Mata Kuliah
“HADIST”
Tentang :
Ariyah (Pinjaman)
Dosen Pengampu : Heriyani,
S.Th.I M.Sy
Disusun oleh :
Armiya
Siti Fatonah
SEMESTER :
HTN/II/A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil
‘alamin, wa sholatu was salamu ‘ala asyrofil anbiya’i wal mursalin wa ‘ala
alihi wa ashhabihi ajma’in amma ba’du.
Segala puji dan syukur kita
panjatkan kepada Allah SWT yang telah menerangi dan memnuhi hati kita dengan keimanan.
Yang mana keimanan adalah nikmat yang terbesar bagi kita. Sholawat dan salam
kita sanjung sajikan untuk baginda kita nabi besar Muhammad SAW, seorang rasul
yang telah menggandeng tangan kita menuju jalan kebenaran dan penuh dengan
kasih sayang Allah.
Tugas ini merupakan
persembahan hasil diskusi pemikiran dan pencarian informasi dari berbagai
sumber, pillihan judul dan bahannya disesuaikan dengan silabus dan atas
perintah dosen mata kuliah yang bersangkutan.
Dalam penyelesaian tugas
ini, kami menyadari banyak dapat kekurangan, kepada semua pihak kami harapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kepada teman dan
sahabat yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini kami ucapkan
terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya.
Kuala
Tungkal April 2020
penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup di muka bumi ini
pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari. Bertransaksi sana sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita
sadari pula kita melakukan yang namanya ariyah (pinjam meminjam). Pinjam
meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini
banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam
meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan
membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi karena ketidakpahaman akan hak dan
kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Berbicara mengenai pinjaman
(‘ariyah), penulis berminat untuk membahas tuntas mengenai ‘ariyah itu sendiri
dari pengertian, hukum, syarat, rukun, macam-macam, hikmah, dan lainya mengenai
pinjam meminjam (‘ariyah) agar tidak ada kesalahpahaman mengenai masalah pinjam
meminjam ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Hadist Tentang ‘ariyah?
2.
Apa dasar hukum ‘ariyah?
3.
Apa rukun dan syarat ‘ariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis tentang ‘Ariyah
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,
‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيْاَ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ
عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ
فِى الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ. وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ
فِى عَوْنِ أَخِيْهِ.
“Barang siapa yg membantu seorang mukmin terhadap
kesusahan dari kesusahan dunia, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala membantunya
terhadap segala kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa yg memberi kemudahan
kepada orang yg kesusahan, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan
kepadanya di dunia & akhirat. Dan barang siapa yg menutup (aib) seorang muslim niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala menutupi
(kesalahannya) di dunia & akhirat. Dan Allah Subhanahu wa
ta’ala selalu menolong hamba selama hamba itu selalu menolong saudaranya.”
(Hadis Riwayat: Muslim). [Hadis Riwayat: Muslim No.1600]
Pinjaman
disunnahkan bagi yang memberi pinjaman dan boleh bagi yang meminjam. Dan
setiap sesuatu yang sah
menjualnya sah meminjamkannya, apabila diketahui dan yang
memberi pinjaman adalah orang
yang sah memberi bantuan. Dan wajib atas peminjam
mengembalikan sesuatu yang telah dipinjamnya.
Setiap pinjaman yang menarik manfaat, maka ia termasuk riba yang
diharamkan. Seperti seseorang meminjamkan sesuatu dan memberi syarat bahwa ia
menempati rumahnya, atau meminjamkanya harta dengan bunga, seperti ia memberi pinjaman sebanyak seribu dengan pengembalian seribu 2 ratus setelah satu tahun.
Ihsan (berbuat baik) dalam pinjaman disunnahkan, jika tidak
merupakan syarat, seperti ia meminjam unta muda, lalu ia memberikan gantinya
unta ruba’i, karena ini termasuk pembayaran yg baik dan akhlak yg mulia.
Dari Abu Rafi’ r.a,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminjam anak unta dari
seorang laki-laki, lalu datanglah kepada Beliau satu unta dari unta-unta
sedekah, maka beliau menyuruh Abu Ra’fi’ r.a agar ia membayar unta kecil kepada
laki-laki itu. Lalu Abu Ra’fi’ r.a kembali kepadanya seraya berkata, ‘Aku tidak
mendapatkan padanya selain unta besar yang terpilih. Maka beliau bersabda,
أَعْطِهَااِيَّاهُ,
ِانَّ مِنْ خِيْاِر النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً.
‘Berikanlah
ia kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah sebaik-baik mereka ketika
membayar pinjaman.‘(Hadis Riwayat: Muslim). [Hadis Riwayat: Muslim No.3006]
Boleh
menggugurkan sebagian dari hutang yang
bertempo karena menyegerakannya, baik itu degnan
permintaan pemberi pinjaman atau yang berhutang. Dan barang siapa yang membayar untuk orang
lain yang wajib atasnya, berupa hutang atau nafkah, niscaya kembali atasnya,
jika ia menghendaki.[1]
Hadis yang berkaitan dengan persyaratan ‘ariyah:
العا ر يِّة مؤ ذا ة
“Barang pinjaman ialah barang yang wajib
dikembalikan” (HR. Abu Daud).
Syarat
peminjaman (‘Ariyah) adalah barang tersebut wajib untuk dikembalikan.
Analisa Penulis:
Beberapa hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang yg
membantu orang lain yang dalam kesusahan maka Allah swt juga akan membantunya
terhadap segala kesusahan hari kiamat, dan orang yang memberikan kemudahan
kepada saudaranya maka Allah swt juga akan memudahkannya baik didunia maupun di
akhirat kelak.
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia
adalah yang membayar hutangnya.
Syarat dalam melakukan ‘Ariyah salah satunya adalah
barang yang dipinjam ialah barang milik pribadi dari orang yang meminjamkan
yang wajib untuk dikembalikan.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah Dalam Al-Qur’an
Adapun dasar
diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-ayat alquran dan
hadits berikut :
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ
{المائدة : 2}
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran”. (Al-Maidah:2)
إِنَّ
اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَةِ إِلَى أَهْلِهَا {النسآء : 58}
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (An-Nisa:58)
Asbabun nuzul ayat :
Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa setelah fathul Makkah, Rasulullah SAW memanggil Utsman bin
Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman menghadap Rasul untuk
menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata : “Ya Rasulullah,
demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan itu dengan
jabatan urusan pengairan”. Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah
Rasulullah “berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman!”, Utsman berkata,
“inilah dia amanat dari Allah”.Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan
kemudian keluar untuk tawaf di Baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah
supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman, Rasulullah melaksanakan perintah itu
sambil membaca surat An-nisa ayat 58.[2]
C. Hadis Menangguhkan Tagihan ‘Ariyah dari Orang yang Kesulitan
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ
فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui. (QS.
al-Baqarah: 280)[3]
Orang yang memberikan pinjaman boleh mengambil kembali
barangnya kapan saja selama itu tidak menimbulkan kesulitan bagi peminjam.
Namun apabila pengambilan barang tersebut menimbulkan kesulitan bagi peminjam,
maka pengambilan barang tersebut harus ditunda sampai peminjam terhindar dari
kesulitan yang dihadapinya.[4]
Allah memerintahkan kepada orang yang memberikan utang,
agar memberi penundaan waktu pembayaran, ketika orang yang berutang mengalami
kesulitan pelunasan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjanjikan baginya pahala sedekah selama masa penundaan.
Beliau bersabda,
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا
كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ، وَمَنْ أَنْظَرَهُ بَعْدَ حِلِّهِ كَانَ لَهُ
مِثْلُهُ، فِي كُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ
Siapa yang memberi tunda orang yang kesulitan, maka dia
mendapatkan pahala sedekah setiap harinya. Dan siapa yang memberi tunda
kepadanya setelah jatuh tempo maka dia mendapat pahala sedekah seperti utang
yang diberikan setiap harinya. (HR.
Ahmad 23046, Ibnu Majah 2418 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadits lain
Rasulullah juga
bersabda: “Barangsiapa meringankan suatu beban dari seorang muslim di dunia
ini, maka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari
kiamat darinya.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala yang besar. Dari Abu Hurairah
ra, Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ
أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا
ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ
Barangsiapa yang memberi waktu tunda pelunasan bagi orang
yang kesusahan membayar utang atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya
dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari Kiamat yang tidak ada naungan selain naungan
(Arsy)-Nya. (HR. Ahmad, 2/359,
Muslim 3006, dan Turmudzi 1306, dan dishahihkan al-Albani).[5]
Analisa Penulis:
Dari
keempat hadis diatas menjelaskan bahwa orang yang memberikan pinjaman harus
memberikan tenggang waktu atau kemudahan kepada orang yang dalam kesusahan
untuk membayar hutangnya tersebut.
Hadis yang pertama
mengatakan bahwa orang yang memberikan hutang harus bersabar terhadap orang
yang kesulitan dan tidak mampu untuk membayar hutangnya, dan berikanlah
tenggang waktu terhadapnya. Janganlah seperti orang jahiliyah yang menambah
jumlah hutang orang yang tidak mampu membayarnya (riba).
Hadis
kedua mengatakan bahwa orang yang memberikan waktu tunda terhadap orang yang
kesusahan akan mendapatkan pahala sedekah setiap harinya.
Pada hadis ketiga dan
keempat Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang memudahkan orang lain dalam
pembayaran hutangnya, maka Allah akan memberi kemudahan juga di akhirat
kelak.
D. Rukun Dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyyah, rukun
‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup
dengan pemilik menyerahkan kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum
ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’ah, rukun
‘ariyah sebagai berikut:[6]
1.
Lafazh (kalimat mengutangkan)
Seperti seseorang berkata “Saya utangkan
benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “saya mengaku berutang benda
ini kepada kamu”. Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam
jual-beli.
2.
Mu’ir (orang yang mengutangkan) dan Mustair
(orang yang menerima utang)
Syarat bagi Mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat bagi Mu’ir dan Musta’ir adalah:
a.
Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan
anak kecil.
b.
Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan
orang yang sedang tidur dan orang gila.
c.
Orang tersebut tidak dimahjur atau orang yang
berada di bawah perlindungan, seperti pemboros.
3.
Mu’ar (benda yang dipinjamkan). Pada rukun
yang ketiga ini disyaratkan 2 hal :
a.
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,
maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan seperti meminjam
karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
b.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal
‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti
meminjam benda-benda najis.
Adapun syarat-syarat
al-‘ariyah diperinci oleh para ulama sebagai berikut :
1.
Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Pemilik yang berhak menyerahkannya, orang
yang berakal dan cakap bertindak hukum, anak kecil dan orang yang dipaksa tidak
sah meminjamkan.
Musta’ir (orang yang menerima pinjaman)
a.
Baligh
b.
Berakal
c.
Orang tersebut tidak dimahjur atau orang yang
berada di bawah perlindungan, seperti pemboros.
2.
Mu’ar (benda yang dipinjam)
a.
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,
maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan seperti meminjam
karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
b.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal
‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti
kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
c.
Bukan jenis barang yang apabila diambil
manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.
d.
Sewaktu diambil manfaatnya, zat tetap (tidak
rusak).
E. Macam-Macam ‘Ariyah
1. ‘Ariyah
Muqayyadah
Yaitu bentuk pinjam-meminjam barang yang
bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang
dibatasi pada tempat dan waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang
menyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak
peminjam kecuali menaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang
berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat
tertentu.
2. ‘Ariyah
Mutlaqah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang
tidak dibatasi. Melalaui akad ‘ariyah ini peminjam diberi kebebasan untuk
memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tidak ada batasan tertentu dari
pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang
sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait objek yang akan
dipinjam.
Adapun hikmah dari ‘ariyah
yaitu:
1.
Bagi peminjam
a.
Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap
manfaat sesuatu yang belum dimiliki.
b.
Adanya kepercyaan terhadap dirinya untuk
dapat memanfaatkan sesuatu yang ia sendiri tidak memilikinya.
2.
Bagi yang memberi pinjaman
a.
Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah
atas nikmat yang telah dianugrahkan kepadanya.
b.
Allah akan menambah nikmat kepada orang yang
bersyukur.
c.
Membantu orang yang membutuhkan.
d.
Meringankan penderitaan orang lain.
e.
Disenangi sesama serta di akhirat terhindar
dari ancaman Allah dalam surat al-ma’un ayat 4-7
G. Pembayaran Pinjaman
Setiap pinjaman wajib
dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau mengembalikan pinjaman bahkan
melalaikannya termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan
dosa. Rasulullah SAW, bersabda: “Orang kaya yang melalaikan kewajiban
membayar hutang adalah aniaya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari
sejumlah pinjaman diperbolehkan asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari
yang berhutang. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang mengembalikan
pinjaman. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya diantara orang yang terbaik
dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (HR.
Bukhari dan Muslim). Rasulullah pernah meminjam hewan, kemudian beliau membayar
hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau
pinjam. Kemudian Rasul bersabda: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah
orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad).
Jika penambahan itu
dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad
berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk
mengambilnya. Rasul bersabda: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka
itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”.
H. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang itu rusak, ia berkewajiban
menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Demikian menurut Idn Abbas Aisyah Abu Hurairah Syail dan Ishaq dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa
yang ia terima sampai ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut
hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin
barang pinjamannya kecuali karena tindakan yang berlebihan karena Rasulullah
SAW bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti
kerusakan”.
Kewajiban peminjam
mengembalikan barang itu jika sudah selesai digunakan. Rasulullah bersabda:
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”.
(HR. Abu Daud). Merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah bersabda:
“Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang
itu”. (HR. Ahmad).
I. HUKUM KERUSAKAN ATAS PINJAMAN
Hukum atas kerusakan barang
tergntung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah.
Apabila barang yang
dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam
tidak diharuskan mengganti. Sebab pinjam meminjam itu sendiri berarti saling
percaya memercayai. Akan tetapi, kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat
dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain maka wajib
menggantinya.
Orang yang meminjam adalah
orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya kecuali karena
kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman memersyaratkan penerima pinjaman
harus bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Ariyah adalah nama barang
yang dituju oleh orang yang meminjam.. dasar hukum ‘ariyah berasal dari
Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2, An-Nisa ayat 58, dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Ada dua macam ‘ariyah
antara lain ‘ariyah muqayyadah yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang
bersifat terikat dengan batasan tertentu dan ‘ariyah mutlaqah yaitu bentuk
pinjam meminjam barang yang tidak dibatasi.
Rukun ‘ariyah menurut
hanafiyah yaitu ijab dan kabul, menurut syafi’ah rukun ‘ariyah adalah lafazh,
mu’ir dan mustair, mu’ar (benda yang dipinjamkan).
Hikmah dari ‘ariyah dapat
ditujukan bagi peminjam seperti dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap
manfaat sesuatu yang belum dimiliki dan bagi yang memberi pinjaman seperti
membantu orang yang membutuhkan.
Setiap pinjaman wajib
dikembalikan sehingga berdosalah orang yang tidak mau mengembalikannya. Dalam
pinjam meminjam baik mu’ir atau musta’ir harus memerhatikan adab-adab dalam
pinjam meminjam dan saling bertanggung jawab atas barang pinjaman.
Apabila barang yang
dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si peminjam
tidak diharuskan mengganti, akan tetapi, kalau kerusakan barang yang dipinjam
akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain maka wajib
menggantinya.
DAFTAR PUSTAKA
ayyid Sabiq. 2009. Fikih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Ilfi Nur
Diana. 2008. Hadis-Hadis Ekonomi. Malang: UIN Malang Press.
Mardani.
2012. Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pers.
Mulyadi, ahmad 2006, fiqih, Bandung
: Titian Ilmu
Rahman, abdul ghozalydkk, 2010, fiqihmuamalah,
cet Jakarta : Kencana
http://makalahshella.blogspot.com/2017/11/hadis-tentang-ariyah-dan-qardh.html
di akses 18 April 2020
[5] http://makalahshella.blogspot.com/2017/11/hadis-tentang-ariyah-dan-qardh.html
di akses 18 April 2020
No comments:
Post a Comment