Mata Kuliah
“Hukum Perdata Islam di Indonesia”
Tentang :
Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Dosen Pengampu :
Badruddin
Disusun oleh :
Aldi Saputra
18.24.224
SEMESTER
IV/HTN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAMAN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Pencegahan
dan Pembaatalan Perkwinan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliahyang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
April 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1
Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan,
yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Fikih islam tidak mengenal adanya
pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan
dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam
fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab, b-t-l.
Didalam fikih
sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah
al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah
nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil
adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hokum nikah fasid dan batil adalah
sama-sama tidak sah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pencegahan Perkawinan?
2. Sebutkan Undang-Undang yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan?
3. Apa pengertian Pembatalan Perkawinan?
4. Bagaimana Nikahul Fasid dalam Hukum Positif dan Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan
perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi
dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan
dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat
administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun
perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan
pelaksanaan akad nikahnya.
a. Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan
perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi:
“Perkawinan
dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi
persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal
yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat administratif
berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan.
Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan
dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat
dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami
yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan
seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah)
baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali
telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun
mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah
dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah
hokum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya kepada pegawai
pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali
permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang
mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut
maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama
yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan
perkawinan.
Disamping itu
undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis
yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang
melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat
dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan tugasnya
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8,
pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.[1]
Berkenaan dengan orang-orang yang
dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi:
1.
Yang dapat
mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan
kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai
dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2.
Mereka yang
tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat
(1) pasal ini.
Selanjutnya pasal 15 menyatakan:
“Barangsiapa
karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang
perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi
wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat
yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-undangan . Sebaliknya pejabat
yang berwenang dilarang membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974
dinyatakan dengan tegas:
Pegawai
pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan
dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang ini
meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
B. Pengertian pembatalan perkawinan
Pembatalan
perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah
sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan
perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai.
Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan
perkawinan[2]
Dalam pasal 22
UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat
dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta
berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam hukum islam suatu
pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi
syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun
rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi
hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak
terpenuhi adalah salah satu dri syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap
fasid[3]
C. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Untuk
menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat
al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak
memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena
melanggar ketentuanketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan
kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23.
Surat An-Nisa: 22.
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
22. dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Surat An-Nisa: 23.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
23. diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
“Diharamkan
atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu
isterimu
(mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang
bersaudara, kecuali yang terjadi
pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang[4]
D. Faktor yang membatalkan perkawinan
Pada dasarnya
terdapat dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan,
kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun.
Syarat
perkawinan adalah sesuatu yang ada dalam perkawinan, hanya saja jika salah satu
dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak
sah (batal) demi hukum.
Syarat sah
nikah adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri[5]Sah atau tidak sah yang
dimaksud di sini adalah, terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu
ibadah.
Menurut istilah
ushul fiqh, kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan
dengan melengkapi syarat dan rukunnya. Sebagaimana makna asal dari kata sah,
yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan tidak cacat. Ibadah shalat misalnya,
dikatakan sah bilamana dilaksanakan secara lengkap syarat dan rukunnya.
Demikian pula akad perkawinan, dapat
dikatakan sah
apabila melengkapi syarat dan rukun perkawinan itu sendiri. Sedangkan tidak sah
(fasid) atau batal, merupakan lawan dari sah, yang berarti tidak
memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah atau akad[6]
Jadi, tanpa
adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur
pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum,
karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu
perbuatan hukum.
Rukun dan
syarat perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’ di mana seorang
mukallaf tidak boleh menggantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan
syarat yang dia kehendaki. Adapun rukun dan syarat perkawinan menurut
kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang
melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan
dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan duka sama suka tanpa adanya
akad[7]
b. Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan
berakal, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai, terlepas dari
keadaankeadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan
keluarga maupun hubungan yang lainnya, harus pasti dan tentu orangnya[8]
Ada beberapa
hal yang membuat akad nikah menjadi batal, bilamana salah satu dari beberapa
hal di bawah ini terdapat pada suatu pernikahan, akad nikah itu dianggap batal.
a.
Nikah syigar.
b.
Nikah mut'ah.
Yaitu nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut
kesepakatan.
c.
Nikah mukhrim.
Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau salah
satunya sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk
melaksanakan umrah.
d.
Nikah dua orang
laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang wali yang
berjauhan tempat.
e.
Nikah wanita
yang sedang beriddah.
f.
Nikah laki-laki
muslim dengan wanita non Islam.
g.
Nikah wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim.
Selain itu
dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila:
a.
Seorang suami
melakukan poligami tanpa seijin Pengadilan Agama.
b.
Perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadiisteri orang lain yang mafqud.
c.
Perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d.
Perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2
tahun 1974.
e.
Perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
E. Yang Berhak Membatalkan Perkawinan.
Mengenai
orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur
dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a.
Para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b.
Suami atau
isteri.
c.
Pejabat yang
berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
d.
Para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 67.[11]
Pada Pasal 74
ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan
oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi
tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri[12]
Permohonan
pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk permohonan yang bersifat kontensius
(sengketa Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan pembatalan perkawinan
yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur secara terperinci
dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan
perkawinan itu.
Seperti halnya
perceraian, fasakh juga putusnya hubungan perkawinan. Secara harfiyah fasakh
berarti batalnya sebuah perjanjian atau menarik kembali suatu penawaran.
Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan agama.
Tuntutan
pemutusan perkawinan disebabkan karena salah satu pihak memenuhi cela pada
pihak lain yang belum diketahui sebelum berlangsung perkawinan.
Perkawinan yang
sudah berlangsung dianggap sah dengan segala akibat hukumnya bubarnya hubungan
perkawinan dimulai sejak difasakhkan perkawinan itu. Dasar dari putusnya
perkawinan dalam bentuk fasakh berdasar firman Allah SWT Surat An-Nisa’:
35 dan Surat Al-Baqarah: 231.
Surah an-Nisa : 35:
÷bÎ)ur
óOçFøÿÅz
s-$s)Ï©
$uKÍkÈ]÷t/
(#qèWyèö/$$sù
$VJs3ym
ô`ÏiB
¾Ï&Î#÷dr&
$VJs3ymur
ô`ÏiB
!$ygÎ=÷dr&
bÎ)
!#yÌã
$[s»n=ô¹Î)
È,Ïjùuqã
ª!$#
!$yJåks]øt/
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JÎ=tã
#ZÎ7yz
ÇÌÎÈ
Artinya
:dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.
demikian kamu
menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
sebagai
permainan. Dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231)[13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pencegahan
perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi
dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan
dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua,
syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun
perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan
pelaksanaan akad nikahnya.
Pencegahan
perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan
dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.”
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang
tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan.
Para ahli hokum
islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk
yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum dan (2) yang tidak disepakati oleh
para ahli hokum islam. Dan Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I,
nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita
tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
Pernikahan yang
dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan
tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal
Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar
Interpratama.
makalah_prodi_perbandingan
mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
Ahmad rafiq, hukum islam di
Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998),
Aminur Nurudin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama),
[1]Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers hal 21
[2]Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal
Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar
Interpratama. Hal 1
[3]makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan
hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang hal 14
[4]Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers hal 21
[6]Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal
Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar
Interpratama. Hal 78
[7]Ahmad rafiq, hukum islam di
Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998), hal. 139
[8] makalah_prodi_perbandingan mazhab dan
hukum_angkatan 2012 2016_ syariah dan hukum_ UIN_ Raden _ fatah_ palembang
hal 14
[9]Aminur Nurudin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama), Hal.
33-34
[11]Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal
Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar
Interpratama. Hal 5
[12]Ahmad rafiq, hukum islam di
Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998), hal. 139
[13]Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum
Islam Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers hal 21
No comments:
Post a Comment