MAKALAH
“TAFSIR”
Dosen Pengampu : Sahroni,S.Pd.IM.Pd.I
Tentang :
“Tentang Ayat Rahmat’’
Disusun
oleh :
MAHFUZ
M.RIDWAN
LESTARI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020/2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur
atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan.
Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan
tentang “Tentang
Ayat Rahmat’’
Kami
sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para
pembaca.
Demikianlah
makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Kuala
Tungkal, April 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai wahyu yang
dipandang begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat sakralitasnya telah
menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan
sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks
tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris,
seperti manusia terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq)
atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini
dapat dianggap sebagai rahmat dan obat penawar bagi manusia. Bahkan
tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan
ungkapan kongkret bertujuan membimbing (ihtida’) manusia ke jalan yang
benar, dan bukan sebagai laknat bagi hambanya.’
B. Rumusan Masalah
1. Apa Ayat Tentang Rahmat?
2. Ma’idzah Nasehat dan pelajaran dari
ayat tentang Rahmat?
3.
Al-Qur’an Sebagai Rahmat?
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat Tentang Rahmat dan Karunia Terbesar Itu Bernama al-Qur’an
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrßÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan“. (Qs. Yunus 57-58).
Ketika kaum Muslimin berhasil membuka negeri Iraq pada
masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu,
mereka memperoleh berbagai ghanimah (rampasan perang). Ketika kharaj Iraq
diserahkan kepada Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah,
beliau keluar bersama budaknya untuk menerima Kharaj tersebut. Beliau mulai
menghitung Onta hasil rampasan perang yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash
ini ternyata jumlahnya sangat banyak, sembari menghitung beliau terus
menggumamkan puji dan syukur pada Allah. “Alhamdulillah Lillahi Ta’ala”,
ucapnya. Menyambut sikap ini budak beliau mengatakan, “Ini adalah fadhl (karunia)
Allah dan rahmat-Nya”. “kamu berdusta”, sambut Umar. “Bukan
ini”, lanjutnya. Karunia dan rahmat Allah yang sesungguhnya adalah yang
dikatakan oleh Allah, “katakan! Dengan karunia Allah dan rahmat-Nyalah
hendakanya mereka bergembira, ia lebih lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” (terj.Qs. Yunus 58).
Fragmen di atas dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir
al-Qur’an al-Adzim ketika menjelaskan tafsir ayat 57-58 surat Yunus yang
dibahas dalam tulisan ini. Melalui penggalan kisah ini pula Amirul Mu’minin
mengajari kita bagaimana menempatkan perbandingan antara kekayaan materi
duniawi dengan karunia Allah berupa ni’mat Al-Qur’an pada posisi yang adil.
Bahwa nikmat al-Qur’an lebih baik dari berbagai sisi dibanding seluruh
perbendaharaan dunia dengan segala pernak-perniknya yang fana dan akan hilang.
Senada
dengan Amirul Mukminin sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu dan
turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga memaknai
karunia Allah (fadhlu[i]llah) dalam ayat di atas dengan al-Qur’an. Sehingga
makna ‘’qul bifadhillahi wa bihamatihi . . . “, hingga ujung ayat
bermakna, “Sampaikanlah –wahai Rasul kami- kepada mereka semua dan
perintahkanlah mereka untuk bergembira dengan Islam dan syariatnya dan
bergembiralah dengan al-Qur’an dan ilmu-ilmunya”. (Aisarut Tafasir,
3/569).
Oleh sebab itu Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan
kepada manusia untuk bergembira dengan karunia al-Qur’an tersebut, sebab ia
mengandung unsur penting yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupan
dunia ini, yaitu (1) mau’idzah (nasehat dan pengajaran), (2) syifa (penawar dan
penyembuh) berbagai penyakit dalam dada, (3) huda[n] (petunjuk), dan (4)
rahmat.
B. Ma’idzah Nasehat dan pelajaran
Inilah unsur dan sifat pertama yang dikandung oleh al Qur’an
yang disebutkan pada ayat di atas. Secara harfiah mau’idzah berarti nasehat dan
pelajaran. Penulis Kitab At-Tafsir al-Wajiz (hlm.216) menyebutnya
sebagai nasehat yang mendalam dan menyentuh serta mengandung wasiat (pesan)
untuk melakukan kebaikan dan mengikuti kebenaran serta menjauhi keburukan dan
kebatilan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna Qur’an sebagai nasehat dan
pelajaran adalah, “zajir ‘anil fawahisy; melarang dari perbuatan keji”.
(Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 3/1380). Syekh As Sa’di menambahkan
penjelasan yang lebih rinci tentang makna mau’idzah yang diperankan oleh
al-Qur’an, yakni menasehati dan memperingatkan dari berbagai amal perbuatan
yang mengundang murka Allah dan berkonsekuensi pada turunnya adzab-Nya dengan
disertai penejelasan akan dampak buruk dan mafsadat dari perbuatan tersebut”.
(Lih, Tafsir As Sa’di, hlm. 213-214).
Sebagai kalamullah atau kitab suci yang bersumber dari Allah
Rabbul ‘alamin, metode Al-Qur’an dalam menasehati dan mengajari manusia untuk
melakukan kebaikan, mengikuti kebenaran, serta meninggalkan perbuatan buruk dan
keji yang mengundang murka, siksa dan adzab Allah adalah metode yang sesuai
dengat tabiat dan kecenderungan jiwa manusia. Yakni melalui tadzkir
(peringatan), targhib (motifasi), dan tarhib (ancaman),
sebagaimana dikatakan oleh para Ahli Tafsir diantaranya Imam Ath-Thabari,
Asy-Syaukani, Az Zuhali, dan yang lainnya.
Selain dalam ayat ini, fungsi dan peran al-Qur’an sebagai
mau’idzah diterangkan pula dalam ayat lain diantaranya surat Ali Imran ayat 138
dan An-Nur ayat 34;
ôs)s9ur !$uZø9tRr& óOä3øs9Î) ;M»t#uä ;M»uZÉit7B WxsWtBur z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#öqn=yz `ÏB óOä3Î=ö6s% ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÌÍÈ
Artinya
: dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran[3]: 138).
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur úüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ
138.
(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
C. Al-Qur’an Sebagai Rahmat
Fungsi keempat bagi al-Qur’an adalah sebagai rahmat, yaitu
karunia berupa kasih sayang, kebaikan, dan pahala di dunia dan akhirat.
Menurut Buaya Hamka ini hasil dari urutan tiga pertama (mau’idzah,
syifa’, dan hudan). Menurutnya bila ajaran Allah dipegag teguh, al-Qur’an
dijadikan sebagai obat hati penawar dada, dan dijadikan petunjuk dalam
perjalanan hidup, pasti akan merasakan rahmat Ilahi bagi diri, rumah tangga,
dan masyarakat.
Semakna dengan pendapat Buya Hamka di atas Syekh As Sa’di
juga mengatakan bahwa bila seseorang memperoleh hidayah, maka ia berhak
mendapat rahmat yang berasal dari hidayah tersebut. Sehingga ia meraih
kebahagiaan (saa’dah) kesuksesan (falah), keberuntungan (ribh), keselamatan
(najah), kesenangan (farh), dan kegembiraan (surur). (
Akan tetapi karunia Allah berupa hidayah dan rahmat kasih
sayang Allah sebagai bagian dari fungsi al-Qur’an hanya diperuntukan bagi
orang-orang beriman. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Hal itu
(hidayah dan rahmat) hanya berlaku bagi orang-orang beriman yang mengimani,
mempercayai, dan meyakini al-Qur’an beserta isi kandungan yang terdapat di
dalamnya” (Tafsir Ibn Katsri, 3/1380).
Rahmat dalam
bahasa Arab disebut rahmah. Penyebutan ini mengandung konotasi yang
mengarahriqqahtaqtadlikepadaal-ihsanila al“-marhum,
perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi.
Dalam penggunaannya, kata itu bisa mencakup kedua batasan itu dan bisa juga
hanya mencakup salah satunya, rasa kasih atau memberikan kebaikan saja.3
Islam itu adalah satu organisme yang hidup, sehingga ketika dinyatakan sebagai rahmat
bagi seluruh alam, maka berarti agama itu mengasihi dan
memberikan kebaikan
secara aktual kepada s kebaikan aktual berarti menjadi agama laknat. Hal ini
karena kebalikan dari rahmat adalah laknat, yang berarti hukuman, tidak
memberi atau tidak ada kebaikan dan doa supaya dijauhkan dari kebaikan Tuhan
Paradigma Islam agama rahmat
ini sejalan dengan paradigma ketuhanan dalam Islam. Allah dalam al-Qur’an
menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6:l2):Dalam
ayat l07 S. al-Anbiya’ituditegaskan bahwa Islam menjadi rahmat bagi
seluruh alam (al-’alamin).Al-’Alaminadalahjamak dari ‘alam (alam).
Alam adalah semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam
(dalam bahasa Arab ‘alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi
media untuk mengenal Allah, Penciptanya.[1]
Namun jika dihubungkan
dengan istilah la (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan
ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar
ilmu. Menurut mereka, alasannya adalah: pertama, manusia itu merupakan
bagian dari alam dan jika dia bersama-sama yang lain menjadi cakupan pengertian
kata, maka dialah yang dijadikan pertimbangan untuk memperlakukan kata itu. Kedua,
yang dimaksudkan dengan al-’alaminbukanseluruh alam, tapi hanya
malaikat, jin dan manusia. Ketiga, yang dimaksudkan dengan al-’alaminhanya
manusia saja karena masing-masing manusia yangmemiliki keunikan yang
membedakannya dari yang lain, merupakan alam yang tersendiri.[2]
Kesadaran ini telah
diungkapkan oleh al-Qur’an bahwa segala yang ada di langit dan bumi itu
bertasbih kepada AIlah. Dengan demikian, wajar jika al-Qur’an menyebut alam
semesta dengan bentuk jamak yang biasa digunakan untuk manusia yang berakal.
Ayat itu menegaskan idealitas risalah atau agama Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alamdengan menggunakan pola kalimat nafi-istitsna’(menafikan-mengecualik
mengutusmu (Nabi), kecuali untuk menjadi rahmat (istitsna’).
Pola itu digunakan
untukm membatasi (al-qashr). pola nafi-’istitsnaitudalampenggunaannya
dimaksudkan untuk menetapkan satu kualitas bagi sesuatu deng secara total,
sehingga pengertian pernyataanrahmatdan terseb agama yang tidak menjadi
rahmat itu bukan Is
Pengertian yang
demikian, maka pernyataan untuk mengesakan Allah dalam tahlil la ilaha
illa)dansyahadatAllahpunmenggunakan pola itu, bukan pola lain yang
dikatakan lebih kuat dalam memberi pembatasan. Penggunaan pola tersebut
sudah barang tentu untuk menafikan kualitas ketuhanan dari selain All agama
politheis[3]
Islam itu adalah agama
rahmat, tidak ada Islam yang tidak menjadi rahmat. Karenaitu, Islam yang
qur’ani adalah Islam yang menjadi rahmat dan “Islam” yang ti rahmat bukanlah
Islam yang sesuai dengan ideal kitab suci itu, sehingga berarti al-Qur’anjuga
hadits) yang menjadi dasarnya itu adalah bangunan rahmat, bukan sekedar
bangunan kalimat, kata dan huruf-huruf. Dengan demikian, paradigma Islam yang
qur’ani itu bukan Islam sebagai agama asing (gharib) yang sama sekali
berbeda dari agama dan budaya lain, sehingga umat Islam harus berbeda dari
umat-umat yang lain dalam segala hal.
Pembuktian ini dapat
ditunjukkan melalui menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki
sifat kasih (Q.S. al-An’am,6: l2), yang berbunyi sebagai berikut:
@è%
`yJÏj9
$¨B
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
( @è%
°! 4 |=tGx.
4n?tã
ÏmÅ¡øÿtR
spyJôm§9$#
4 öNä3¨ZyèyJôfus9
4n<Î)
ÏQöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
w |=÷u
ÏmÏù
4 úïÏ%©!$#
(#ÿrçÅ£yz
öNåk|¦àÿRr&
óOßgsù
w cqãZÏB÷sã
ÇÊËÈ
Artinyab:Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah:
"Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih
sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak
beriman(Q.S.Al-An am : 12)
Firman itu menunjukkan
bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat sifat yang lain dan
perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, sehingga ketika
memperkenalkan diri-Nya dalam surat al-Fatihah, surat pertama dan bagian dari
al-Qur’an yang paling banyak dibaca umat Islam, Dia sampai dua kali menyebut
diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pertama, dalam ayat pertama
sebagai perkenalan pertama dan kedua dalam ayat ketiga sebagai penegasan
cinta-kasih-Nya dalam menciptakan dan memelihara alam semesta. Karena itu,
wajar jika risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya
memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Paradigma Islam yang
qur’ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi
Islam yang sesuai dengan al-Qur’an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan
persekutuan atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata
bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila laknat bagi masyarakat yang
berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, maka Islam
yang qur’ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari
ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.
Pertimbangan akan
adanya rahmat tentu melewati berbagai proses, yang salah satunya berupa
sabar dan jujur. Kedua sifat ini merupakan arah pembentukan karakter seorang
hamba yang hendak membentuk sikap daya tahan yang dijalani seorang hamba dalam
menerima ujian-ujian dari Tuhan. Lebih lanjut, kesabaran dan kejujuran
merupakan aspek keyakinan yang khas yang diperlihatkan seseorang tatkala ia
berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ketika kedua sifat ini dan tentu
sifat-sifat yang lainnya, baik berupa kemurahan hati, keberanian dan kesetiaan
yang juga termasuk ciri dari rahmat yang sering disebut dalam al-Qur’an
mampu diakomodir dan dikonstruk dalam tatanan kehidupan seorang hamba, tentu
ini akan melahirkan sikap positif dan menunjukkan sebagai bukti seorang hamba
yang beriman.
Memperlihatkan seorang
hamba telah beriman kepada Tuhan berarti ikut membatasi segala keyakinannya
yang berada di luar konteks Tuhan. Bagaimana pun, nilai-nilai yang didapat
seorang hamba atas rahmat Tuhan telah memberikan pilihan tentang
kebaikan, dan kebaikan yang berada di sekitar hambanya adalah bukti konkrit
adanya tingkat kepedulian Tuhan kepada hambanya juga. Karena itu, dengan
sendirinya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama
yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan
pandangan mereka tentang hidup. Pandangan bahwa hidup itu buruk yang ada dalam
satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya melakukan segala usaha untuk
memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka
tidak berkembang. Al-Qur’an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya
manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulkayat2)dan mengidealkan
hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. al-Nahl,
l6: 97).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lihatlah kasih sayang Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi,
hingga kita dapat mengetahui berbagai sifat-Nya, sebagaimana firman Allah
Subhaanahu Wata’ala, artinya, Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih
sayang.” (QS. Al An’am: 54).
Sifat
Allah adalah kasih sayang. Adapun kemurkaan-Nya adalah akibat dari perbuatan
kita sendiri. Dan kasih sayang Allah mengalahkan kemurkaan-Nya.
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Allah
Azza Wajalla berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, artinya,
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Raghib
al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196.
4 Ibid
Abu
Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971),
Ahmad
ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),
[1] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam
Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196.
4 Ibid, hlm. 471.
[2] Abu Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah
li an-Nsyar, 1971), hlm. 78. 6
[3] Ahmad ad-Damanhuri, Syarh
Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),hlm.113.
MAKALAH
“TAFSIR”
Dosen Pengampu : Sahroni,S.Pd.IM.Pd.I
Tentang :
“Tentang Ayat Rahmat’’
Disusun
oleh :
MAHFUZ
M.RIDWAN
LESTARI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020/2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur
atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan.
Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan
tentang “Tentang
Ayat Rahmat’’
Kami
sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para
pembaca.
Demikianlah
makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Kuala
Tungkal, April 2020
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai wahyu yang
dipandang begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat sakralitasnya telah
menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan
sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks
tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris,
seperti manusia terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq)
atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini
dapat dianggap sebagai rahmat dan obat penawar bagi manusia. Bahkan
tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan
ungkapan kongkret bertujuan membimbing (ihtida’) manusia ke jalan yang
benar, dan bukan sebagai laknat bagi hambanya.’
B. Rumusan Masalah
1. Apa Ayat Tentang Rahmat?
2. Ma’idzah Nasehat dan pelajaran dari
ayat tentang Rahmat?
3.
Al-Qur’an Sebagai Rahmat?
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat Tentang Rahmat dan Karunia Terbesar Itu Bernama al-Qur’an
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrßÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan“. (Qs. Yunus 57-58).
Ketika kaum Muslimin berhasil membuka negeri Iraq pada
masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu,
mereka memperoleh berbagai ghanimah (rampasan perang). Ketika kharaj Iraq
diserahkan kepada Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah,
beliau keluar bersama budaknya untuk menerima Kharaj tersebut. Beliau mulai
menghitung Onta hasil rampasan perang yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash
ini ternyata jumlahnya sangat banyak, sembari menghitung beliau terus
menggumamkan puji dan syukur pada Allah. “Alhamdulillah Lillahi Ta’ala”,
ucapnya. Menyambut sikap ini budak beliau mengatakan, “Ini adalah fadhl (karunia)
Allah dan rahmat-Nya”. “kamu berdusta”, sambut Umar. “Bukan
ini”, lanjutnya. Karunia dan rahmat Allah yang sesungguhnya adalah yang
dikatakan oleh Allah, “katakan! Dengan karunia Allah dan rahmat-Nyalah
hendakanya mereka bergembira, ia lebih lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” (terj.Qs. Yunus 58).
Fragmen di atas dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir
al-Qur’an al-Adzim ketika menjelaskan tafsir ayat 57-58 surat Yunus yang
dibahas dalam tulisan ini. Melalui penggalan kisah ini pula Amirul Mu’minin
mengajari kita bagaimana menempatkan perbandingan antara kekayaan materi
duniawi dengan karunia Allah berupa ni’mat Al-Qur’an pada posisi yang adil.
Bahwa nikmat al-Qur’an lebih baik dari berbagai sisi dibanding seluruh
perbendaharaan dunia dengan segala pernak-perniknya yang fana dan akan hilang.
Senada
dengan Amirul Mukminin sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu dan
turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga memaknai
karunia Allah (fadhlu[i]llah) dalam ayat di atas dengan al-Qur’an. Sehingga
makna ‘’qul bifadhillahi wa bihamatihi . . . “, hingga ujung ayat
bermakna, “Sampaikanlah –wahai Rasul kami- kepada mereka semua dan
perintahkanlah mereka untuk bergembira dengan Islam dan syariatnya dan
bergembiralah dengan al-Qur’an dan ilmu-ilmunya”. (Aisarut Tafasir,
3/569).
Oleh sebab itu Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan
kepada manusia untuk bergembira dengan karunia al-Qur’an tersebut, sebab ia
mengandung unsur penting yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupan
dunia ini, yaitu (1) mau’idzah (nasehat dan pengajaran), (2) syifa (penawar dan
penyembuh) berbagai penyakit dalam dada, (3) huda[n] (petunjuk), dan (4)
rahmat.
B. Ma’idzah Nasehat dan pelajaran
Inilah unsur dan sifat pertama yang dikandung oleh al Qur’an
yang disebutkan pada ayat di atas. Secara harfiah mau’idzah berarti nasehat dan
pelajaran. Penulis Kitab At-Tafsir al-Wajiz (hlm.216) menyebutnya
sebagai nasehat yang mendalam dan menyentuh serta mengandung wasiat (pesan)
untuk melakukan kebaikan dan mengikuti kebenaran serta menjauhi keburukan dan
kebatilan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna Qur’an sebagai nasehat dan
pelajaran adalah, “zajir ‘anil fawahisy; melarang dari perbuatan keji”.
(Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 3/1380). Syekh As Sa’di menambahkan
penjelasan yang lebih rinci tentang makna mau’idzah yang diperankan oleh
al-Qur’an, yakni menasehati dan memperingatkan dari berbagai amal perbuatan
yang mengundang murka Allah dan berkonsekuensi pada turunnya adzab-Nya dengan
disertai penejelasan akan dampak buruk dan mafsadat dari perbuatan tersebut”.
(Lih, Tafsir As Sa’di, hlm. 213-214).
Sebagai kalamullah atau kitab suci yang bersumber dari Allah
Rabbul ‘alamin, metode Al-Qur’an dalam menasehati dan mengajari manusia untuk
melakukan kebaikan, mengikuti kebenaran, serta meninggalkan perbuatan buruk dan
keji yang mengundang murka, siksa dan adzab Allah adalah metode yang sesuai
dengat tabiat dan kecenderungan jiwa manusia. Yakni melalui tadzkir
(peringatan), targhib (motifasi), dan tarhib (ancaman),
sebagaimana dikatakan oleh para Ahli Tafsir diantaranya Imam Ath-Thabari,
Asy-Syaukani, Az Zuhali, dan yang lainnya.
Selain dalam ayat ini, fungsi dan peran al-Qur’an sebagai
mau’idzah diterangkan pula dalam ayat lain diantaranya surat Ali Imran ayat 138
dan An-Nur ayat 34;
ôs)s9ur !$uZø9tRr& óOä3øs9Î) ;M»t#uä ;M»uZÉit7B WxsWtBur z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#öqn=yz `ÏB óOä3Î=ö6s% ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÌÍÈ
Artinya
: dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran[3]: 138).
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur úüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ
138.
(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
C. Al-Qur’an Sebagai Rahmat
Fungsi keempat bagi al-Qur’an adalah sebagai rahmat, yaitu
karunia berupa kasih sayang, kebaikan, dan pahala di dunia dan akhirat.
Menurut Buaya Hamka ini hasil dari urutan tiga pertama (mau’idzah,
syifa’, dan hudan). Menurutnya bila ajaran Allah dipegag teguh, al-Qur’an
dijadikan sebagai obat hati penawar dada, dan dijadikan petunjuk dalam
perjalanan hidup, pasti akan merasakan rahmat Ilahi bagi diri, rumah tangga,
dan masyarakat.
Semakna dengan pendapat Buya Hamka di atas Syekh As Sa’di
juga mengatakan bahwa bila seseorang memperoleh hidayah, maka ia berhak
mendapat rahmat yang berasal dari hidayah tersebut. Sehingga ia meraih
kebahagiaan (saa’dah) kesuksesan (falah), keberuntungan (ribh), keselamatan
(najah), kesenangan (farh), dan kegembiraan (surur). (
Akan tetapi karunia Allah berupa hidayah dan rahmat kasih
sayang Allah sebagai bagian dari fungsi al-Qur’an hanya diperuntukan bagi
orang-orang beriman. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Hal itu
(hidayah dan rahmat) hanya berlaku bagi orang-orang beriman yang mengimani,
mempercayai, dan meyakini al-Qur’an beserta isi kandungan yang terdapat di
dalamnya” (Tafsir Ibn Katsri, 3/1380).
Rahmat dalam
bahasa Arab disebut rahmah. Penyebutan ini mengandung konotasi yang
mengarahriqqahtaqtadlikepadaal-ihsanila al“-marhum,
perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi.
Dalam penggunaannya, kata itu bisa mencakup kedua batasan itu dan bisa juga
hanya mencakup salah satunya, rasa kasih atau memberikan kebaikan saja.3
Islam itu adalah satu organisme yang hidup, sehingga ketika dinyatakan sebagai rahmat
bagi seluruh alam, maka berarti agama itu mengasihi dan
memberikan kebaikan
secara aktual kepada s kebaikan aktual berarti menjadi agama laknat. Hal ini
karena kebalikan dari rahmat adalah laknat, yang berarti hukuman, tidak
memberi atau tidak ada kebaikan dan doa supaya dijauhkan dari kebaikan Tuhan
Paradigma Islam agama rahmat
ini sejalan dengan paradigma ketuhanan dalam Islam. Allah dalam al-Qur’an
menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6:l2):Dalam
ayat l07 S. al-Anbiya’ituditegaskan bahwa Islam menjadi rahmat bagi
seluruh alam (al-’alamin).Al-’Alaminadalahjamak dari ‘alam (alam).
Alam adalah semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam
(dalam bahasa Arab ‘alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi
media untuk mengenal Allah, Penciptanya.[1]
Namun jika dihubungkan
dengan istilah la (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan
ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar
ilmu. Menurut mereka, alasannya adalah: pertama, manusia itu merupakan
bagian dari alam dan jika dia bersama-sama yang lain menjadi cakupan pengertian
kata, maka dialah yang dijadikan pertimbangan untuk memperlakukan kata itu. Kedua,
yang dimaksudkan dengan al-’alaminbukanseluruh alam, tapi hanya
malaikat, jin dan manusia. Ketiga, yang dimaksudkan dengan al-’alaminhanya
manusia saja karena masing-masing manusia yangmemiliki keunikan yang
membedakannya dari yang lain, merupakan alam yang tersendiri.[2]
Kesadaran ini telah
diungkapkan oleh al-Qur’an bahwa segala yang ada di langit dan bumi itu
bertasbih kepada AIlah. Dengan demikian, wajar jika al-Qur’an menyebut alam
semesta dengan bentuk jamak yang biasa digunakan untuk manusia yang berakal.
Ayat itu menegaskan idealitas risalah atau agama Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alamdengan menggunakan pola kalimat nafi-istitsna’(menafikan-mengecualik
mengutusmu (Nabi), kecuali untuk menjadi rahmat (istitsna’).
Pola itu digunakan
untukm membatasi (al-qashr). pola nafi-’istitsnaitudalampenggunaannya
dimaksudkan untuk menetapkan satu kualitas bagi sesuatu deng secara total,
sehingga pengertian pernyataanrahmatdan terseb agama yang tidak menjadi
rahmat itu bukan Is
Pengertian yang
demikian, maka pernyataan untuk mengesakan Allah dalam tahlil la ilaha
illa)dansyahadatAllahpunmenggunakan pola itu, bukan pola lain yang
dikatakan lebih kuat dalam memberi pembatasan. Penggunaan pola tersebut
sudah barang tentu untuk menafikan kualitas ketuhanan dari selain All agama
politheis[3]
Islam itu adalah agama
rahmat, tidak ada Islam yang tidak menjadi rahmat. Karenaitu, Islam yang
qur’ani adalah Islam yang menjadi rahmat dan “Islam” yang ti rahmat bukanlah
Islam yang sesuai dengan ideal kitab suci itu, sehingga berarti al-Qur’anjuga
hadits) yang menjadi dasarnya itu adalah bangunan rahmat, bukan sekedar
bangunan kalimat, kata dan huruf-huruf. Dengan demikian, paradigma Islam yang
qur’ani itu bukan Islam sebagai agama asing (gharib) yang sama sekali
berbeda dari agama dan budaya lain, sehingga umat Islam harus berbeda dari
umat-umat yang lain dalam segala hal.
Pembuktian ini dapat
ditunjukkan melalui menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki
sifat kasih (Q.S. al-An’am,6: l2), yang berbunyi sebagai berikut:
@è%
`yJÏj9
$¨B
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
( @è%
°! 4 |=tGx.
4n?tã
ÏmÅ¡øÿtR
spyJôm§9$#
4 öNä3¨ZyèyJôfus9
4n<Î)
ÏQöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
w |=÷u
ÏmÏù
4 úïÏ%©!$#
(#ÿrçÅ£yz
öNåk|¦àÿRr&
óOßgsù
w cqãZÏB÷sã
ÇÊËÈ
Artinyab:Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah:
"Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih
sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak
beriman(Q.S.Al-An am : 12)
Firman itu menunjukkan
bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat sifat yang lain dan
perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, sehingga ketika
memperkenalkan diri-Nya dalam surat al-Fatihah, surat pertama dan bagian dari
al-Qur’an yang paling banyak dibaca umat Islam, Dia sampai dua kali menyebut
diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pertama, dalam ayat pertama
sebagai perkenalan pertama dan kedua dalam ayat ketiga sebagai penegasan
cinta-kasih-Nya dalam menciptakan dan memelihara alam semesta. Karena itu,
wajar jika risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya
memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Paradigma Islam yang
qur’ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi
Islam yang sesuai dengan al-Qur’an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan
persekutuan atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata
bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila laknat bagi masyarakat yang
berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, maka Islam
yang qur’ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari
ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.
Pertimbangan akan
adanya rahmat tentu melewati berbagai proses, yang salah satunya berupa
sabar dan jujur. Kedua sifat ini merupakan arah pembentukan karakter seorang
hamba yang hendak membentuk sikap daya tahan yang dijalani seorang hamba dalam
menerima ujian-ujian dari Tuhan. Lebih lanjut, kesabaran dan kejujuran
merupakan aspek keyakinan yang khas yang diperlihatkan seseorang tatkala ia
berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ketika kedua sifat ini dan tentu
sifat-sifat yang lainnya, baik berupa kemurahan hati, keberanian dan kesetiaan
yang juga termasuk ciri dari rahmat yang sering disebut dalam al-Qur’an
mampu diakomodir dan dikonstruk dalam tatanan kehidupan seorang hamba, tentu
ini akan melahirkan sikap positif dan menunjukkan sebagai bukti seorang hamba
yang beriman.
Memperlihatkan seorang
hamba telah beriman kepada Tuhan berarti ikut membatasi segala keyakinannya
yang berada di luar konteks Tuhan. Bagaimana pun, nilai-nilai yang didapat
seorang hamba atas rahmat Tuhan telah memberikan pilihan tentang
kebaikan, dan kebaikan yang berada di sekitar hambanya adalah bukti konkrit
adanya tingkat kepedulian Tuhan kepada hambanya juga. Karena itu, dengan
sendirinya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama
yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan
pandangan mereka tentang hidup. Pandangan bahwa hidup itu buruk yang ada dalam
satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya melakukan segala usaha untuk
memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka
tidak berkembang. Al-Qur’an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya
manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulkayat2)dan mengidealkan
hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. al-Nahl,
l6: 97).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lihatlah kasih sayang Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi,
hingga kita dapat mengetahui berbagai sifat-Nya, sebagaimana firman Allah
Subhaanahu Wata’ala, artinya, Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih
sayang.” (QS. Al An’am: 54).
Sifat
Allah adalah kasih sayang. Adapun kemurkaan-Nya adalah akibat dari perbuatan
kita sendiri. Dan kasih sayang Allah mengalahkan kemurkaan-Nya.
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Allah
Azza Wajalla berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, artinya,
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Raghib
al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196.
4 Ibid
Abu
Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971),
Ahmad
ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),
No comments:
Post a Comment