Iklan Sponsor

Thursday 7 May 2020

Perkembangan dan Pemikiran Politik Islam Abad Klasik



MAKALAH
Fiqh Siyasah
“Perkembangan dan Pemikiran Politik Islam
Abad Klasik”
Dosen Pengampu: Dr. Mohd. Yasin, S.HI.,M.H


Description: Hasil gambar untuk logo stai annadwah
 








Disusun Oleh
Kelompok : 12
Riana Pratiwi
18.31.12.18
Mutawalli Sya’rawi
18.31.11.97

STAI AN-NADWAH KUALA TUNGKAL
Tahun pelajaran 2020


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Fiqh Siyasah tentang “Perkembangan dan Pemikiran Politik Islam Abad Klasik” dengan tepat waktu dan tanpa halangan apapun.Kami juga berterima kasih kepada bapak Dr.Mohd.Yasin,S.HI.,M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Siyasah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat.Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan kita tentang sabar.Semoga atas segala bantuan yang diberikan akan mendapat balasan dari Allah SWT.Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.


Kuala Tungkal,30 April  2020


Penyusun




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama Rahmatal lil ‘Alamin yaitu rahmat bagi semesta alam yang di dalamnya tidak akan pernah ada kesulitan, karena Allah telah mengatur semua yang ada di bumi ini untuk manusia. Dalam politik Islam, tentunya akan ada pemikiran-pemikiran yang membuat masa kepemimpinanya semakin kuat dan lama. Maka untuk itu dalam sejarah politik Islam selama ini, terdapat beberapa kenyataan yang menjadikan politik itu berhasil dan gagal, ciri-ciri yang khas dari masing-masing periode serta tokoh-tokoh yang muncul dalam periode tersebut. Oleh sebab itu, penulis akan menyusun tentang karakteristik pemikiran politik Islam pada periode klasik, pertengahan, dan modern serta pola pemikiran politik Islam yang ideal.  

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Karakteristik Pemikiran Politik Islam pada Periode Klasik ?
2.      Bagaimana Pola Pemikiran Politik Islam yang Ideal?









BAB II

PEMBAHASAN

A.    Karakteristik Pemikiran Politik Islam

Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Piagam Madinah merupakan kontrak Rasulullah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian bersama (Syarif dan Zada, 2008 : 26).
Setelah wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah Bani sa’idah.
Proses pergantian kekuasaan yang tidak sama di masing-masing periode kekuasaan (Saebani, Beni Ahmad, 2007: 213-219). (Abu Bakar dipilih dengan jalan musyawarah terbatas antara kelompok Anshar dan Muhajirin, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan menjadi khalifah berdasarkan musyawarah tim formatur, dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh sebagian kelompok umat Islam). Pemikiran politik Islam terbagi dalam tiga periode besar, yakni:

B.     Pemikiran Politik Islam masa Klasik dan Pertengahan

            Pemikiran politik islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulullah hijrah ke Madinah. Di Madinah, berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik.
            Setelah wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah. Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin


Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat islam.
            Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perebutan kekuasaan antara keduanya melahirkan persoalan teologis yang sangat kuat (kafir mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran yang sebelumnya di masa Rasulullah tidak ada, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan Murjiah.
            Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di masa selanjutnya, munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi.[1]
1.     Periode Klasik
            Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad Saw merupakan masa di mana seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah  kekuasaan islam. Pada masa Abbasiyah, pemikiran politik islam dikembangkan oleh sejumlah intelektual islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Di bawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim, 4 imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah.
Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah :
a.      Ibn  Abi Rabi’ (833-842 M)
  Adalah penulis kitab Suluk al-Malik fi Tadbir al-mamalik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan).[2] Merupakan sarjana muslim pertama penggagas teori politik. Dalam teori politiknya ada sebagian pengaruh falsafah politik Yunani.
            Teori pemikiran politik Ibn Abi Rabi’ dapat diringkas sebagai berikut :
1.      Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, karena itu tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendiri.
2.      Untuk mengatur dan menjamin ketentraman hidupnya, Allah SWT. memberi petunjuk, aturan tentang kewajiban dan haknya.
3.      Allah SWT. mengangkat penguasa sebagai tanfidz (pelaksana) demi terlaksananya petunjuk Illahi itu.
4.      Bentuk pemerintahan yang ideal adalah kerajaan turun temurun atau monarki.
5.      Kepala Negara adalah orang yang termulia di tempat itu.
b.     Al-Farabi (257-339 H)
Bernama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, ia juga dikenal dengan sebutan nama Abu Nasir al-Farabi namun beliau terkenal dengan nama Al-Farabi.  Ia dilahirkan di Utrar (Farab) pada 257 H/870 M, dan  meninggal dunia di Damaskus pada 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu  [3]
Teori pemikiran politik Al-Farabi dapat diringkas sebagai berikut :
1.      Allah SWT. menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
2.      Manusia perlu hidup bermasyarakat.
3.      Manusia mempunyai perbedaan-perbedaan.
4.      Ada masyarakat sempurna besar semisal perserikatan internasional.
5.      Masyarakat yang belum sempurna misalnya masyarakat desa, kampong, lorong dan keluarga.
6.      Negara kota adalah kesatuan politik yang terbaik, negara utama.
7.      Warga Negara dibagi menjadi tiga kelas, yaitu elit politik, angkatan bersenjata dan rakyat jelata.
8.      Kepala Negara harus ada lebih dahulu, baru kemudian rakyat yang dikepalainya.
c.      Al-Mawardi (364-450 H)
Bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi, penulis kitab Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (Peraturan-Peraturan Pemerintahan). dilahirkan di Basrah, Irak. Dia seorang pemikir Islam  yang terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah.  Terbukti pada masa pemerintahan Khalifah al-Qardi (991-1031 M) dia diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Bagdhdad.
Teori pemikiran politik Al-Mawardi dapat diringkas sebagai berikut:[4]
1.     Manusia secara syahsiyah adalah berbeda, tetapi saling membutuhkan.
2.     Negara harus ditopang oleh enam hal yaitu al-Diinu al-Muttaba’ (agama yang dihayati), Sulthaanun Qaahirun (penguasa yang berwibawa), ‘Adlun Syaamilun (keadilan yang merata), Amnun ‘Aamun (keamanan yang mumpuni), Hashbun daaimun (kelestarian kesuburan tanah).
3.     Iman, raja atau sultan merangkap jabatan agama dan politik, Al-Imaamah maudhu’ah Likhilaafati an-nubuwwati Fii hiraasati al-Dini wasiyaasati al-dunya, (kepemimpinan dimaksudkan untuk menggantikan fungsi kenabian dalam menjaga agama dan siasat dunia) (Al-Mawardi, 130 H;4).
4.     Sistem kerajaan turun temurun merupakan system ideal dengan dua macam wazir, yaitu wazir tafwidh yang memiliki kewenangan menggariskan kebijakan  dan wazir tanfidz yang sekedar pelaksanaan kebijakan.
5.     Seleksi Imam harus dilaksanakan oleh ahlu al-ikhtiyaar yang adil dan berwawasan luas.
6.     Hak mengisi jabatan adalah ahlu al-imaamah yang memiliki sifat tujuh yaitu, adil, ahli ijtihad, sehat inderanya, utuh anggota badannya, berwawasan luas, berani dan kekuasaan Quraisy.
7.     Pemilihan bisa melalui bisa melalui ahlu al-halli wa al-‘aqdi atau wasiat dari pendahulunya.
8.     Imam dapat dijatuhkan jika menyimpang.
9.     Hubungan antara ahlu al-halli wa al-‘aqdi dengan iman bersifat kontrak sosial atas dasar suka rela yang melahirankan kewajiban dan hak timbale balik. Teori kontrak sosial ini kemudian berkembang di dunia Barat dan Timur.
d.     Al-Ghazali (450-505 H) .
Bernama lengkap  Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i .  Ia lahir  di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus, Khurasan, (1059 M/450 h) dan meninggal di kota yang sama pada 1111 M/501 H.  Al-Ghazali dapat dikatakan sebagai pemikir muslim yang paling populer dan paling berpengaruh di dunia islam. Pemikiran keislamannya meliputi seluruh aspek ajaran Islam.
Teori pemikiran politik Al-Ghazali dapat diringkas sebagai berikut:[5]
1.     Manusia sebagai makhluk sosial.
2.     Manusia perlu pembagian tugas meliputi pertanian, pemintalan, pembagian dan politik.
3.     Profesi politik merupakan hal yang paling penting.
4.     Profesi politik adalah satu derajat dibawah kenabian, harus dijabat oleh orang yang memiliki ilmu, mahir, arif dan netral dari tugas lain.
5.     Pengangkatan imam merupakan tugas syara’
6.     Hubungan agama dan politik seperti dua anak kembar, agama sebagai pondasi dan sultan sebagai penjaganya.
7.     Sistem pemerintahan yang ideal adalah teokrasi dengan kekuasaan muqaddas, khalifah sebagai bayangan Allah dan ketaatan mutlak bagi rakyat.
8.     Imam Al-Ghazali menyebutkan dalam Fadha’il al Bathiniyah bahwa imamah ditegakkan oleh syaukah, dan syaukah ditegakkan oleh mubaya’ah.
9.     Syaukah tidak dapat tercapai tanpa dukungan mayoritas orang-orang kepercayaan pada zaman tersebut atau Mu’bar al-kul al-Zaman.
Ada beberapa ciri yang menonjol dari pemikiran politik Islam di zaman klasik. Pertama, adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan plato tentang asal-usul negara. Plato dalam teori politiknya menyatakan bahwa, negara terbentuk karena begitu banyaknya kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan dan kemampuan sendiri. Persekutuan hidup dan kerjasama yang semakin lama semakin teroganisir dengan baik itu, kemudian membentuk negara. Teori ini kemudian diambil pemikir politik islam sebagai kontruksi filosofis terbentuknya negara, seperti karya Ibnu Abi Rabi’ Suluk al-Malik fi Tadbir al-mamalik, al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, serta al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadhilah dan Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Meski demikian teori ini tidak diambil secara sekuler, yakni dengan tujuan bernegara adalah tidak semata-mata untuk kebutuhan lahiriyah manusia, tetapi juga kebutuhan rohaniyah dan ukhrawiyah. Elaborasi ini oleh Al-Farabi dikemukakan dalm konsepnya tentang al-sa’adah (happiness) sebagai jalan ruhani dalam kekuasaan dan oleh al-Mawardi dijelaskan negara dibentuk untuk melanjutkan misi kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia.
Kedua, pemikiran politik yang berkembang lebih berpijak pada kondisi real sosial-politik. Pemikiran mereka lebih banyak dilahirkan sebagai respon terhadap kondisi soail-politik yang terjadi. Ibn Abi Rabi’ yang menulis Suluk al-Malik fi Tadbir al-mamalik merupakan karya persembahan kepada Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Mu’tashim (833-842 M). tentu saja sebagai buku persembahan, Ibn Abi Rabi’ tidak melakukan kritik terhadap khalifah. Karena itu, Ibn Abi Rabi’ menekankan kepatuhan mutlak kepada pemerintahan khalifah. Berbeda dengan Ibn Abi Rabi’, al-Ghazali  jelas-jelas menunjukkan komitmen al-Ghazali untuk memeringatkan penguasa ketika berbuat kesalahan.
Berbeda dengan kecenderungan sebelumnya al-Farabi justru berpijak pada paradigma idealistik, utopian dan cendeung tidak realistik. Karena itulah al-Farabi dalam teori politiknya bahwa tujuan didirikannya negara untuk meraih kebahagiaan dan filsuflah yang mampu mewujudkan kebahagiaan, sehingga yang pantas menjadi kepala negara adalah filsuf. Kecenderungan al-Farabi terlihat ketika mengajukan gagasan negara ideal al-madinah al-fadhilah, yakni kota utama.kota utama sebagai suatu keseluruhan dai bagian-bagian terpadu. Aktivitas sosial mereka masing-masing berbeda sesuai dengan tujuan masing-masing.
Kota ideal dalam pandangan al-Farabi berbeda dengan al-madinah al-jahiliyah, al-madinah al-fasiqah, al-madinah al-mutabadilah, dan al-mudinah al-dhalah,terutama anggota-anggota masyarakat yang mendiaminya.kota ideal menurut al-Farabi memiliki anggota masyarakat yang memiliki kemampuan intelektual tinggi terutama kemampuan filsafatnya. Idealisme al-Farabi ini jelas memberikan kesan bahwa ia adalah seorang pemikir yang idealis. Kecendurungan inilah yang menyebabkan gagasannya sulit diwujudkan dalam praktek.





BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dalam sejarah karakteristik pemikiran politik Islam pada periode klasik, pertengahan, dan modern, penulis akan membuat kesimpulan, bahwa:
Pada periode klasik (abad ke-7 sampai ke-13), merupakan masa ekspansi, integrasi, dan keemasan Islam. Dengan beberapa ciri yang menonjol adalah adanya pengaruh alam pikiran Yunani dan politik yang berpijak pada kondisi real (realistik) sosial-politik. Tokonya yaitu Ibn Abi Rabi’,  Al-Farabi, Al-Mawardi, dan Al-Ghazali
Pola pemikiran politik Islam yang ideal menurut penulis adalah responsif-realis yang terjadi pada periode pertengahan yang merupakan pola pemikiran politik Islam yang apabila pemerintahnya itu baik, maka rakyatnya pun baik atau sebaliknya.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, apabila ada yang kurang mohon diberikan kritik dan saran, agar lebih baiknya pembuatan karya ilmiah lainnya.



DAFTAR PUSTAKA


Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah.
Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Saebani, Beni Ahmad. 2007. Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam. Band ung: Pustaka Setia.
Syafe’i, Zakaria. 2012. Negara Dalam Perspektif Islam Fiqih Siyasah. Jakarta: Hartomo Media Pustaka.
Syarif, Mujar Ibnu dan Zada, Khamami. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga.
Tanthawi, Muhammad, dkk. 1997. Problematika Pemikiran Muslim Sebuah Analisis Syar’iyah. Yogyakarta: Adi Wacana.




[1] Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah.hlm 78
[2] Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press hlm 56
[3] Saebani, Beni Ahmad. 2007. Fiqih Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam. Bandung: Pustaka Setia.hlm 65
[4] Syarif, Mujar Ibnu dan Zada, Khamami. 2008. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga.hlm 97
[5] Tanthawi, Muhammad, dkk. 1997. Problematika Pemikiran Muslim Sebuah Analisis Syar’iyah. Yogyakarta: Adi Wacana.hlm 99

No comments:

Post a Comment