MAKALAH
FIQH
SIYASAH
Tentang
“perkembangan
fiqh siyasah”
Dosen
pengampu: Drs. Mohd. Yasin, S.HI., M.H
Disusun oleh : kelompok 4
Aprianti (18.31.1188)
JURUSAN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA
TUNGKAL
Tahun 2020
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas
membuat makalah berjudul perkembangan sfiqh siyasah.. Makalah ini dibuat untuk
melatih sejauh mana diri kami mampu menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang
fiqh siyasah sebagai salah satu mata kuliah terpenting di semester ini.
Terbatasnya pengetahuan dan sempitnya waktu yang diberikan
kepada penulis, mungkin telah menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga isi makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan juga pembaca. Terimakasih.
Kuala
Tungkal, 25 maret 2020
penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan
menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh
golongan yang berpandangan sekuler. Munculnya masalah tersebut dipandang wajar
disebabkan karena risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang
penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Permasalahan pertama
yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah Wafat
adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau. Maka dari itu masalah
ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah wawasan
para pembaca tentang keislaman.
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji jauh tentang
kehidupan bermasyarakat khususnya bernegara yang dalam kajian ilmu fiqh disebut
sebagai fiqh siyasah. Hal ini kami harapkan dapat dijadika acuan bagi
rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat umumnya.
B. Rumusan masalah
Berhubungan pembahasan fiqh siyasah sangat luas maka dalam
tulisan ini kami batasi:
1. Apa yang dimaksud fiqh siyasah?
2. Apa saja pembaasan ruang lingkup
fiqh siyasah?
3. Bagaimana sejarah perkembangan fiqh
siyasah?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada
khususnya dan masyarakat umumnya tentang pengertian fiqh siyasah,ruang lingkup
serta sejarah perkembangannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh Siyasah
Fiqh menurut bahasa,
berarti paham atau tahu, atau pemahaan yang mendalam, yang menumbuhkan
pengaarahan potensi akal. Pengertian ini dalam ditemukan dalam Q.S Thaha ayat
27-28 yang artinya: “dan lepaskanlah kekakuan di lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku(Q.S Thaha (20)
27-28).
Pengertiah fiqh secara etimologi, juga ditemukan dalam sabda Rasulullah
SAW, yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ
فِى الدِّيْنٍ ……
Siapa orang yang Allah kehendaki menjadi
baik maka Allah akan memberikan dia pemahaman terhadap agama. (HR. Bukhari NO
71).
Menurut istilah sebagaimana dikemukakan
oleh Sayyid Al-Jurjany, bahwa fiqh adalah:
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ
مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan-perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci.
Abu Hanifah mendefinisikannya sebagai: “Pengetahuan diri seseorang
tentang apa yang menjadi hak nya, dan apa yang menjadi kewajibannya –atau
dengan kata lain- pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa
yang merugikannya.[16]
Al-Amidi mendefinisikan fiqh yang berbeda dengan definisi diatas, yaitu
: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyyah yang
berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Dengan
menganalisis kedua definisi diatas dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :
a.
Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah.
b.
Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah.
c.
Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili.
d.
Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang
mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara
ringkas dapat dikatakan, “Fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid
dalam usahanya menemukan hukum Allah.”
Fiqh mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia. Di samping mencakup pembahasan tentang hubungan antara manusia dengan
Tuhannya (ibadah), fiqh juga membicarakan aspek hubungan
antara sesama manusia secara luas
(muamalah). Aspek muamalah ini pun dapat dibagi lagi menjadi jinayah,
munakahat, mawaris, murafa’at, siyasah, al-ahkam al-dauliyah.
Sedangkan secara terminologis, banyak
definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam diantaranya: Abdul
Wahab Khallaf mendefinisikan, bahwa siyasah adalah perundangan yang diciptakan
untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serata mengatur keadaan.
Louis Ma’luf memberikan
batasan siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke
jalan keselamatan. Ibnu Manzhur mendefinisikan, siyasah adalah mengatur atau
memimpin sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kemaslahatan. Asy-Syatibi
dalam al-Muwafaqaat menulis: “Syariah adalah ketentuan ketentuan yang membuat
batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan
i’tiqad mereka. Itulah kandungan syari’at Islam”.
Mahmud Syaltut dalam
Islam, Akidah dan Syariah menulis: “Syariah adalah sebutan bagi berbagai
peraturan dan hukum yang telah disyariatkan Allah atau disyariatkan
prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin agar berpegang
teguh pada syariat tersebut dalam melakukan hubungan dengan Allah dan antar
manusia.
Dari penjelasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa syariat adalah hukum-hukum yang bersifat
amaliah, sebagaimana didefinisikanKetentuan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, berupa perintah melakukan sesuatu perbuatan, pemilihan atau
menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang.
Dari paparan pengertian
fiqh dan pengertian siyasah dapat disimpulkan bahwa fiqh siyasah yaitu bagian
dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan dengan
permasalahan kenegaraan.
Mengenai perbedaan fiqh
siyasah dengan siyasah syar’iyyah, di kalangan para pakar fiqh siyasah terjadi
perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan fiqh siyasah itu merupakan sinonim
bagi siyasah syar’iyyah. Pendapat lain menyatakan bahwa fiqh siyasah berbeda
dengan atau bukan merupakan sinonim siyasah syar’iyyah karena keduanya memiliki
perbedaan yang kontras. Dari pendapat tersebut yang paling tepat agaknya pendapat
kedua. Argumentasinya, fiqh siyasah merupakan teori-teori politik atau
ketatanegaraan dalam prespektif Islam yang merupakan produk ulama swasta yang
tercantum dalam berbagai macam kitab atau buku fiqh siyasah semisal dalam kitab
al-Ahkam al-Shulthaniyyah, buah karya al-Mawardi, dan karena itu, ia tidak
bersifat mengikat dan memaksa selama belum diangkat menjadi sebuah
undang-undang. Dalam kaitan ini, fiqh siyasah sama statusnya dengan fiqh pada
umumnya, yakni sama-sama tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan
memaksa untuk dipatuhi atau ditaati selama belum diadopsi menjadi
undang-undang. Sebaliknya, siyasah syar’iyyah merupakan berbagai peraturan yang
dilahirkan oleh umara dan atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan
perundang-undangan (qawanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat
mengikat dan memaksa, sehingga siapa pun yang melanggar atau tidak mematuhinya
akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, yang
berwenang menyusun siyasah syar’iyyah adalah umara atau ulama negeri yang duduk
di lembaga legislatif, bukan ulama swasta yang tidak memiliki otoritas politik
untuk menyusun qanun. Hal ini relevan dengan pendapat Abdul Wahab Khallaf yang
menyatakan bahwa pengertian siyasah syar’iyyah adalah sebagai berikut:
“Otoritas pemerintah untuk membuat kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan,
melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil
tertentu”.[1]
B. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah
Terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah.
Diantaranya ada yang membagi menjadi 5 bidang, ada yang menetaokan 4 bidang
atau 3 bidang pembahsaan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup
kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Namun perbedaan ini tidaklah
terlalu prinsip, karena hanya bersifat teknis.
Menurut Imam
al-Mawardi, didalam kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Shulthaniyyah, ruang
lingkup kajian fiqh siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyash
dusturiyah (peraturan perundang-undangan), siyasah maaliyah (ekonomi dan
moneter), siyasah qadhaiyyah (peradilan), siyasah harbiyyah (hukum perang) dan
siyasah iddariyah (administrasi negara).
Menurut Imam Ibn
Taimiyyah meringkasnya menjadi 4 bidang kajian, yaitu siyasah qadhaiyyah (peradilan),
siyasah iddariyah (administrasi negara), siyasah maaliyah (ekonomi dan
moneter), siyasah dauliyah/siyasah kharijiyyah (hubungan internasional).
Abd al-Wahab Khallaf
didalam kitabnya yang berjudul al-siyasah al-Syar’iyyah lebih mempersempitnya menjadi
3 bidang kajian saja, yaitu peradilan, hubungan internasional dan keuangan
negara.
Berbeda dengan tiga
pemikir diatas, salah satu ulama terkemuka di Indonesia T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy malah membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang, yaitu:
1.
Siyasah Dusturiyyah Syar’iyyah (Politik Pembuatan Undang-Undang).
2.
Siayash Tasyri’iyyah Syar’iyyah (Politik Hukum).
3.
Siyash Qadha’iyyah Syar’iyyah (Politik Peradilan).
4.
Siyasah Maaliyah Syar’iyyah (Politik Ekonomi dan Moneter).
5.
Siyasah Iddariyah Syar’iyyah (Politik Administrasi Negara).
6.
Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah Syar’iyyah (Politik Hubungan
Internasional).
7.
Siyasah Tanfidziyyah Syar’iyyah (Politik Pelaksanaan
Perundang-undangan).
8.
Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah
(Politik Peperangan).
Berdasarkan perbedaan
pendapat diatas, pembagian fiqh siyasah dapat disederhanakan menjadi 3 bagian
pokok. Pertama, politik perundang-undangan (Siyasah Dusturiyyah). Bagian ini
meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyri’iyyah) oleh lembaga
legislatif, peradilan (Qadhaiyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi
pemerintahan (iddariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif. Kedua, politik luar
negeri (Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara warga negara yang Muslin dengan warga negara non-Muslim yang
berbeda kebangsaan (as-Siyasah al-Duali al-Khashsh) atau disebut juga hukum
perdata internasional dan hubungan diplomatik antara negara Muslim dengan negara
non-Muslim (as-Siyasah al-Duali al-amm) atau disebut juga hubungan
internasional. Sedangkan dalam masa perang (Siyasah Harbiyyah) menyangkut
antara lain tentang dasar-dasar diizinkannya berperang, pengumuman perang,
etika berperang, tawanan perang, dan gencatan senjata. Ketiga, politik keuangan
dan moneter (Siyasah Maaliyah), antara lain membahas sumber-sumber keuangan
negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdaganan internasional,
kepentingan/hak-hak publik, pajak, dan perbankan.
C. Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah
Pemikiran politik Islam
berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak
Rasulallah hijrah ke Madinah. Di Madinah berbagai hubungan sosial dijabarkan
oleh Rasulallah, yang menyangkut kehidupan internal umat Islam dan hubungan
dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan
Rasulallah,bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi
umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah
merupakan kontrak rasulallah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku
dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah
menjadi konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan suku dan agama
dinaungi dalam perjnjian bersama.
Setelah wafatnya
Rasulallah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok
Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulallah di saqifah
yang pada gilirannya politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan
Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah
wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti Rasulullah membuktikan bahwa sejak
awal karakter yang diperlihatkan umat Islam begitu serius dalam membicarakan
persoalan politik. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot
berdebat di saqifah Bani Sai’dah karena masing-masing kelompok merasa layak
menjadi pengganti Rasulullah.
Kemudian berbagai peristiwa politik dalam
proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib menjadi sejarah penting bagi
umat Islam. Proses penggantian kekuasaaan yang tidak sama masing-masing periode
kekuasaan (Abu Bakar dipilih dengan jalan musyawarah terbatas antara kelompok
Muhajirin danAnshar, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan menjadi
khalifah berdasarkan musyawarah tim formatur, dan Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah dalam situasi politik yang terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh
sebagaian kelompok umat Islam) telah memunculkan perdebatan tentang mekanisme
apa yang harusnya dilakukan untuk menggani penguasa. Perdebatan ini menyangkut
mekanisme dan system politik yang dipraktikkan oleh Islam.
Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam
adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah
bin Abi Sufyan yang menjadi puncak perdebatan politik dikalangan umat Islam.
Perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah bin Abi Sufyan
telah melahirkan pesoalan teologis yang sangat kuat (kafir dan mengkafirkan).
Lahirlah aliran aliran teologi yang sebelumnya tidak pernah ada di masa
Rasulullah dan al-khulafa al-rasidin, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah
wal jama’ah dan Murji’ah.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan
pemikiran-pemikiran politik di masa-masa selanjutnya, yang merupakn respons
terhadap peristiwa dan hasil refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah
pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi,
ibn Taymiyah, Ibn-Khaldun, dan Syan Waliyullah al-Dahlawi.
Pemikiran politik Islam terbagi dalam tiga
periode besar, yakni periode klasik, pertengahan, dan modern. Periode klasik
berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 (1258M), periode pertengahan yang
berlngsung sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 (periode kejatuhan Abasiyah
hingga zaman kolonialisme), dan periode modern yang berlangsung sejak abad
ke-19 (kolonialisme) hingga sekarang.
1. Periode Klasik
Masa ini merupakan masa
ekpensi, integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai
di masa Nabi Muhammad SAW merupakan masa di masa seluruh semenanjung Arabia
telah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspensi ke daerah-daerah luar Arabia
dimulai di zaman khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga masa kekuasaan
Bani Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah sebagai pucak kejayaan Islam. Penting pula
dicatat bahwa di periode ini disintegrasi Islam di bidang politik sebenarnya
telah terjadi pada akhir zaman Bani
Umayyah dan memuncak di zaman Bani Abbasiyyah, terutama setelah
khalifah-khalifah menjadi boneka ditangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang
jauh letaknya dari pusat pemerintahan Damaskus dan kemudia Baghdad melepaskan
diri dari kekuasaan khalifah di pusat pemerintahan dan bemunculan
dinasti-dinasti kecil.
Pada masa awal-awal
Islam hingga Dinasti Umayyah (661-750 M), pemikiran politik islam belum begitu
kuat muncul dikalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi
dari kelompok Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti
Umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan, Brulah pada
masa Dinasti Abbasiyah, pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah
pemikiran politik Islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah
yang telah berhasil mengemba ngkan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang.
Dibawah Dinasti
Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keeasan sastra, terkumpulnya Shahih
Bukhari dan Muslim, munculnya empat imam madzab fiqh. Periode ini merupakan
puncak peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh bagi perdaban di Barat.
Para intelektual yang
muncul di periode klasik ini adalah:
1.
Ibn Abi Rabi’ (833-842 M) yang menulis suluk al- Malik fi Tadbir
al-Mamalik (perilaku Raja dalam pengelolahan Kerajaan-Kerajaan).
2.
Al-Farabi i (870-950 M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah al-fadhilah
(pandangan-pandangan para penghuni Negara Utama).
3.
A-Mawardi (975-1059 M ) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi
al-wilayah al-Diniyah (peraturan-peraturan pemerintahan).
4.
Al-ghazali (1058-1111 M) menulis Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali
Ilmu-Ilmu Agama), Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia
tentang Nasihat untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam
Kepercayaan), dan Kimiya-yi sa’adah.
Ada beberapa yang
menonjol dari pemikiran politik Islam di zaman klasik. Pertama, adanya pengaruh
alam pikiran Yunanni, terutama pandangan Plato tentang asal-usul Negara,
meskipun kadar pengaruhnya tidak sama. Kedua, pemikiran politik yang berkembang
lebih banyak berpijak kondisi real (realistic) sosial-politik.
2. Periode Pertengahan
Periode pertengahan
dibagi dalam dua masa, masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar
(Utsmai di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India). Periode pertengahan
ditandai dengan hancurnya dinasti Abbasiyah di tangan tentara Mongol 1258 M.
yang pada gerak selanjutnya kemudian kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran, sehingga orientasi pemikiran politiknya pun berrubah. Islam
mengalami perpecahan politik dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil dalam
kekhalifahan Islam. Jatuhnya Dinasti Abbasiyah sebagai dinasti yang banyak
melahirkan ilmu pengetahuan, mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk.
Sementara di luar dunia Islam, ada ancaman dari Negara-negara Barat yang sudah
mulai bangkit dari kegelapannya.Dlam kondisi sosial-politik yang carut-marut,
pemikiran politik Islam pada Periode ini mencerminkan kecenderungan
responsiif-realis tehadap dunia Islam. Beberapa intelektual yang muncul adalah:
1.
Ibn Taimiyah (1263-1328 M) yang menulis
al-siyasah al-syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al- Ra’iyah (politik yang
berdasarkan Syariah bagi perbaikan penguasa dan Rakyat).
2.
Ibn Khaldun (1332-1406 M) yang menulis Muqaddimah. Ibn Khaldun mewakili
kecenderungan sosiologis dalam mengemukakan pemikiran politiknya, terutama
tentang pembahasan teori solidaritas kelompok (ashabiyyah).
3.
Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M).
3. Periode Modern
Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negri-negri muslim.
Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan Barat. Dunia Islam tidak
mampu bangkit dari kemunduran yang berkepanjangan. Singkatnya, ada tiga hal
yang melatarbelakangi pemikiran Islam modern atau kontemporer. Pertama,
kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor-faktor
internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia
islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh Negara-negara Barat
atas sebagian besar wilayah dunia Islam dan berkembangnya di kalngan umat Islam
semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulang Barat dalam
bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Kecenderungan yang
seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba yang menyeru Barat, ada
juga menolak Barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam
periode ini ada tiga kecenderungn pemikiran politik Islam, yaitu integralisme,
interseksion, sekularisme.
Kelompok pertama
memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan.
Dalam pandangan kelompok ini Negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena
tugas Negara adalah menegakkan agama sehingga Negara Islam atau khilafah
Islamiyyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah, syariat Islam menjadi
hukum Negara yang dirpraktikkan untuk seluruh umat Islam. Kelompok ini diwakili
oleh:
1.
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) yang menulis Al-Khilahaf wa
al-Imamah al-Udzhmah (Kekhalifahan atau Kepemimimpinan Agung) dan tafsir
Al-Manar.
2.
Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna atau lebih dikenal dengan nama
Hasan Al-Banna (1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3.
Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis Al-Khilafah wal-Mulk
(Khilafah dan Kerajaan) dan Islamic Law and Contitution. Ia juga pendiri
gerakan Jamaat Islam dan Pakistan.
4.
Sayyid Quthb (1906-1966 M) ideology gerakan Ikhwanul Muslimin yang
menulis Al-A’dalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam ( Keadilan Sosial dalam Islam)
dan Ma’alim al Thariq (Petunjuk Jalan).
5.
Imam Khamaini (1900-1989 M) pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 dan
penggagas konsep wilayatul faqih yang menulik Hokumt-i Islami (system
pemerintahan Islam).
Kelompok kedua memiliki
pandangan bahwa agama dengan politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal
balik yang saling bergantung agama membutuhkan Negara untuk menegakkan
aturan-aturan syariat.
Sementara Negara
membutuhkan Negara untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir ini menunjukan
garis pemkiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya Negara
tehadap agama. Kelompok ini diwakili oleh:
1.
Muhammad Abduh (1849-1905 M) tokoh pembaru Mesir.
2.
Muhammad Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri Negara Pakistan.
3.
Muhammad Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis Hayatu Muhammad
(sejarah hidup Muhammad), Fi Manzil Al Wahyu (Kedudukan Wahyu), dan Al-Humumat
Al-islamiyat (pemerintahan Islam).
4.
Fazlur Rahman (1919-1988 M) bapak pembaharu Pakistan yang menulis Islam,
Islam and Modernity, dan Major Themes of the Qur’an.
Kelompok ketiga
memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen
Nabi Muhammad Saw tidak memerintahkan untuk mendirikan Negara. Terbentuknya
Negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiyah dan historis dalam kehidupan
masyarakat, sehingga tidak perlu umat Islam mendirikan Negara Islam atau
Khilafah Islamiyah. Kelompok ini diwakili oleh:
1.
Ali abd Al-Raziq (1888-1966 M) yang menulis Al-Islam wa-Ushul al-Hukum:
Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (islam dan pemerintahan:kajian
tentang khilafah dan pemerintahan dalam Islam).
2.
Thaha Husein (1889-1973 M) yang menulis Mustaqbal al-Tsakafah fi Mishar
(Masa Deepan Kebudayaan Mesir).[2]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
fiqh siyasah yaitu
bagian dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan
dengan permasalahan kenegaraan.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. Diantaranya ada yang
membagi menjadi 5 bidang, ada yang menetaokan 4 bidang atau 3 bidang
pembahsaan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh
siyasah menjadi delapan bidang. Namun perbedaan ini tidaklah terlalu prinsip,
karena hanya bersifat teknis.
Perkembangan fiqh
siyasah terbagi kedalam beberapa periode yakni: periode klasik, periode
pertengahan, periode modern.
B. Saran
Demikian makalah yang
kami buat semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kita
dalam mempelajari tentang hokum islam terutama mengenai fiqh siyasah yang
tentunya sangatlah penting. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang
diperlukan. Untuk itu atas saran yang membangundemi kesempurnaan makalah kami
berikutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
http://arsipworkmilla.blogspot.com/2014/10/fiqh-siyasah-pendahuluan.html
http://profaza.blogspot.com/2018/04/makalah-siyasah-tentang-siyasah.html
No comments:
Post a Comment