MAKALAH
FIQH I
Tentang :
“Shalat Jamak dan Qashar”
Dosen Pengampu :M. Hamdan, S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun oleh
:
Kelompok : 09
M. Sultan
Abdul Lutfi
19.11.2490
Reni Hafsari
19.11.2511
SEMESTER :
II/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAMAN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan rahmat, inayah, taufik, dan ilham-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
melaksanakan tugas dari dosen kami Bapak Muhammad, S.Pd.I, M.Pd selaku pengampu
materi Psikologi Belajar.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Kuala
Tungkal April 2020
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat manusia
dengan tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan didunia dan diakhirat. Allah Swt menciptakan manusia supaya mereka
beribadah kepadanya. Akan tetapi ibadah manusia itu tidak akan membawa manfaat
apapun baginya. Kepatuhan manusia tidak akan menambah besar kemuliannya dan
kedurhakaan mereka pun tidak akan mengurangi kerajaannya. Allah tidak
memerintahkan manusia kecuali dengan hal-hal yang membawa kebajikan bagi diri
manusia sendiri. Mereka yang patuh akan diberi ganjaran yang baik disurga,
dengan berbagai nikmat yang tiada taranya. Dan begitu pula sebaliknya bagi
mereka yang ingkar terhadap Allah Swt.
Dengan melakukan shalat manusia akan tahu dan sadar betapa
hina dan lemah dirinya berhadapan dengan kuasa Allah, Sehingga ia benar-benar
menyadari akan kedudukannya sebagi hamba Allah Swt. Terlebih lagi, Shalat
merupakan amalan yang pertama kali akan di hisab oleh Allah pada hari akhir
nantinya. Jika baik shalat kita maka baiklah segala amalan kita di hadapan
Allah Swt.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Shalat Jamak?
2. Pengertian Shalat Qashar?
3. Apa Dasar Hukum Shalat Jama’ dan
Qashar?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat jama’
Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat
Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang
disebut jama’ taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir. [1]
Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal,
shalat wajib harus dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan.
Akan tetapi apabila dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara
kurang lebih 81 Km, atau dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara
jama’[2]
Hukum melaksanakan jama’ adalah boleh. Sebagaimana seseorang
yang melakukan jama’ bila shalat sendirian dan tidak jama’ bila shalat
berjamaah. Namun lebih utama tidak melakukan jama’.Menurut Yusuf Qaradhawi,
sesungguhnya kebolehan menjama’ itu jarang dan kemungkinannya sangat kecil, ha
nya dalam rangka menghilangkan “masyaqqat” serta kesulitan yang kadang-kadang
dihadapi manusia.
Jama’ terbagi menjadi dua:
a. Jama’ Taqdim
Ialah
penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama, misalnya
shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat Dzuhur.
Syarat-syarat
jama’Taqdim:[3]
1. Jarak perjalanan minimal 2 marhalah
2. Dalam perjalanan yang diperbolehkan
(bukan perjalanan haram)
3. Urut (memulai dengan shalat yang
pertama), yakni memulai shalat Dzuhur atau shalat Maghrib terlebih dahulu
kemudian diikuti shalat Ashar atau shalat Isya’
4. Niat jama’ sebelum selesai salam
shalat yang pertama
5. Waktu shalat yang pertama masih
cukup untuk melaksanakan dua shalat yang di- jama’
6. Melakukan shalat yang pertama dan
shalat yang kedua secara berkesinambungan menurut pandangan umum atau tidak
melebihi kadar shalat dua rakaat dengan cepat
7. Ada dugaan sahnya shalat yang
pertama
8. Masih dalam perjalanan (uzur) hingga
takbiratul ihram shalat yang kedua sempurna
9. Meyakini telah diperbolehkan jama’,
sekiranya telah terpenuhi seluruh syarat-syaratnya.
b. Jama’ Ta’khir
Shalat
jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya shalat Dzuhur
dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.
Syarat-syaratnya,
yaitu:
1. Niat jama’ta’khir di waktu shalat
yang pertama sekiranya masih tersisa kadar waktu untuk melakukan satu rakaat
shalat
2. Masih dalam perjalanan (uzur) hingga
shalat yang kedua selesai.
B. Pengertian Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau
Isya’ dengan dua rakaat oleh seorang musafir. Para Imam telah sepakat bahwa
musafir boleh meng-qashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang apakah qashar shalat itu merupakan rukhsah
(keringanan) atau ‘azimah (ketetapan mutlak). Selain itu, ulama’ berbeda
pendapat dalam beberapa hal yaitu: Mengqashar shalat dan hukumnya, Jarak tempuh
perjalanan yang membolehkan qashar, Jenis perjalanan yang membolehkan qashar,
Tempat dibolehkannya qashar, Batas perjalanan dan kebolehan qashar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas
tiap-tiap musafir. Maka fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia
berniat 4 rakaat dan tidak duduk sesudah 2 rakaat pertama, batallah shalatnya,
karena ia meninggalkan fardhu duduk terakhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua
rakaat pertama, shalat fardlunya dan dua rakaat yang akhir dihitung sunat. Dan
itu juga madzhab Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu ‘s-Sunan:
“Madzhab kebanyakan mala salaf dan fuqoha beberapa kota, qashar
shalat dalam perjalanan adalah wajib. Dan itu pendapat ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Umar,
Ibnu ‘Abbas, dan pendapat ‘Umar bin Abd. ‘Aziz, Qataadan, dan al-Hasan”
Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal)
berpendapat bahwa qashar bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah
(dispensasi), maka si mukallaf dapat memilih tentang menggugurkan fardhu itu
antara ‘azimah menyempurnakan 4 rakaat dan rukhshah qashar. Tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai hukum rukhshah ini:
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qashar sunat muakkad yang
kalau ditinggalkan dengan sengaja wajib i’adah dalam waktunya, dan ketinggalan karena
lupa wajib sujud sahwi. Berkata ulama Hanabilah, bahwa qashar itu lebih utama
dan tidak makruh dengan ‘azimah. Dan itulah yang masyhur dari mazhab Syafi’i
apabila perjalanan itu 3 hari. Jika perjalanan kurang dari 3 hari, maka
menyempurnakan adalah lebih utama . kata mereka: itu untuk keluar dari ikhtilaf
Abu Hanifah dan orang-orang yang sependapat dengannya.
Kaitannya dengan hal di atas dalam hal perjalanan dan
kebolehan mengqashar Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa jika
seseorang berniat hendak bermukim lebih dari empat hari maka haurus mencukupkan
shalat dan kalau kurang dari 4 harimaka boleh mengqashar shalat. Kata Imam Abu
Hanifah, tidak boleh qashar kalau Safar itu kurang dari 3 marhalah, yakni
perjalanan 24 farsakh.
C. Dasar Hukum
Ada
beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:
#sÎ)ur
÷Läêö/uÑ
Îû
ÇÚöF{$#
}§øn=sù
ö/ä3øn=tæ
îy$uZã_
br&
(#rçÝÇø)s?
z`ÏB
Ío4qn=¢Á9$#
÷bÎ)
÷LäêøÿÅz
br&
ãNä3uZÏFøÿt
tûïÏ%©!$#
(#ÿrãxÿx.
4 ¨bÎ)
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
(#qçR%x.
ö/ä3s9
#xrßtã
$YZÎ7B
ÇÊÉÊÈ
Artinya:“Dan apabila kamu bepergian
di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 101)
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah
bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah berkata kepada Umar, Allah berfirman
jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar
menjawab, “Saya heran juga sebagaimana engkau, maka saya tanyakan kepada
Rasulullah Saw., dan beliau menjawab: “Shalat qasar itu sedekah yang diberikan
Allah kepada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR.
Muslim)[4]
Berdasarkan ayat dan hadis di atas,
shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut Abu Hanifah, bukanlah rukhsah (pelaksanaan
kewajiban yang mendapat keringanan karena ada kesulitan), melainkan ‘azimah
(pelaksanaan kewajiban yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan,
tidak mendapat keringanan). Dengan demikian, shalat dalam perjalanan cukup
dilakukan dua rakaat saja.
Abu Ya’la berkata: “kebolehan
menjama’kan shalat di dalam safar, adalah dikala orang yang menjama’kan itu
menghadapi halangan-halangan yang membolehkan ia meninggalkan jama’ah dan
Jum’at, umpamanya belum singgah di suatu tempat. Diberitakan oleh Kuraib dari
Ibnu ‘Abbas RA. berkata: “apakah tidak lebih baik saya kabarkan kepadamu
tentang shalat Rasulullah SAW. dalam safar ?” Kami menjawab: “Baik sekali” kata
Ibnu ‘Abbas: “Adalah Nabi SAW. dan apabila telah tergelincir matahari sedang
beliau masih di rumah (di tempat yang beliau singgah) beliau kumpulkan antara
dhuhur dan ‘ashar sebelum berangkat, dan apabila matahari belum tergelincir
waktu beliau masih di rumah, beliaupun terus berangkat sehingga apabila telah
datang waktu ‘ashar, beliaupun berhenti, menjama’kan antara dhuhur dan ‘ashar.
Dan apabila datang waktu maghrib, sedang beliau belum berangkat, beliau
mengumpulkan antara maghrib dan ‘isya. Apabila belum datang waktu maghrib
beliaupun terus berangkat dan pada waktu ‘isya beliau berhenti lalu beliau
mengumpulkan antara keduanya.” (HR. Ahmad dan Asy-Syafi’y)
D. Syarat
a. Perjalanan Jauh bukan untuk
Kemaksiatan
Bepergian itu disyaratkan bukan
karena maksiat. Jadi meliputi pergi yang wajib seperti pergi untuk melaksanakan
ibadah haji dan membayar hutang dan semacamnya, demikian pergi yang mubah
seperti pergi untuk berdagang dan berpesiar, juga meliputi pergi yang makruh
seperti orang yang pergi sendirian dan terpisah dari kawannya
b. Jarak perjalanan mencapai 16 farsakh
Al-Bukhari menambahkan komentar pada riwayatnya: “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas
r.a. meong-qashar shalat dan tidak berpuasa dalam sepanjang perjalanan empat
bard, yaitu 19 fasakh, setara dengan 81 kilometer. Yang dilakukan keduanya
berdasarkan petunjuk Nabi (tauqifi) atau sepengetahuan Nabi Saw., (Al-Bukhari,
Taqshir al-Shalah, Bab I “Fi Kam Taqshir al-Shalah”).
c. Jarak qashar shalat dalam
kitab-kitab fiqh:[5]
No Versi
Ukuran (Km)
1. Versi kitab tanwir al-qulub
80,640
2. Versi mayoritas ulama’
119,99988
3. Hanafiyyah
96
4. Kitab Fiqh al-Islami
88,74
5. Versi Imam Makmun
89,999992
6. Versi Imam Ahmad Hussain al-Mishiry
94,5
Para ulama juga berbeda pendapat
berapa lama perjalanan yang membolehkan musafir melaksanakan sholat jama’ dan
qashar. Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi
muhajirin yang akan mukim (tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang
berpendapat maksimal 4 hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12
hari (H.R. Ahmad, dari ‘imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19
hari (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Abbas).
d. Shalat yang diqashar adalah empat
rakaat
e. Berniat meng-qashar shalat ketika
takbiratul ihram
f. Tidak bermakmum pada orang yang mukmin
(penduduk setempat)
Madzhab Hanafi, dibolehkan meong-qashar shalat bagi siapa
pun yang berniat melakukan perjalanan dan bermaksud untuk tujuan tertentu
meskipun ia bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah melewati rumah-rumah
di daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang menyatu dengan
desa. Selain itu disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan dalam tiga hal
berikut: bebas untuk menentukan bermukim atau bepergian, balig, dan perjalanan
tiga kurang dari tiga hari.
Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah (1) berniat untuk tinggal di suatu tempat selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari datang dan pergi. (2) ketika telah kembali ke tempat asalnya. (3) niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan syarat-syarat qashar.
Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah (1) berniat untuk tinggal di suatu tempat selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari datang dan pergi. (2) ketika telah kembali ke tempat asalnya. (3) niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan syarat-syarat qashar.
E. Hal-hal yang memperbolehkan shalat Jama’
a. Bermukim di Arafah dan Muzdalifah Para
ulama’ bersepakat bahwa menjama’ shalat dzuhur dan ashar secara taqdim pada
waktu dzuhur ketika berada di Arafah, begitu pula antara shalat maghrib dan
isya’ secara takhir di waktu isya’ ketika berada di Muzdalifah hukumnya sunnah.
Hal ini merujuk kepada sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah.
b. Safar (Bepergian) Bagi orang yang sedang atau
akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau dalam perjalanan, dan
atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan menjama’ shalat, baik dilakukan secara
jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat yang
dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di
tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW. ”Rasulullah menjamak antara
shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan dan
menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
c. Hujan
Jika seseorang berada di suatu
masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan
menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,“Nabi saw pernah
menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan
lebat.” (HR. Bukhari)
d. Sakit
Sakit
merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar dalam
menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya,
sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’
e. Takut
Takut
dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang,
akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
عَنْ
يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ
الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ
مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ
فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. رواه
مسلم
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim)
f. Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam
banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa
keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban
bagi setiap muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang yang tidak
dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak dijadikan
kebiasaan dalam hidupnya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat
Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang
disebut jama’ taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir.
Sedangkan shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’
dengan dua rakaat oleh seorang musafir
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah,
“Saya telah berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan
sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, “Saya heran juga
sebagaimana engkau, maka saya tanyakan kepada Rasulullah Saw., dan beliau
menjawab: “Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah kepada kamu, maka
terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
Syarat sahnya adalah perjalanan Jauh bukan untuk
Kemaksiatan, Jarak perjalanan mencapai 16 farsakh, Shalat yang diqashar adalah
empat rakaat, Berniat meng-qashar shalat ketika takbiratul ihram, dan Tidak
bermakmum pada orang yang mukmin (penduduk setempat).
Sedangkan, hal-hal yang memperbolehkan shalat jama’:
bermukim di Arafah dan Muzdalifah, Safar (Bepergian), Hujan, Sakit, Takut, dan
Keperluan (kepentingan) Mendesak
DAFTAR PUSTAKA
Rustam Dyah, Fikih Ibadah
Kontemporer, Semarang: CV. Karya Abadi, 2015
Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh,
Kediri: Lirboyo Press, 2014
Sulaiman Rasjid, Fiqh Sunnah,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010
No comments:
Post a Comment