“FIQH MAWARIS”
Tentang :
Syarat-syarat
Pewaris, Hak Yang Menghalangi dan Berhak Mendapatkan Waris
Dosen Pengampu : Nurul
Hidayah Tumadi, Lc.MA
Disusun oleh :
Indartisiah
SEMESTER :
HTN -IV – A
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’Syara-
Pewaris, yang Mengahalangi dan Berhak Mendapatkan Waris’’ ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliah yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
Maret 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu kajian dalam
Islam yang dikaji secara khusus dalam lingkup fiqh mawaris. Pengkhususan
pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung menunjukkan bahwa bidang
waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam ajaran Islam.
Bahkan dalam al-Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail dan
terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa
antar anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang
telah mati
Dalam
pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli
waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu),
kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah
(ahli waris penerima sisa).
Dapat disimpulkan dari beberapa definisi mengenai warisan yaitu pembagian
harta warisan dari seorang yang telah meninggal dunia pada ahli waris sesuai
dengan bagiannya msaing-masing dan jika ada kelebihan berikan kepada ahli waris
yang dekat atau asabah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Syarat-syarat Pewaris?
2.
Apa Hak Yang
Menghalangi Pewaris?
3. Siapa
Saja Yang Berhak Mendapatkan Waris
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muwarrits (pewaris)
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama
islam atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan
milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk
pewaris.
B. Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam , warits (ahli waris) adalah orang-orang
yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya
hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan
hak perwalian dengan muwarrits[1]
Sedangkan menurut kompilasi hukum islam (KHI) Warits (ahli waris) adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan
pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
C. Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta
benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris
setelah di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan
melaksanakan wasiat. Harta pseninggalan ini oleh para faradhiyun di sebut juga
dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan
adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
(muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris
(waris), yang meliputi:
a. Harta kekayaan yang memiliki
sifat-sifat kebendaan yang bernilai;
b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak
irigasi pertanian;
c. Hak-hak immateriil, misal hak
syuf’ah (privilege);
d. Hak-hak atas harta kekayaan yang
berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah).
D. Syarat Syarat Mawaris
Syarat-syarat
waris ada tiga, yaitu :
1.
Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun
hukum.
2.
Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu
pewaris meninggal dunia.
3.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah
bagian masing-masing.[2].
E. Penghalang warisan (mawani’Al-Irs)
Halangan untuk menerima warisan atau
disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya
hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut
antara lain :
1. Karena Membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak berhak
mendapatkan warisan[3] hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orangyang
dibinuhnya.
Sangat beralasan jika seorang pembunuhtidak berhak atas harta yang
ditinggalkan oleh orang yang dibunuhnya. Sebab, ia membunuh karena ingin cepat
mendapatkan harta warisan.
Oleh sebab itu, orang yang membunuh akan terhalang oleh perbuatannya
untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagaimana
terhalangnyadari warisan seseorang yang membunuh untuk pamannya, yang
diungkapkan dalam surat al-Baqarah: 72
øÎ)ur
óOçFù=tFs%
$T¡øÿtR
öNè?øÀuº¨$$sù
$pkÏù
( ª!$#ur
ÓlÌøèC
$¨B
öNçFZä.
tbqãKçFõ3s?
ÇÐËÈ
Artinya:“ Dan (Ingatlah),
ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Akan
tetapi, Allah menyingkapkan yang selama ini kamu sembunyikan”.
Ada perbedaan dikalangan fuqaha entang penentuanjenis pembunuhan. Ulama Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan
yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib
membayar kafarat. Adapun ulama Malikiyah berpendapat, hanya pembunuhan yang
disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
Ulama Hanabilah berpendapat
bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap
jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash,membayar diyat, atau
membayar kafarat. Selain itu, tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Menurut ulama Syafi’iyah, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap
menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukum rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya[4]
2. Pebedaan agama.
Orang muslim hanya memberi waris kepada muslim. Jika yang menunggal
dunia orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim, ahli waris itu tidak
berhak mendapatka harta warisan. Rasulullah SAW bersabda:
‘’Orang islam tidak mendapat waarisan dari
orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat warisan dari orang islam.’’
Berdaasarkan lahiriyah hadist ini semua ilama mazhab sepaka bawa orang
muslim dan orang kafirtidak saling mewarisi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa murtad merupakan penggugur hak
mewarisi, yakni orang yang telah keluar dari islam. Berdasarkan ijma’ para
ulama, murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama sehingga orang murtad
tidak dapat mewarisi orang islam. Adapun hak waris seseorangyang kerabatnya
murtad, terjadi perbedaan pendapat. Jumhur fuqaha ( Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah yang sahih ) berpendapat bahwa orang muslim tidak boleh menerrima
harta waris dari orang yang murtad karena oaring muslim tidak mewariskan kepadaa
orang kafir, dan orang murtad tergolong orang yang kafir.[5]
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena
status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk
menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hokum.
Firman Allah SWT menunjukkan :
*
z>uÑ
ª!$#
¸xsVtB
#Yö6tã
%Z.qè=ôJ¨B
w âÏø)t
4n?tã
&äóÓx«
`tBur
çm»oYø%y§
$¨ZÏB
$»%øÍ
$YZ|¡ym
uqßgsù
ß,ÏÿZã
çm÷YÏB
#uÅ
#·ôgy_ur
( ….
Atinya: “Allah telah membuat
perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya ) yang dimiliki yang tidak
dapat bertindak terhadap sesuatu pun . . . . ”. (QS. al-Nahl : 75 ).
Islam sangat tegas tidak menyetujui
adanya perbudakan, sebaliknya sangat menganjurkan agar setiap budak hendaknya
dimerdekakan. Pada hakikatnya perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan (humanism ) dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran islam. Melalui
sanksi-sanksi hokum pelaku pelanggaran atau kejahatan, memerdekakan budak
merupakan salah satu alternative hokum. Ini dimaksud agar secepatnya perbudakan
dihapuskan dari muka bumi.[6]
4.
Berlainan Negara
Adapun berlainan Negara yang menjadi
penghalang mewarisi adalah apabila diantara ahli waris dan muwarrisnya
berdomisili di dua Negara yang berbeda kriterianya seperti apabila dua Negara
sama-sama muslim, menurut para ulama, tidak menjadi penghalang mewarisi.
Dasar hukum yang dijadikan landasan
Mayoritas Ulama, antara muwarris
dan ahli waris yang berbeda Negara yang sama- sama muslim tidak
terhalang haknya mewarisi adalah sabda Nabi SAW :
اِ ذَا اْلمُسْلِمَانِ جَعَلَ
اَحَدُهُمَا عَلىٰ اَخِيْهِ الْسِّلَاحَ فَهُمَا عَلىٰ حَرْقِ جَهَنَّمَ
فَاِذَاقَتَلَ اَحَدُهُمَاصَاحِبَهٌ دَخَلَاهَا جَمِيْعًا فَقُلْنَا يَارَسُوْلَ
اللهِ هٰذَااْلقَا تِلُ فَمَابَالُ الْمَقْتُوْلِ ˁ قَالَ اِنَّهُ
قَدْاَرَادَقَتْلَ صَاحِبَهٌ . ۞ رواه البخارى ۞
“ Apabila dua orang muslim
seorang (mengajak perang saudaranya) dengan membawa pedang , maka keduanya
telah beradu di tepi Jahanam. Apabila salah seorang membunuh kawannya,
kedua-duanya sama-sama masuk neraka. Kami bertanya, “Ya Rasulullah SAW ini
adalah untuk si pembunuh, lalu bagaimana si terbunuh ? Beliau menjawab:
“Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh kawannya”. (Riwayat Imam Bukhari).
Jadi yang lebih prinsip tampaknya
adalah soal berbeda agama antara ahli waris dan muwarris-nya. Meskipun
berbeda Negara, jika tidak ada perbedaan agama, tidak ada halangan[7]
F. Sebab-Sebab berhak Mendapatkan Waris
Di dalam hokum islam, sebab-sebab
yang mengakibatkan seseorang memperoleh harta warisan ialah :
a.
Perkawinan.
Perkawinan, tentu saja yang
dimaksudkan adalah perkawinan yang benar menurut hokum
Yaitu
orang yang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami istri atau istri dari orang
yang mewariskan. Sebagaimana firman Allah:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجَكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ....
وَلَهُنَّ الرَّبِعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ
لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ....
Artinya:
Dan bagimu (suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak....
Dan para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.... (Qs An-Nisa’ 12)
Yang dimaksud perkawinan disini ialah perkawinan yang
dilakukan secara sah menurut syari’at Islam, dimulai sejak akad nikah sampai
putusnya ikatan perkawinan (telah habis masa iddah).
Hubungan
suami istri ini bisa saling mewarisi apabila memenuhi dua syarat:
1.
Perkawinan mereka sah menurut syari’at Islam yakni dengan
akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2.
Masih berlangsung hubungan perkawinan, yaitu perkawinan
mereka masih berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau
istri, tidak dalam keadaan bercerai. Kecualai pada masa iddah talaq raj’i jika
salah satu istri atau suami meninggal maka masih mendapatkan warisan..
b.
Kekerabatan.
Yaitu hubungan kekeluargaan antara ahli waris dengan
muwarris. Kekerabatan yang seperti ini dinamakan nasabah hakiki. Orang
yang menerima harta warisan berdasarkan kekerabatan itu tiga macam :
1.
Ashhabulfurudh.
2.
Ashobah ‘ushubah Nasabiyah.
Ada beberapa jenis hubungan yang
bisa mendapatkan harta warisan dari sipewaris, antara lain sebagai berikut:
1. Hubungan nasab (keturunan,
kekerabatan) baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit),
seperti ayah, kakek, dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah (Furu’al-Mayyit),
seperti anak, cucu, atau pertalian mendatar/menyamping (al-Hawasyi),
seperti saudara, paman, dan anak turunannya sebagaimana firman Allah: Artinya:
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4 $Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
Artinya
:Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.( Qs.
An-Nisa’ 7) [9]
Yang dimaksud hubungan darah disini ialah hubungan darah
yang disebabkan pernikahan yang sah. Apabila hubungan darahnya atau proses
kelahirannya disebabkan bukan pernikahan yang sah, maka tidak termasuk orang
yang mewarisi seperti bayi tabung. Anak bayi tabung ini hanyalah memiliki ibu
yaitu orang yang melahirkan saja dan tidak memiliki ayah. Sama halnya dengan
anak yang dilahirkan karena perzinahan tidak mempunyai hubungan darah dengan
orang laki-laki yang melakukan zina, sehingga mereka tidak bisa saling
mewarisi. Ia hanya mewarisi kepada wanita yang melahirkannya sebagai ibunya.
c.
Al-wala’.
Kekerabatan karena sebab hokum.
Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-ni’mah. Penyebabnya adalah
kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang
Yaitu seseorang berhak mendapatkan
warisan dari bekas budak yang telah dimerdekakannya.
d.
Karena hubungan agama Islam
Yaitu
apabila seorang meninggal tanpa ada ahli warisnya, maka hartanya akan
diserahkan ke baitul mal (bendahara negara Islam) untuk dimanfaatkan
bagi kemaslahatan umat Islam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis menyimpulkan, Dalam syari’at Islam ada tiga syarat
agar pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberikan hak kepada seseorang
atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu: Al-Muwarrist, Ahli waris atau
waris, adanya hubungan, seperti hubungan nasab, hubungan pernikahan, hubungan
perbudakan(wala) dan hubungan agama. Serta syarat-syarat dalam mewarisi yaitu
Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun hukum, Adanya ahli
waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia, Seluruh ahli
waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Halangan untuk
menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta
peninggalan al-muwarris. Di dalam hokum islam, sebab-sebab yang
mengakibatkan seseorang memperoleh harta warisan ialah perkawinan, kekerabatan
dan wala.
DAFTAR PUSTKA
Ahmad Rofiq.Fiqh
Mawaris.,Jakarta: PT.Raja Grafindo,1993
Amin
Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2012
Beni Ahmad Saebani., Fiqh
Mawaris.(Bandung: CV.Pustaka Setia,2009
Fatchur Rahman, Ilmu
Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975) ,hlm.36
Zakiah Daradjat.,Ilmu
Fiqh..Jakarta: CV,Yulina,1986
[2] Amin Husein Nasution, Hukum
Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2012), hlm: 71-72
[3]Beni Ahmad Saebani., Fiqh
Mawaris.(Bandung: CV.Pustaka Setia,2009).h. 115
[4] Ibid, h. 116
[5] Ibid, h. 118
[6] Ahmad Rofiq.Fiqh Mawaris.,(Jakarta:
PT.Raja Grafindo,1993),h.31
[7] Ibid.,h.32-33
[8] Zakiah Daradjat.,Ilmu Fiqh..(Jakarta:
CV,Yulina,1986)h.34
[9] Q.s. An-Nisa ayat 7
No comments:
Post a Comment