Iklan Sponsor

Wednesday 13 May 2020

Tentang Ayat Rahmat’







MAKALAH
                                                          “TAFSIR”
Dosen Pengampu : Sahroni,S.Pd.IM.Pd.I

Tentang :
“Tentang  Ayat Rahmat’’




Description: Image result for logo stai an nadwah
 










Disusun oleh :
MAHFUZ
M.RIDWAN
LESTARI















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020/2021



KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb
            Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan. Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang “Tentang Ayat Rahmat’’
            Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
            Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam

Kuala Tungkal,  April 2020




Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagai wahyu yang dipandang begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris, seperti manusia terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq) atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini dapat dianggap sebagai rahmat dan obat penawar bagi manusia. Bahkan tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan ungkapan kongkret bertujuan membimbing (ihtida’) manusia ke jalan yang benar, dan bukan sebagai laknat bagi hambanya.’

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Ayat Tentang Rahmat?
2.      Ma’idzah Nasehat dan pelajaran dari ayat tentang Rahmat?
3.      Al-Qur’an Sebagai Rahmat?


4.       

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Ayat Tentang Rahmat dan Karunia Terbesar Itu Bernama al-Qur’an

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ   ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ  
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan“. (Qs. Yunus 57-58).
Ketika  kaum Muslimin berhasil membuka negeri Iraq pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab  radhiyallahu ‘anhu, mereka memperoleh berbagai ghanimah (rampasan perang). Ketika kharaj Iraq diserahkan kepada Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah, beliau keluar bersama budaknya untuk menerima Kharaj tersebut. Beliau mulai menghitung Onta hasil rampasan perang yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ini ternyata jumlahnya sangat banyak, sembari menghitung beliau terus menggumamkan puji dan syukur pada Allah. “Alhamdulillah Lillahi Ta’ala”, ucapnya. Menyambut sikap ini budak beliau mengatakan, “Ini adalah fadhl (karunia) Allah dan rahmat-Nya”. “kamu berdusta”, sambut Umar. “Bukan ini”, lanjutnya. Karunia dan rahmat Allah yang sesungguhnya adalah yang dikatakan oleh Allah, “katakan! Dengan karunia Allah dan rahmat-Nyalah hendakanya mereka bergembira, ia lebih lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (terj.Qs. Yunus 58).
Fragmen di atas dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim ketika menjelaskan tafsir ayat 57-58 surat Yunus yang dibahas dalam tulisan ini. Melalui penggalan kisah ini pula Amirul Mu’minin mengajari kita bagaimana menempatkan perbandingan antara kekayaan materi duniawi dengan karunia Allah berupa ni’mat Al-Qur’an pada posisi yang adil. Bahwa nikmat al-Qur’an lebih baik dari berbagai sisi dibanding seluruh perbendaharaan dunia dengan segala pernak-perniknya yang fana dan akan hilang.
Senada dengan Amirul Mukminin sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu dan turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga memaknai karunia Allah (fadhlu[i]llah) dalam ayat di atas dengan al-Qur’an. Sehingga makna ‘’qul bifadhillahi wa bihamatihi . . . “, hingga ujung ayat bermakna, “Sampaikanlah –wahai Rasul kami- kepada mereka semua dan perintahkanlah mereka untuk bergembira dengan Islam dan syariatnya dan bergembiralah dengan al-Qur’an dan ilmu-ilmunya”. (Aisarut Tafasir, 3/569).
Oleh sebab itu Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan kepada manusia untuk bergembira dengan karunia al-Qur’an tersebut, sebab ia mengandung unsur penting yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupan dunia ini, yaitu (1) mau’idzah (nasehat dan pengajaran), (2) syifa (penawar dan penyembuh) berbagai penyakit dalam dada, (3) huda[n] (petunjuk), dan (4) rahmat.

B.     Ma’idzah Nasehat dan pelajaran

Inilah unsur dan sifat pertama yang dikandung oleh al Qur’an yang disebutkan pada ayat di atas. Secara harfiah mau’idzah berarti nasehat dan pelajaran. Penulis Kitab At-Tafsir al-Wajiz (hlm.216) menyebutnya sebagai nasehat yang mendalam dan menyentuh serta mengandung wasiat (pesan) untuk melakukan kebaikan dan mengikuti kebenaran serta menjauhi keburukan dan kebatilan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna Qur’an sebagai nasehat dan pelajaran adalah, “zajir ‘anil fawahisy; melarang dari perbuatan keji”. (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 3/1380). Syekh As Sa’di menambahkan penjelasan yang lebih rinci tentang makna mau’idzah yang diperankan oleh al-Qur’an, yakni menasehati dan memperingatkan dari berbagai amal perbuatan yang mengundang murka Allah dan berkonsekuensi pada turunnya adzab-Nya dengan disertai penejelasan akan dampak buruk dan mafsadat dari perbuatan tersebut”. (Lih, Tafsir As Sa’di, hlm. 213-214).
Sebagai kalamullah atau kitab suci yang bersumber dari Allah Rabbul ‘alamin, metode Al-Qur’an dalam menasehati dan mengajari manusia untuk melakukan kebaikan, mengikuti kebenaran, serta meninggalkan perbuatan buruk dan keji yang mengundang murka, siksa dan adzab Allah adalah metode yang sesuai dengat tabiat dan kecenderungan jiwa manusia. Yakni melalui tadzkir (peringatan), targhib (motifasi), dan tarhib (ancaman), sebagaimana dikatakan oleh para Ahli Tafsir diantaranya Imam Ath-Thabari, Asy-Syaukani, Az Zuhali, dan yang lainnya.
Selain dalam ayat ini, fungsi dan peran al-Qur’an sebagai mau’idzah diterangkan pula dalam ayat lain diantaranya surat Ali Imran ayat 138 dan An-Nur ayat 34;
ôs)s9ur !$uZø9tRr& óOä3øŠs9Î) ;M»tƒ#uä ;M»uZÉit7B WxsWtBur z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#öqn=yz `ÏB óOä3Î=ö6s% ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÌÍÈ  
Artinya : dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran[3]: 138).
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur šúüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ  
138. (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

C.     Al-Qur’an Sebagai Rahmat

Fungsi keempat bagi al-Qur’an adalah sebagai rahmat, yaitu karunia berupa kasih sayang, kebaikan, dan pahala di dunia dan akhirat. Menurut  Buaya Hamka ini hasil dari urutan tiga pertama (mau’idzah, syifa’, dan hudan). Menurutnya bila ajaran Allah dipegag teguh, al-Qur’an dijadikan sebagai obat hati penawar dada, dan dijadikan petunjuk dalam perjalanan hidup, pasti akan merasakan rahmat Ilahi bagi diri, rumah tangga, dan masyarakat.
Semakna dengan pendapat Buya Hamka di atas Syekh As Sa’di juga mengatakan bahwa bila seseorang memperoleh hidayah, maka ia berhak mendapat rahmat yang berasal dari hidayah tersebut. Sehingga ia meraih kebahagiaan (saa’dah) kesuksesan (falah), keberuntungan (ribh), keselamatan (najah), kesenangan (farh), dan  kegembiraan (surur). (
Akan tetapi karunia Allah berupa hidayah dan rahmat kasih sayang Allah sebagai bagian dari fungsi al-Qur’an hanya diperuntukan bagi orang-orang beriman. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Hal itu (hidayah dan rahmat) hanya berlaku bagi orang-orang beriman yang mengimani, mempercayai, dan meyakini al-Qur’an beserta isi kandungan yang terdapat di dalamnya” (Tafsir Ibn Katsri, 3/1380).
Rahmat dalam bahasa Arab disebut rahmah. Penyebutan ini mengandung konotasi yang mengarahriqqahtaqtadlikepadaal-ihsanila al-marhum, perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Dalam penggunaannya, kata itu bisa mencakup kedua batasan itu dan bisa juga hanya mencakup salah satunya, rasa kasih atau memberikan kebaikan saja.3 Islam itu adalah satu organisme yang hidup, sehingga ketika dinyatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka berarti agama itu mengasihi dan
memberikan kebaikan secara aktual kepada s kebaikan aktual berarti menjadi agama laknat. Hal ini karena kebalikan dari rahmat adalah laknat, yang berarti hukuman, tidak memberi atau tidak ada kebaikan dan doa supaya dijauhkan dari kebaikan Tuhan

Paradigma Islam agama rahmat ini sejalan dengan paradigma ketuhanan dalam Islam. Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6:l2):Dalam ayat l07 S. al-Anbiya’ituditegaskan bahwa Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam (al-’alamin).Al-’Alaminadalahjamak dari ‘alam (alam). Alam adalah semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam (dalam bahasa Arab ‘alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi media untuk mengenal Allah, Penciptanya.[1]
Namun jika dihubungkan dengan istilah la (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar ilmu. Menurut mereka, alasannya adalah: pertama, manusia itu merupakan bagian dari alam dan jika dia bersama-sama yang lain menjadi cakupan pengertian kata, maka dialah yang dijadikan pertimbangan untuk memperlakukan kata itu. Kedua, yang dimaksudkan dengan al-’alaminbukanseluruh alam, tapi hanya malaikat, jin dan manusia. Ketiga, yang dimaksudkan dengan al-’alaminhanya manusia saja karena masing-masing manusia yangmemiliki keunikan yang membedakannya dari yang lain, merupakan alam yang tersendiri.[2]
Kesadaran ini telah diungkapkan oleh al-Qur’an bahwa segala yang ada di langit dan bumi itu bertasbih kepada AIlah. Dengan demikian, wajar jika al-Qur’an menyebut alam semesta dengan bentuk jamak yang biasa digunakan untuk manusia yang berakal. Ayat itu menegaskan idealitas risalah atau agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alamdengan menggunakan pola kalimat nafi-istitsna’(menafikan-mengecualik mengutusmu (Nabi), kecuali untuk menjadi rahmat (istitsna’).
Pola itu digunakan untukm membatasi (al-qashr). pola nafi-istitsnaitudalampenggunaannya dimaksudkan untuk menetapkan satu kualitas bagi sesuatu deng secara total, sehingga pengertian pernyataanrahmatdan terseb agama yang tidak menjadi rahmat itu bukan Is
Pengertian yang demikian, maka pernyataan untuk mengesakan Allah dalam tahlil la ilaha illa)dansyahadatAllahpunmenggunakan pola itu, bukan pola lain yang dikatakan lebih kuat dalam memberi pembatasan. Penggunaan pola tersebut sudah barang tentu untuk menafikan kualitas ketuhanan dari selain All agama politheis[3]
Islam itu adalah agama rahmat, tidak ada Islam yang tidak menjadi rahmat. Karenaitu, Islam yang qur’ani adalah Islam yang menjadi rahmat dan “Islam” yang ti rahmat bukanlah Islam yang sesuai dengan ideal kitab suci itu, sehingga berarti al-Qur’anjuga hadits) yang menjadi dasarnya itu adalah bangunan rahmat, bukan sekedar bangunan kalimat, kata dan huruf-huruf. Dengan demikian, paradigma Islam yang qur’ani itu bukan Islam sebagai agama asing (gharib) yang sama sekali berbeda dari agama dan budaya lain, sehingga umat Islam harus berbeda dari umat-umat yang lain dalam segala hal.
Pembuktian ini dapat ditunjukkan melalui menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6: l2), yang berbunyi sebagai berikut:
@è% `yJÏj9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( @è% °! 4 |=tGx. 4n?tã ÏmÅ¡øÿtR spyJôm§9$# 4 öNä3¨ZyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 4 šúïÏ%©!$# (#ÿrçŽÅ£yz öNåk|¦àÿRr& óOßgsù Ÿw šcqãZÏB÷sムÇÊËÈ  
Artinyab:Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman(Q.S.Al-An am : 12)
Firman itu menunjukkan bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat sifat yang lain dan perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, sehingga ketika memperkenalkan diri-Nya dalam surat al-Fatihah, surat pertama dan bagian dari al-Qur’an yang paling banyak dibaca umat Islam, Dia sampai dua kali menyebut diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pertama, dalam ayat pertama sebagai perkenalan pertama dan kedua dalam ayat ketiga sebagai penegasan cinta-kasih-Nya dalam menciptakan dan memelihara alam semesta. Karena itu, wajar jika risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Paradigma Islam yang qur’ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi Islam yang sesuai dengan al-Qur’an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan persekutuan atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila laknat bagi masyarakat yang berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, maka Islam yang qur’ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.
Pertimbangan akan adanya rahmat tentu melewati berbagai proses, yang salah satunya berupa sabar dan jujur. Kedua sifat ini merupakan arah pembentukan karakter seorang hamba yang hendak membentuk sikap daya tahan yang dijalani seorang hamba dalam menerima ujian-ujian dari Tuhan. Lebih lanjut, kesabaran dan kejujuran merupakan aspek keyakinan yang khas yang diperlihatkan seseorang tatkala ia berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ketika kedua sifat ini dan tentu sifat-sifat yang lainnya, baik berupa kemurahan hati, keberanian dan kesetiaan yang juga termasuk ciri dari rahmat yang sering disebut dalam al-Qur’an mampu diakomodir dan dikonstruk dalam tatanan kehidupan seorang hamba, tentu ini akan melahirkan sikap positif dan menunjukkan sebagai bukti seorang hamba yang beriman.
Memperlihatkan seorang hamba telah beriman kepada Tuhan berarti ikut membatasi segala keyakinannya yang berada di luar konteks Tuhan. Bagaimana pun, nilai-nilai yang didapat seorang hamba atas rahmat Tuhan telah memberikan pilihan tentang kebaikan, dan kebaikan yang berada di sekitar hambanya adalah bukti konkrit adanya tingkat kepedulian Tuhan kepada hambanya juga. Karena itu, dengan sendirinya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan pandangan mereka tentang hidup. Pandangan bahwa hidup itu buruk yang ada dalam satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya melakukan segala usaha untuk memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka tidak berkembang. Al-Qur’an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulkayat2)dan mengidealkan hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. al-Nahl, l6: 97).


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Lihatlah kasih sayang Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, hingga kita dapat mengetahui berbagai sifat-Nya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala, artinya, Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (QS. Al An’am: 54).
Sifat Allah adalah kasih sayang. Adapun kemurkaan-Nya adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Dan kasih sayang Allah mengalahkan kemurkaan-Nya.
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Allah Azza Wajalla berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, artinya,
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).





DAFTAR PUSTAKA


Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196. 4 Ibid

Abu Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971),

Ahmad ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),




[1] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196. 4 Ibid, hlm. 471.
[2] Abu Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971), hlm. 78. 6
[3] Ahmad ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),hlm.113.
MAKALAH
                                                          “TAFSIR”
Dosen Pengampu : Sahroni,S.Pd.IM.Pd.I

Tentang :
“Tentang  Ayat Rahmat’’




Description: Image result for logo stai an nadwah
 










Disusun oleh :
MAHFUZ
M.RIDWAN
LESTARI















SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020/2021



KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr. wb
            Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan. Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang “Tentang Ayat Rahmat’’
            Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
            Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam

Kuala Tungkal,  April 2020




Penyusun


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagai wahyu yang dipandang begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris, seperti manusia terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq) atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini dapat dianggap sebagai rahmat dan obat penawar bagi manusia. Bahkan tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan ungkapan kongkret bertujuan membimbing (ihtida’) manusia ke jalan yang benar, dan bukan sebagai laknat bagi hambanya.’

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Ayat Tentang Rahmat?
2.      Ma’idzah Nasehat dan pelajaran dari ayat tentang Rahmat?
3.      Al-Qur’an Sebagai Rahmat?


4.       

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Ayat Tentang Rahmat dan Karunia Terbesar Itu Bernama al-Qur’an

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ   ö@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ  
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan“. (Qs. Yunus 57-58).
Ketika  kaum Muslimin berhasil membuka negeri Iraq pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab  radhiyallahu ‘anhu, mereka memperoleh berbagai ghanimah (rampasan perang). Ketika kharaj Iraq diserahkan kepada Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah, beliau keluar bersama budaknya untuk menerima Kharaj tersebut. Beliau mulai menghitung Onta hasil rampasan perang yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ini ternyata jumlahnya sangat banyak, sembari menghitung beliau terus menggumamkan puji dan syukur pada Allah. “Alhamdulillah Lillahi Ta’ala”, ucapnya. Menyambut sikap ini budak beliau mengatakan, “Ini adalah fadhl (karunia) Allah dan rahmat-Nya”. “kamu berdusta”, sambut Umar. “Bukan ini”, lanjutnya. Karunia dan rahmat Allah yang sesungguhnya adalah yang dikatakan oleh Allah, “katakan! Dengan karunia Allah dan rahmat-Nyalah hendakanya mereka bergembira, ia lebih lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (terj.Qs. Yunus 58).
Fragmen di atas dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim ketika menjelaskan tafsir ayat 57-58 surat Yunus yang dibahas dalam tulisan ini. Melalui penggalan kisah ini pula Amirul Mu’minin mengajari kita bagaimana menempatkan perbandingan antara kekayaan materi duniawi dengan karunia Allah berupa ni’mat Al-Qur’an pada posisi yang adil. Bahwa nikmat al-Qur’an lebih baik dari berbagai sisi dibanding seluruh perbendaharaan dunia dengan segala pernak-perniknya yang fana dan akan hilang.
Senada dengan Amirul Mukminin sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu dan turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga memaknai karunia Allah (fadhlu[i]llah) dalam ayat di atas dengan al-Qur’an. Sehingga makna ‘’qul bifadhillahi wa bihamatihi . . . “, hingga ujung ayat bermakna, “Sampaikanlah –wahai Rasul kami- kepada mereka semua dan perintahkanlah mereka untuk bergembira dengan Islam dan syariatnya dan bergembiralah dengan al-Qur’an dan ilmu-ilmunya”. (Aisarut Tafasir, 3/569).
Oleh sebab itu Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan kepada manusia untuk bergembira dengan karunia al-Qur’an tersebut, sebab ia mengandung unsur penting yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupan dunia ini, yaitu (1) mau’idzah (nasehat dan pengajaran), (2) syifa (penawar dan penyembuh) berbagai penyakit dalam dada, (3) huda[n] (petunjuk), dan (4) rahmat.

B.     Ma’idzah Nasehat dan pelajaran

Inilah unsur dan sifat pertama yang dikandung oleh al Qur’an yang disebutkan pada ayat di atas. Secara harfiah mau’idzah berarti nasehat dan pelajaran. Penulis Kitab At-Tafsir al-Wajiz (hlm.216) menyebutnya sebagai nasehat yang mendalam dan menyentuh serta mengandung wasiat (pesan) untuk melakukan kebaikan dan mengikuti kebenaran serta menjauhi keburukan dan kebatilan.
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna Qur’an sebagai nasehat dan pelajaran adalah, “zajir ‘anil fawahisy; melarang dari perbuatan keji”. (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 3/1380). Syekh As Sa’di menambahkan penjelasan yang lebih rinci tentang makna mau’idzah yang diperankan oleh al-Qur’an, yakni menasehati dan memperingatkan dari berbagai amal perbuatan yang mengundang murka Allah dan berkonsekuensi pada turunnya adzab-Nya dengan disertai penejelasan akan dampak buruk dan mafsadat dari perbuatan tersebut”. (Lih, Tafsir As Sa’di, hlm. 213-214).
Sebagai kalamullah atau kitab suci yang bersumber dari Allah Rabbul ‘alamin, metode Al-Qur’an dalam menasehati dan mengajari manusia untuk melakukan kebaikan, mengikuti kebenaran, serta meninggalkan perbuatan buruk dan keji yang mengundang murka, siksa dan adzab Allah adalah metode yang sesuai dengat tabiat dan kecenderungan jiwa manusia. Yakni melalui tadzkir (peringatan), targhib (motifasi), dan tarhib (ancaman), sebagaimana dikatakan oleh para Ahli Tafsir diantaranya Imam Ath-Thabari, Asy-Syaukani, Az Zuhali, dan yang lainnya.
Selain dalam ayat ini, fungsi dan peran al-Qur’an sebagai mau’idzah diterangkan pula dalam ayat lain diantaranya surat Ali Imran ayat 138 dan An-Nur ayat 34;
ôs)s9ur !$uZø9tRr& óOä3øŠs9Î) ;M»tƒ#uä ;M»uZÉit7B WxsWtBur z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#öqn=yz `ÏB óOä3Î=ö6s% ZpsàÏãöqtBur tûüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÌÍÈ  
Artinya : dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Qs. Ali Imran[3]: 138).
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur šúüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ  
138. (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

C.     Al-Qur’an Sebagai Rahmat

Fungsi keempat bagi al-Qur’an adalah sebagai rahmat, yaitu karunia berupa kasih sayang, kebaikan, dan pahala di dunia dan akhirat. Menurut  Buaya Hamka ini hasil dari urutan tiga pertama (mau’idzah, syifa’, dan hudan). Menurutnya bila ajaran Allah dipegag teguh, al-Qur’an dijadikan sebagai obat hati penawar dada, dan dijadikan petunjuk dalam perjalanan hidup, pasti akan merasakan rahmat Ilahi bagi diri, rumah tangga, dan masyarakat.
Semakna dengan pendapat Buya Hamka di atas Syekh As Sa’di juga mengatakan bahwa bila seseorang memperoleh hidayah, maka ia berhak mendapat rahmat yang berasal dari hidayah tersebut. Sehingga ia meraih kebahagiaan (saa’dah) kesuksesan (falah), keberuntungan (ribh), keselamatan (najah), kesenangan (farh), dan  kegembiraan (surur). (
Akan tetapi karunia Allah berupa hidayah dan rahmat kasih sayang Allah sebagai bagian dari fungsi al-Qur’an hanya diperuntukan bagi orang-orang beriman. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Hal itu (hidayah dan rahmat) hanya berlaku bagi orang-orang beriman yang mengimani, mempercayai, dan meyakini al-Qur’an beserta isi kandungan yang terdapat di dalamnya” (Tafsir Ibn Katsri, 3/1380).
Rahmat dalam bahasa Arab disebut rahmah. Penyebutan ini mengandung konotasi yang mengarahriqqahtaqtadlikepadaal-ihsanila al-marhum, perasaan halus (kasih) yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Dalam penggunaannya, kata itu bisa mencakup kedua batasan itu dan bisa juga hanya mencakup salah satunya, rasa kasih atau memberikan kebaikan saja.3 Islam itu adalah satu organisme yang hidup, sehingga ketika dinyatakan sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka berarti agama itu mengasihi dan
memberikan kebaikan secara aktual kepada s kebaikan aktual berarti menjadi agama laknat. Hal ini karena kebalikan dari rahmat adalah laknat, yang berarti hukuman, tidak memberi atau tidak ada kebaikan dan doa supaya dijauhkan dari kebaikan Tuhan

Paradigma Islam agama rahmat ini sejalan dengan paradigma ketuhanan dalam Islam. Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6:l2):Dalam ayat l07 S. al-Anbiya’ituditegaskan bahwa Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam (al-’alamin).Al-’Alaminadalahjamak dari ‘alam (alam). Alam adalah semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam (dalam bahasa Arab ‘alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi media untuk mengenal Allah, Penciptanya.[1]
Namun jika dihubungkan dengan istilah la (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu diciptakan dengan ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin diciptakan tanpa berdasar ilmu. Menurut mereka, alasannya adalah: pertama, manusia itu merupakan bagian dari alam dan jika dia bersama-sama yang lain menjadi cakupan pengertian kata, maka dialah yang dijadikan pertimbangan untuk memperlakukan kata itu. Kedua, yang dimaksudkan dengan al-’alaminbukanseluruh alam, tapi hanya malaikat, jin dan manusia. Ketiga, yang dimaksudkan dengan al-’alaminhanya manusia saja karena masing-masing manusia yangmemiliki keunikan yang membedakannya dari yang lain, merupakan alam yang tersendiri.[2]
Kesadaran ini telah diungkapkan oleh al-Qur’an bahwa segala yang ada di langit dan bumi itu bertasbih kepada AIlah. Dengan demikian, wajar jika al-Qur’an menyebut alam semesta dengan bentuk jamak yang biasa digunakan untuk manusia yang berakal. Ayat itu menegaskan idealitas risalah atau agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alamdengan menggunakan pola kalimat nafi-istitsna’(menafikan-mengecualik mengutusmu (Nabi), kecuali untuk menjadi rahmat (istitsna’).
Pola itu digunakan untukm membatasi (al-qashr). pola nafi-istitsnaitudalampenggunaannya dimaksudkan untuk menetapkan satu kualitas bagi sesuatu deng secara total, sehingga pengertian pernyataanrahmatdan terseb agama yang tidak menjadi rahmat itu bukan Is
Pengertian yang demikian, maka pernyataan untuk mengesakan Allah dalam tahlil la ilaha illa)dansyahadatAllahpunmenggunakan pola itu, bukan pola lain yang dikatakan lebih kuat dalam memberi pembatasan. Penggunaan pola tersebut sudah barang tentu untuk menafikan kualitas ketuhanan dari selain All agama politheis[3]
Islam itu adalah agama rahmat, tidak ada Islam yang tidak menjadi rahmat. Karenaitu, Islam yang qur’ani adalah Islam yang menjadi rahmat dan “Islam” yang ti rahmat bukanlah Islam yang sesuai dengan ideal kitab suci itu, sehingga berarti al-Qur’anjuga hadits) yang menjadi dasarnya itu adalah bangunan rahmat, bukan sekedar bangunan kalimat, kata dan huruf-huruf. Dengan demikian, paradigma Islam yang qur’ani itu bukan Islam sebagai agama asing (gharib) yang sama sekali berbeda dari agama dan budaya lain, sehingga umat Islam harus berbeda dari umat-umat yang lain dalam segala hal.
Pembuktian ini dapat ditunjukkan melalui menyatakan bahwa Dia mewajibkan diri-Nya untuk memiliki sifat kasih (Q.S. al-An’am,6: l2), yang berbunyi sebagai berikut:
@è% `yJÏj9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( @è% °! 4 |=tGx. 4n?tã ÏmÅ¡øÿtR spyJôm§9$# 4 öNä3¨ZyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 4 šúïÏ%©!$# (#ÿrçŽÅ£yz öNåk|¦àÿRr& óOßgsù Ÿw šcqãZÏB÷sムÇÊËÈ  
Artinyab:Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman(Q.S.Al-An am : 12)
Firman itu menunjukkan bahwa sifat dasar-Nya adalah cinta-kasih. Sifat sifat yang lain dan perbuatan-perbuatan-Nya didasarkan pada sifat dasar itu, sehingga ketika memperkenalkan diri-Nya dalam surat al-Fatihah, surat pertama dan bagian dari al-Qur’an yang paling banyak dibaca umat Islam, Dia sampai dua kali menyebut diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pertama, dalam ayat pertama sebagai perkenalan pertama dan kedua dalam ayat ketiga sebagai penegasan cinta-kasih-Nya dalam menciptakan dan memelihara alam semesta. Karena itu, wajar jika risalah Islam yang diwahyukan sebagai bagian dari perbuatan-Nya memelihara alam semesta pun merupakan agama rahmat, agama cinta kasih.
Paradigma Islam yang qur’ani itu adalah agama rahmat dengan pengertian itu, maka ekspresi Islam yang sesuai dengan al-Qur’an, baik dalam pemikiran, perbuatan dan persekutuan atau keummatan adalah ekspresi yang memberikan kebaikan yang nyata bagi kehidupan, khususnya manusia. Apabila laknat bagi masyarakat yang berperadaban itu adalah kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, maka Islam yang qur’ani itu adalah agama yang secara aktual dapat membebaskan umat dari ketiga kutukan itu, bukan malah memeliharanya apalagi membela dan memperjuangkannya.
Pertimbangan akan adanya rahmat tentu melewati berbagai proses, yang salah satunya berupa sabar dan jujur. Kedua sifat ini merupakan arah pembentukan karakter seorang hamba yang hendak membentuk sikap daya tahan yang dijalani seorang hamba dalam menerima ujian-ujian dari Tuhan. Lebih lanjut, kesabaran dan kejujuran merupakan aspek keyakinan yang khas yang diperlihatkan seseorang tatkala ia berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ketika kedua sifat ini dan tentu sifat-sifat yang lainnya, baik berupa kemurahan hati, keberanian dan kesetiaan yang juga termasuk ciri dari rahmat yang sering disebut dalam al-Qur’an mampu diakomodir dan dikonstruk dalam tatanan kehidupan seorang hamba, tentu ini akan melahirkan sikap positif dan menunjukkan sebagai bukti seorang hamba yang beriman.
Memperlihatkan seorang hamba telah beriman kepada Tuhan berarti ikut membatasi segala keyakinannya yang berada di luar konteks Tuhan. Bagaimana pun, nilai-nilai yang didapat seorang hamba atas rahmat Tuhan telah memberikan pilihan tentang kebaikan, dan kebaikan yang berada di sekitar hambanya adalah bukti konkrit adanya tingkat kepedulian Tuhan kepada hambanya juga. Karena itu, dengan sendirinya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama yang peduli kepada nasib manusia. Nasib manusia di dunia berhubungan dengan pandangan mereka tentang hidup. Pandangan bahwa hidup itu buruk yang ada dalam satu kebudayaan akan mendorong masyarakatnya melakukan segala usaha untuk memadamkan hidup guna meraih kebahagiaan sejati, sehingga kehidupan mereka tidak berkembang. Al-Qur’an mengajarkan bahwa hidup itu merupakan ujian supaya manusia melakukan usaha yang terbaik (Q.S. al-Mulkayat2)dan mengidealkan hayah thayyibah, hidup sejahtera, bagi orang beriman (Q.S. al-Nahl, l6: 97).


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Lihatlah kasih sayang Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, hingga kita dapat mengetahui berbagai sifat-Nya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala, artinya, Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (QS. Al An’am: 54).
Sifat Allah adalah kasih sayang. Adapun kemurkaan-Nya adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Dan kasih sayang Allah mengalahkan kemurkaan-Nya.
Dan Rahmat-Ku meliputi Segala Sesuatu
Allah Azza Wajalla berfirman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, artinya,
“Maka jika mereka mendustakan kamu, katakanlah, “Rabbmu mempunyai rahmat yang luas.” (QS. Al An’aam: 147).





DAFTAR PUSTAKA


Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196. 4 Ibid

Abu Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971),

Ahmad ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),




[1] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat,(Beirut:AlfadhDaral-Fikr, alt.th),-hlmQur’an.196. 4 Ibid, hlm. 471.
[2] Abu Hasan al-Jurjani, al-Ta’rifat,(Beirut:Dar-Tunisiyah li an-Nsyar, 1971), hlm. 78. 6
[3] Ahmad ad-Damanhuri, Syarh Hilyah al,(Semarang:-LubbThahaalPutera,-Mashunt.th),hlm.113.

No comments:

Post a Comment