. Dengan kata lain debat adalah mempertahankan pendapat dan idiologinya
agar pendapat dan idiologinya itu diakui kebenaran dan kehebatannya oleh musuh
(orang lain). Keutamaan metode debat adalah terletak pada kemenangannya dalam
mempertahankan benteng islam. Namun, metode debat sangat membahayakan bila
mengalami kekalahan dalam perdebatannya.
a)
Landasan dan Etika Berdialog
1)
Kejujuran
Dialog hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran,
bertujuan mencapai kebenaran, menjauhi kebohongan, kebathilan dan pengaburan.
Al-quran menyebutkan berbagai macam dialog yang terjadi antara Rasul dan
kaumnya, dan antara orang-orang yang berbuat kerusakan.
2)
thematik dan objektif
tematik dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya
tidak keluar dari tema utama sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan
mencapai sasaran yang diinginkan
3)
argumentatif dan logis
dialog bertujuan akhir agar lawan menyadari dan mengikuti
apa yang kita inginkan. Maka sangatlah nisbi apabila di dalam menyuguhkan
bantahan atau alasan tidak masuk akal. Oleh sebab itu, jawaban yang
argumentative dan logislah yang mampu membawa lawan untuk menerimanya.
4)
Bertujuan untuk mencapai
Setiap individu atau kelompok harus mencapai satu tujuan
yaitu menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang dipersilisihkan,
meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan.
5)
Memberi kesempatan kepada pihak
lawan
Memberikan kesempatan untuk memberikan alasan kepada pihak
lawan tanpa mengurangi hak bicaranya dan menjelek-jelekkan kepribadiannya. Di
samping itu memberikan kebebasan lawan untuk menanggapi ide-ide dan pikiran
yang dituangkan adalah langkah terpuji yang harus dilaksanakan
b)
Metode Dalam Berdialog
Langkah-langkah dalam berdialog:
1)
Mempersiapkan Materi
Tujuan dakwah adalah untuk mengembangkan islam dan merubah
perilaku manisia ke jalan yang baik demi kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
cara mendorong objek dakwah untuk menerima islam sebagai agama sekaligus
pedoman dalam hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu, dalam penggunaan metode
mujadalah, hendaklah da’I mempersiapkan sedini mungkin dalam memahami materi
sehingga dapat bertindak secara professional, ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan agar argument yang disampaikan dapat diterima oleh objek
dakwah.
2)
Mendengarkan pihak lawan dengan
arif, bijak, dan seksama
Langkah ini diambil agar memberikan kesan yang pertama begitu
menggoda, tidak menyinggung perasaan dan akhirnya da’I bukan hanya mengerti
akan tetapi memahami terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, sehingga
langkah ini menentukan terhadap apa yang menjadi argument da’I berikutnya
3)
Menggunakan ilustrasi/kiasan/gambaran
Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar
lebih yakin terhadap argument yang kita sampaikan. Ilustrasi berguna untuk
memperjelas setiap uraian pembicaraan.
4)
Mematahkan pendapat/alasan dengan
serang balik
Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas akan
tetapi tetap memperhatikan norma dan etika dalam berdialog.
5)
Jangan marah
Seseorang diskusi/dialog kadang dihadapkan persoalan yang
rumit di mana lawan bicara tidak mau menerima atau bahkan mencaci terhadap
da’i. oleh karena itu, da’I tidak boleh terpancing untuk marah. Karena yang
terjadi adalah kebuntuan dialog tersebut, dan ini berarti kebuntuan dakwah.
Oleh sebab itu, da’I tetap pada konsentrasi, menyejukkan dan tidak boleh
terpancing.
Perlu diingat bahwa Al-Qur’an selalu
membimbing umatnya kejalan yang baik dan benar agar umatnya berbahagia. Adapun
kewajiban da’I hanya mengajak dan menuntun manusia kepada kebenaran agama
islam. Akan tetapi apabila dengan metode atau cara-cara yang demikian masih
juga belum berhasil, maka juru dakwah tidak diperkenankan putus asa.
2.
As-Ilah Wa Ajwibah (Tanya Jawab)
Pada dasarnya As-Ilah Wa Ajwibah artinya
tanya jawab. Yang merupakan salah satu metode dalam berdakwah yakni metode
dialogis dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Kesan yang di timbulkan melalui
metode tanya jawab ini lebih kuat bila dibandingkan hanya dengan berkomunikasi
satu arah (One Way Communication).
Pembahasan tentang metode dakwah ini
menjadi begitu sangat penting sekali untuk diketahui dan dipelajari, terutama
bagi para da’I, ketika berhadapan dengan mad’u yang berbeda latar belakang
agama, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Untuk menghadapi mad’u yang beragam
dan berbeda-beda ini, diperlukan persiapan da’I baik persiapan materi maupun
persipan mental sehingga ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan mad’u nya, penda’I siap untuk menjawabnya.
a)
Ta’rif As-ilah wa Ajwibah
Lafadz As-ilah merupakan bentuk
jama’ dari lafadz السؤال yang berarti
pertanyaan-pertanyaan. Begitu pula dengan kata Ajwibah juga merupakan bentuk
jama’ dari lafadz اجابة yang artinya
adalah jawaban-jawaban.
Maka,
pengertian dari Mujadalah As-ilah wa Ajwibah adalah “perdebatan yang
dilakukan oleh dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan
sesuatu yang paling bagus atau yang paling baik, dalam bentuk mengajukan
pertanyaan dan jawaban yang merupakan argumennya masing-masing”
As-ilah wa
Ajwibah dalam Al-Qur’an, pada dasarnya sebuah jawaban itu harus sesuai dengan
pertanyaan, dengan bunyi kaidah:
الاصل فى الجواب
ان يكون مطابقا السؤال
Artinya: “Asalnya suatu jawaban
adalah harus sesuai dengan pertanyaan.”
Namun, terkadang ia menyimpang dari
apa yang dikehendaki pertanyaanya. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban
itulah yang harus ditanyakan. Contoh: Al-Baqarah ayat 198. Mereka menanyakan
kepada Rasulullah SAW tentang bulan, mengapa pada mulanya ia tampak kecil
seperti benang, kemudian menyusut lagi terus-menerus sampai kembali seperti
semula. Jawaban yang diberikan kepada berupa penjelasan mengenai hikmahnya,
untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal
tersebut, bukan yang mereka tanyakan itu
Terkadang,
jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena hal itu yang di anggap
perlu. Misalnya dalam QS. Al-An’am ayat 64 sebagai jawaban dari pertanyaan QS.
Al-An’am ayat 63.
Pertanyaan:
قُلْ مَنْ
يُّنَجِّيْكُمْ مِنْ ظُلُمَتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُوْنَهُ
تَضَرُّعًاوَّخُفْيَةً. لَئِنْ اَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
الشّاكِرِيْنَ.
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di
darat dan di laut, ketika kamu berdoa kepadanya dengan rendah hati dan dengan
suara yang lembut?” (Dengan mengatakan), “Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari
(bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur”.” (QS.
Al-An’am: 63)
Jawaban:
قُلِ اللهُ
يُنَجِّيْكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ اَنْتُمْ تُشْرِكُوْنَ.
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), “Allah yang menyelamatkan kamu dari bencana itu dan
dari segala macam kesusahan, namun kemudian kamu (kembali)
mempersekutukan-Nya”.” (QS. Al-An’am: 64)
Terkadang lebih sempit dari
pertanyaan, karena keadaan menghendaki demikian. Misalnya, QS. Yunus ayat 15.
Artinya: “Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang
tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Qur’an yang
lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (QS.
Yunus: 15)
Hal ini mengingatkan bahwa mengganti
lebih mudah daripada menciptakan. Jika mengganti saja tidak mampu tentulah
menciptakan lebih tidak mampu lagi.
Di dalam as-Sunnah disebutkan
tentang larangan terlalu banyak bertanya:
Artinya : “Wahai Muhammad!
Sesungguhnya ummatmu senantiasa bertanya: Apa ini? Apa itu? Sampai-sampai
mereka mengatakan : “Inilah Allah yang telah menciptakan makhluk, tapi siapakah
yang menciptakan Allah sendiri?” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu ‘Awaanah yang
bersumber dari Anas ra.)
b) As-Ilah wa
Ajwibah Sebagai Metode Dakwah
Berdasarkan
al-Qur’an surat An Nahl ayat 125
اُدْعُ اِلَي
سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْه هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan tentang metode dakwah, yakni dengan
hikmah, pelajaran yang baik dan membantah dengan cara yang baik. Namun,
pembahasan kali ini terfokus pada metode yang ketiga, yakni mujadalah. Jadilhum
billati hiya ahsan dilakukan apabila terpaksa timbul perbantahan atau
pertukaran pikiran, maka harus dengan cara yang baik sehingga orang yang
dibantah itu tidak merasa sakit hati dan mau mengikuti jalan yang baik dan
benar sesuai al Qur’an dan as Sunnah.
Menurut tafsir an-Nasafi, kata Jadilhum billati hiya
ahsan bermakna: “Berbantahan
dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara
lain dengan pekataan yang lunak, lemah-lembut, tidak dengan ucapan yang kasar
atau dengan mempergunakan suatu (perkataan)yang bisa menyadarkan hati, membangujiwa
dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan
melakukan perdebatan dalam agama.”
c) Obyek As-Ilah
wa Ajwibah
Adapun permasalahan-permasalahan
yang dijadikan objek As-ilah Wa Ajwibah adalah sangat bervariatif. Diantaranya
tentang hari kiamat, bulan, peperangan pada bulan haram, khamr dan judi,
pembagian harta rampasan perang, ruh, masalah-masalah khusus kewanitaan, hukum
waris, sedekah dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan urusan
kehidupan dunia.[6]
C. Model Metode Mujadalah Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di dalam perjalanan dakwah Rasulullah, Bagaimana Rasul
Berdialog dengan orang-orang kafir Quraisy. Menjelang wafatnya paman Nabi SAW,
Beliau di datangi serombongan musrykin Quraisy yang terdiri dari; Abu sufyan,
abu jahl, al-Nadhr bin al-Harts, Umayyah bin khalf, Ubay bin khalaf uqbah bin
Abu Muayyit, Amr bin Ash dan al aswad bin Bukturi. Kepada Abu Thalib mereka
berkata hey Abu Thalib anda adalah pemimpin kami, Sementara Muhammad
selalu menyakiti kami dan tuahn tuhan kami. Kami mohon agar anda memanggilnya
sehingga kita dapat melarangnya untuk tidak lagi menyebut-nyebut tuhan kita”. [7]
Abu Thalib kemudian memanggil nabi Muhammad, kemudian berkata; ‘’Mereka itu
kaum kamu dan anak anak paman kamu,’’ mau apa mereka? ‘’tanya Nabi’’ Secara
serempak mereka menjawab, ‘’Kami menghendaki agar kamu tidak lagi mengajak kami
untuk menyembah tuhanmu dan kamu tidak akan menyebut-nyebutnya lagi
berhala-berhala tuhan kami. Kami juga tidak akan menghalagi kamu untuk
menyembah tuhanmu.”
Abu Thalib menyela , “Kaum kamu itu telah melakukan kompromi dengan kamu itu
telah melakukan kompromi dengan kamu . Oleh karenanya terima sajalah
usulan mereka itu,’’Tahukah kalian semua, apabila usulan saya itu terima,
maukah kalian mengatakan satu kalimat yg dapat menjadikan kalian semua
menguasai Bahasa Arab,Sementara bangsa-bangsa asing akan tunduk kepada kalian?’
“Mau…,” Abu jahal langsung berkata, “Demi Ayahmu, Kami mau mengatakan sepuluh
kalimat itu”. Kalimat apakah itu? (Abu jahal penasaran). Nabi SAW.
Kemudian menjawab, “Katakanlah kalimat La Ilaaha Illallah (Tidak ada
Tuhan selain Allah).”
Mendengar jawaban nabi mereka terdiam tidak ada yg berbicara apa-apa. Akhirnya
Abu Thalib berkata, “Hai kemenakanku. Katakan Kalimat selain itu saja, kerana
kaum kamu itu sudah membenci kalimat itu.” Nabi Muhammad menjawab, “Hai
pamanku, saya tidak akan mengatakan kalimat selain itu bahkan seandainya mereka
menghadiahkan matahari untuk saya, maka saya tidak akan mengatakan kalimat
selain itu.”
Mendengar jawaban Nabi ini mereka lalu mengatakan, “Bila demikian, sekarang
tidak ada pilihan lain kecuali dua hal saja. Yaitu kamu menghentikan cercaanmu
terhadap tuhan-tuhan kami, atau kami akan mencerca tuhan yg mengutusmu.”
(demikian al-Wahidi Ali bin ahmad dalam kitabnya Asbab al-Nuzul, dan hal
inilah yang menyebabkan turunnya QS. Al-An’am 108, dan hal ini di kutip Ali
musthafaYa’qub)
Dengan melihat kejadian, ini merupakan kali pertama Rasulullah mendengarkan
betul apa yang di sampaikan oleh lawan bicaranya walaupun Rasul sendiri
mengetahui bahwa yang akan menjadi lawan bicaranya adalah orang-orang kafir
Quraisy yang selama ini terkenal dengan tipu muslihatnya termasuk Abu jahal.
Kedua, di saat Rasul diminta supaya berkomromi agar tidak menyerukan Tauhid
(menyembah Allah), Ternyata Rasul Tidak langsung menjawab kalimat tersebut,
malah menawarkan kepada lawan bicaranya, untuk menerima salah satu kalimat yang
apabila kalimat tersebut di ucapakan maka dapat menaklukkan bangsa Arab, bahkan
bangsa lain. Hal ini tidak di mengerti Abu Jahal CS, Sehingga Abu jahal
langsung spontinitas mengatakan; jangankan satu kalimat sepuluh kalimat pun ia
mau.” Akan tetapi, Ternyata Rasul dengan bantahan/jawaban yang mematahkan satu
kalimat tersebut adalaj “La Ilaha illallah”, bahkan di minta oleh Abu Thalib
supaya kalimat yang lain pun, Rasul tetap tidak akan berhenti dalam
menegakkan kalimat tauhid.”
Dengan ayat-ayat dan hadits tersebut di atas, Terlihat dengan jelas bahwa al
Qur’an dan al-sunnah memberikan begitu besar perhatiaanya kepada diskusi dan
metodenya dalam menghadapi serta menjelaskan terhadap lawan. Bagaimanapun
bentuk lawan yang kita hadapi dengan bantahan yang baik akan tetapi di sisi
lain kita membantahnya dengan bantahan yang tegas dan lugas demi mematahkan
pendapat lawan. Oleh karena itu islam pun mengajarkan agar dalam mempergunakan
dialog dapat terarah dan berhasil dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dakwah merupakan usaha seseorang untuk menyampaikan
suatu kebaikan agar orang yang diajak tersebut bisa mengikuti dan menjalankan
suatu kebaikan yang telah disampaikan tersebut.
Kaitannya dengan metode dakwah, ada beberapa pendapat
tentang definisi metode dakwah, antara lain:
·
Menurut
Al-Bayanuni metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan
strategi dakwah.
·
Menurut
Said bin Ali al-Qahthani, metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara
langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.
·
Menurut
‘Abd al-Karim Zaidan, metode dakwah (Uslub al-da’wah) adalah ilmu yang terkait dengan cara
melangsungkan penyampaian pesan dakwah
dan mengatasi kendala-kendalanya.
Seorang da’i dalam menggunakan mujadalah ini
diharuskan memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut :
·
Memiliki kemampuan dan ketrampilan
tentang teknik debat yang baik.
·
Menguasai betul tentang materi
dakwah. Mengetahui kelebihan dan kelemahan musuh dan sebagainya.
B. Saran
Seorang juru
dakwah harus mempunyai pengetahuan agama yang luas, dan mampu memahamkan
orang-orang yang masih ragu dalam menanggapi kebenaran yang disampaikan oleh
para juru dakwah kepada penerima dakwah tersebut. Dengan mempunyai pengetahuan
yang luas, maka ketika ada seseorang yang ingin mengajaknya untuk bermujadalah
bisa diterima dengan baik dan bisa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tanpa
adanya suatu perselisihan.
DAFTAR PUSTAKA
Wahidin
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), cet. 1,
M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2000), Cet.
Ke-1,
Munzier
Suparta, Metode Dakwah. (Jakarta :Rahmat Semesta. 2009).
Moh.
Ali Aziz, Ilmu Dakwah. Jakarta, Prenamedia Group. 2015), cet. 5, \
Asmuni
Syukir. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya, Al-Ikhlas. 1983
Hamzah
Tualeka. Pengantar Ilmu Dakwah. Surabaya: Alpha. 2005), cet. 1,
[1]Wahidin Saputra, Pengantar
Ilmu Dakwah (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), cet. 1, hlm 253.
[2]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2000), Cet. Ke-1, hlm, 553.
[3]Wahidin Saputra, Pengantar
Ilmu Dakwah,Op,cit hlm 254
[7] Hamzah Tualeka. Pengantar
Ilmu Dakwah. (Surabaya: Alpha. 2005), cet. 1, Hlm, 42.
No comments:
Post a Comment