Iklan Sponsor

Wednesday 13 May 2020

Syarat-syarat Pewaris, Hak Yang Menghalangi dan Berhak Mendapatkan Waris













“FIQH MAWARIS”
Tentang :
Syarat-syarat Pewaris, Hak Yang Menghalangi dan Berhak Mendapatkan Waris

Dosen Pengampu : Nurul Hidayah Tumadi, Lc.MA






Description: Image result for logo stai an nadwah
 









Disusun oleh :
Indartisiah





SEMESTER : HTN -IV – A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’Syara- Pewaris, yang Mengahalangi dan Berhak Mendapatkan Waris’’ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
                                                                                   
Kuala Tungkal   Maret 2020



DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam lingkup fiqh mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail dan terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati
          Dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (ahli waris penerima sisa).
          Dapat disimpulkan dari beberapa definisi mengenai warisan yaitu pembagian harta warisan dari seorang yang telah meninggal dunia pada ahli waris sesuai dengan bagiannya msaing-masing dan jika ada kelebihan berikan kepada ahli waris yang dekat atau asabah.

B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana Syarat-syarat Pewaris?
2. Apa Hak Yang Menghalangi Pewaris?
3. Siapa Saja Yang Berhak Mendapatkan Waris



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Muwarrits (pewaris)

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

B.     Warits (ahli waris)

Menurut hukum islam , warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits[1]
Sedangkan menurut kompilasi hukum islam (KHI) Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

C.    Mauruts (harta waris)

Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta pseninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:
a.       Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai;
b.      Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian;
c.       Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege);
d.      Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah).

D.    Syarat Syarat Mawaris

Syarat-syarat waris ada tiga, yaitu :
1.     Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun hukum.
2.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.     Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.[2].

E.     Penghalang warisan (mawani’Al-Irs)

Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Adapun  hal-hal yang dapat menghalangi tersebut antara lain :
1.     Karena Membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak berhak mendapatkan warisan[3] hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orangyang dibinuhnya.
Sangat beralasan jika seorang pembunuhtidak berhak atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuhnya. Sebab, ia membunuh karena ingin cepat mendapatkan harta warisan.
Oleh sebab itu, orang yang membunuh akan terhalang oleh perbuatannya untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagaimana terhalangnyadari warisan seseorang yang membunuh untuk pamannya, yang diungkapkan dalam surat al-Baqarah: 72
  øŒÎ)ur óOçFù=tFs% $T¡øÿtR öNè?øÀuº¨Š$$sù $pkŽÏù ( ª!$#ur Ól̍øƒèC $¨B öNçFZä. tbqãKçFõ3s? ÇÐËÈ  
 Artinya:“ Dan (Ingatlah), ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Akan tetapi, Allah menyingkapkan yang selama ini kamu sembunyikan”.
Ada perbedaan dikalangan fuqaha entang penentuanjenis pembunuhan.  Ulama Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Adapun ulama Malikiyah berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
 Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash,membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu, tidak tergolong sebagai penggugur hak waris. Menurut ulama Syafi’iyah, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukum rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya[4]
2.     Pebedaan agama.
Orang muslim hanya memberi waris kepada muslim. Jika yang menunggal dunia orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim, ahli waris itu tidak berhak mendapatka harta warisan. Rasulullah SAW bersabda:
‘’Orang islam tidak mendapat waarisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat warisan dari orang islam.’’  
Berdaasarkan lahiriyah hadist ini semua ilama mazhab sepaka bawa orang muslim dan orang kafirtidak saling mewarisi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa murtad merupakan penggugur hak mewarisi, yakni orang yang telah keluar dari islam. Berdasarkan ijma’ para ulama, murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama sehingga orang murtad tidak dapat mewarisi orang islam. Adapun hak waris seseorangyang kerabatnya murtad, terjadi perbedaan pendapat. Jumhur fuqaha ( Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang sahih ) berpendapat bahwa orang muslim tidak boleh menerrima harta waris dari orang yang murtad karena oaring muslim tidak mewariskan kepadaa orang kafir, dan orang murtad tergolong orang yang kafir.[5]
3.     Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hokum. Firman Allah SWT menunjukkan :
* z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw âÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx« `tBur çm»oYø%y§ $¨ZÏB $»%øÍ $YZ|¡ym uqßgsù ß,ÏÿZムçm÷YÏB #uŽÅ  #·ôgy_ur ( ….
Atinya: “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya ) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun . . . . ”. (QS. al-Nahl : 75 ).
Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada hakikatnya perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanism ) dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran islam. Melalui sanksi-sanksi hokum pelaku pelanggaran atau kejahatan, memerdekakan budak merupakan salah satu alternative hokum. Ini dimaksud agar secepatnya perbudakan dihapuskan dari muka bumi.[6]
4.     Berlainan Negara
Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila diantara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di dua Negara yang berbeda kriterianya seperti apabila dua Negara sama-sama muslim, menurut para ulama, tidak menjadi penghalang mewarisi.
Dasar hukum yang dijadikan landasan Mayoritas Ulama, antara muwarris  dan ahli waris yang berbeda Negara yang sama- sama muslim tidak terhalang haknya mewarisi adalah sabda Nabi SAW :
اِ ذَا اْلمُسْلِمَانِ جَعَلَ اَحَدُهُمَا عَلىٰ اَخِيْهِ الْسِّلَاحَ فَهُمَا عَلىٰ حَرْقِ جَهَنَّمَ فَاِذَاقَتَلَ اَحَدُهُمَاصَاحِبَهٌ دَخَلَاهَا جَمِيْعًا فَقُلْنَا يَارَسُوْلَ اللهِ هٰذَااْلقَا تِلُ فَمَابَالُ الْمَقْتُوْلِ ˁ قَالَ اِنَّهُ قَدْاَرَادَقَتْلَ صَاحِبَهٌ . ۞ رواه البخارى ۞
Apabila dua orang muslim seorang (mengajak perang saudaranya) dengan membawa pedang , maka keduanya telah beradu di tepi Jahanam. Apabila salah seorang membunuh kawannya, kedua-duanya sama-sama masuk neraka. Kami bertanya, “Ya Rasulullah SAW ini adalah untuk si pembunuh, lalu bagaimana si terbunuh ? Beliau menjawab: “Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh kawannya”. (Riwayat Imam Bukhari).
Jadi yang lebih prinsip tampaknya adalah soal berbeda agama antara ahli waris dan muwarris-nya. Meskipun berbeda Negara, jika tidak ada perbedaan agama, tidak ada halangan[7]

F.     Sebab-Sebab berhak Mendapatkan Waris

Di dalam hokum islam, sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang memperoleh harta warisan ialah :
a.       Perkawinan.
Perkawinan, tentu saja yang dimaksudkan adalah perkawinan yang benar menurut hokum
Yaitu orang yang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami istri atau istri dari orang yang mewariskan. Sebagaimana firman Allah:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجَكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ....
 وَلَهُنَّ الرَّبِعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ....
Artinya:
Dan bagimu (suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak....
Dan para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.... (Qs An-Nisa’ 12)
Yang dimaksud perkawinan disini ialah perkawinan yang dilakukan secara sah menurut syari’at Islam, dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan perkawinan (telah habis masa iddah).
Hubungan suami istri ini bisa saling mewarisi apabila memenuhi dua syarat:
1.      Perkawinan mereka sah menurut syari’at Islam yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2.      Masih berlangsung hubungan perkawinan, yaitu perkawinan mereka masih berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau istri, tidak dalam keadaan bercerai. Kecualai pada masa iddah talaq raj’i jika salah satu istri atau suami meninggal maka masih mendapatkan warisan..
b.      Kekerabatan.
Yaitu hubungan kekeluargaan antara ahli waris dengan muwarris. Kekerabatan yang seperti ini dinamakan nasabah hakiki. Orang yang menerima harta warisan berdasarkan kekerabatan itu tiga macam :
1.       Ashhabulfurudh.
2.      Ashobah ‘ushubah Nasabiyah.
3.       Dzawul arham.[8]
Ada beberapa jenis hubungan yang bisa mendapatkan harta warisan dari sipewaris, antara lain sebagai berikut:
1.      Hubungan nasab (keturunan, kekerabatan) baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti ayah, kakek, dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah (Furu’al-Mayyit), seperti anak, cucu, atau pertalian mendatar/menyamping (al-Hawasyi), seperti saudara, paman, dan anak turunannya sebagaimana firman Allah: Artinya:
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya :Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.( Qs. An-Nisa’ 7) [9]
Yang dimaksud hubungan darah disini ialah hubungan darah yang disebabkan pernikahan yang sah. Apabila hubungan darahnya atau proses kelahirannya disebabkan bukan pernikahan yang sah, maka tidak termasuk orang yang mewarisi seperti bayi tabung. Anak bayi tabung ini hanyalah memiliki ibu yaitu orang yang melahirkan saja dan tidak memiliki ayah. Sama halnya dengan anak yang dilahirkan karena perzinahan tidak mempunyai hubungan darah dengan orang laki-laki yang melakukan zina, sehingga mereka tidak bisa saling mewarisi. Ia hanya mewarisi kepada wanita yang melahirkannya sebagai ibunya.
c.       Al-wala’.
Kekerabatan karena sebab hokum. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang
Yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak yang telah dimerdekakannya.
d.      Karena hubungan agama Islam
Yaitu apabila seorang meninggal tanpa ada ahli warisnya, maka hartanya akan diserahkan ke baitul mal (bendahara negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam




BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Penulis menyimpulkan, Dalam syari’at Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberikan hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu: Al-Muwarrist, Ahli waris atau waris, adanya hubungan, seperti hubungan nasab, hubungan pernikahan, hubungan perbudakan(wala) dan hubungan agama. Serta syarat-syarat dalam mewarisi yaitu Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun hukum, Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia, Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
 Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Di dalam hokum islam, sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang memperoleh harta warisan ialah perkawinan, kekerabatan dan wala.



DAFTAR PUSTKA


Ahmad Rofiq.Fiqh Mawaris.,Jakarta: PT.Raja Grafindo,1993
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2012
Beni Ahmad Saebani., Fiqh Mawaris.(Bandung: CV.Pustaka Setia,2009
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) ,hlm.36
Zakiah Daradjat.,Ilmu Fiqh..Jakarta: CV,Yulina,1986



[1] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) ,hlm.36
[2] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2012), hlm: 71-72
[3]Beni Ahmad Saebani., Fiqh Mawaris.(Bandung: CV.Pustaka Setia,2009).h. 115
[4] Ibid, h. 116
[5] Ibid, h. 118
[6] Ahmad Rofiq.Fiqh Mawaris.,(Jakarta: PT.Raja Grafindo,1993),h.31
[7] Ibid.,h.32-33
[8] Zakiah Daradjat.,Ilmu Fiqh..(Jakarta: CV,Yulina,1986)h.34
[9] Q.s. An-Nisa ayat 7

No comments:

Post a Comment