“FIQIH SIYASAH”
Tentang :
“Beberapa Teori Politik Islam ”
Dosen Pengampu : Dr. Mohd Yasin, SH,MH
Disusun oleh :
Kelompok 2
Indartisiah
M. Luthfi Sholihin
SEMESTER IV
– A
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘’Beberapa
Teori Politik Islam’’ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Sejarah Pendidikan Islam Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan kepada para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bidang Studi Mata Kuliah yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kuala Tungkal
Maret 2020
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pengkajian Islam
adalah pendekatan (politik)−“Pemikiran politik Islam”, atau
dengan kata lain pengkajian Politik dalam Islam .Hal ini penting menjadi
bahan kajian akademisi dalam studi orientasi pendidikan khususnya pendidikan
Islam. Selain metodologi, tradisi historis-empirisme, dan filsafat mendapat
porsi dalam melakukan pengkajian ini.
Perdebatan saat ini tentang kebangkitan umat Islam telah
menyebabkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hakikat, karakteristik, serta
ruang lingkup suatu negara Islam dan system politik Islam yang khas, mendapat
sorotan tajam. Banyak penerbitan mengenai masalah itu yang implikasi-implikasi
ideologis dan posisi teoritisnya yang beragam. Tetapi kebanyakan hanya
menyajikan peristiwa-peristiwa politik mutakhir di dunia Islam kontemporer
tanpa ada upaya untuk membahas aspek-aspek teori politik yang benar-benar dapat
mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan uraian mereka tentang dunia
politik masa kini tetap dangkal dan tidak bertalian dengan
ketegangan-ketegangan antara perlunya kesinambungan dan tuntutan akan perubahan
di dunia Islam.[1]
Oleh karena itu pentingnya melirik sejarah politik−teori politik Islam sejak
era kenabian Muhammad SAW sebagai starting point dalam melakukan perbandingan
perpolitikan masa kini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Islam dan Politik?
2. Apa teori-teori Islam yang ini
lahir?.
3. Pemikiran
Teori Politik Islam dari Era Kenabian, Sahabat Hingga Sekte-Sekte Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam dan Politik
Islam dan politik adalah dua rangkaian kata yang memiliki
pengertian yang berbeda, jika dikaitkan keduanya maka pengertian yang melekat
dalam konteks kemoderenan adalah politik Islam. Jika merujuk pada kata
dasarnya, Islam; adalah suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang
membawa kemaslahatan umat dan keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan politik
berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos,
artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua
kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.[2] Tijani Abdul Qadir Hamid mengutip
Maurice Douferg dalam Pengantar Ilmu Politik, mendefinisikannya politik
adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia. Kata politik berarti
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan pemerintahan, dasar pemerintahan. Dari
pengertian di atas maka dalam konteks ini dapat dipahami bahwa Islam politik−politik
Islam adalah suatu alat atau strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan inti
dalam suatu pemerintahan dalam kenegaraan yang berasaskan nilai-nilai
transedental dan syariat Islam.
Jika kembali pada fakta sejarah, peta politik yang telah
digambarkan dan dipraktekkan Rasulullah SAW yang berlandaskan syariah Islam,
sehingga pemerintahan dalam negara Madinah mencapai keadilan dan kemakmuran
maka dengan demikian inilah yang dinamakan praktek politik Islam. Muhammad
Dhiauddin Rais mengemukakan bahwa Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW, dan
kaum mukminim yang hidup bersama beliau di Madinah−jika dilihat dari segi
praksis dan diukur dengan variable-variabel politik era modern−tidak disanksikan
lagi dapat dikatakan bahwa system itu adalah system politik par excellence.
Dalam waktu yang sama, juga tidak
menghalangi untuk dikatakan
bahwa
system itu adalah system religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya,
motif-motifnya dan fundamental maknawi tempat system itu berpijak.[3]
Islam sebagai agama yang sempurna tak hanya merangkum urusan
kehidupan manusia terkait perbuatan baik dan buruk, halal dan haram,
keselamatan dunia akhirat, materi dan ruhani. Namun kesempurnaanya memuat pula
metode−strategi (baca:politik) yang diperlukan manusia untuk mempermudah
orientasi kehidupannya, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi dan sahabatnya
ketika masa hidupnya. Karenanya Islam dan politik merupakan suatu kesatuan yang
tak terpisah dan solid, politik Islam yang telah menjadi fakta sejarah sebagai
suatu strategi yang dipergunakan dalam pemerintahan Islam dan penyebaran Islam
masa lalu. Kendati “teori politik” yang oleh pakar-pakar intelektual
politik barat−orientalisme tidak banyak mengakui khususnya teori-teori politik
Islam, namun dapat dikatakan bahwa politik Islam inilah yang banyak pula
dijadikan rujukan dari abad pertengahan hingga sekarang baik kalangan muslim
itu sendiri maupun intelektual politik barat. Intinya politik Islam sangat
berpengaruh terhadap perpolitikan dunia.
B. Lahirnya Sekte-Sekte dan Sebab Kemunculan Teori-Teori Islam
Dalam catatan sejarah perkembangan Islam terutama
pemerintahan dari generasi ke generasi yaitu dari zaman Rasulullah SAW hingga
kekhalifahan−terutama tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman, dari awal
kemajuan dan perkembangan dalam konsekwensi kehidupan masyarakat nampak
dikekhalifahan ini menurun langkahnya. Jika ditinjau dari sudut perpolitikannya
walaupun memiliki keistimewaan dan kebijakan serta sebagai pemimpin yang tegas,
namun situasi masyarakat Islam yang telah berbeda ketika masa Nabi dan khalifah
sebelumnya telah membawa perubahan kepemimpinan dan perpolitikan, efek-efek
yang ditimbulkan menjadi luar biasa sehingga dapat dikenal sebagai masa kritis
dan transisi pada perjalanan sejarah ini. Ketidakstabilan politik dan
permasalahan dalam dunia Islam yang tak dapat dihindarkan menjadikannya
khalifah Utsman terseret dalam situasi pemerintahan yang serba kritis hingga
persoalan-persoalan itu pun berakhir dengan tragis yaitu dengan kematian.
Kegoncangan yang dialami oleh kaum muslimin dengan situasi
politik pasca kematian khalifah Utsman atas tragedi pembunuhan yang dilakukan
oleh Saudan membawa perubahan yang sangat mencekam dikalangan umat Islam.
Sepeninggal Utsman tiada pilihan lain untuk dijadikan khalifah penerus Utsman
kecuali Ali bin Abi Thalib. Ali dibaiat oleh dewan formatur bentukan Umar yang
masih ada secara aklamasi kemudian diikuti secara umum oleh umat Islam di
Masjid Nabawi.[4]
Fuad Muhammad Fachruddin menjelaskan, baiat pada saat itu tidak meletakkan
batas tindak yang layak bagi pemberontakan hingga timbul api yang dapat memakan
fitnah. Pada dasarnya keadaan ini telah menimbulkan kelompok yang masing-masing
mempunyai benteng pertahanan yang besar yaitu, (1) Kelompok yang menyokong Ali
ra dan, (2) Kelompok yang berpihak kepada Mua’wiyah.
Timbulnya kelompok-kelompok tersebut tidak lain adanya
kepentingan politik yang semata politik seseorang untuk menjadi kepala negara.
Perjalanan kekhalifahaan Ali bin Abi Thalib yang diwarnai pula dengan
pergulatan dan goncangan politik hingga membawa sejarah terulang dengan
kematian yang dialami pula oleh Ali bin Abi Thalib pasca perang Shiffin. Dari
sejarah kekhalifahaan tersebut membawa pada kondisi dan situasi yang berbeda-beda,
namun yang paling mencolok adalah timbulnya gerakan-gerakan reformis yang akan
membawa pada revolusi yang disebabkan faktor ekonomi, politik dan pemikiran.
Disinilah terjadi perubahan mendasar yang membentuk masyarakat dan kian
berubah. Perubahan generasi lama yang berpola pemerintahan dan politik seperti
yang dicontohkan Rasul, drastis tergantikan dengan pola generasi baru.
Kurangnya kualitas yang dimiliki oleh generasi belakang jika
dibandingkan dengan generasi sebelumnya−masa Rasul, khalifah pertama dan kedua
baik dari segi hukum pemerintahan dan substansi aqidah masyarakat, ditambah
dengan negara yang dipimpin oleh khalifah belakangan kian luas dengan adanya
hasil ekspansi besar-besaran telah memunculkan fanatisme dan ketamakan hingga
sulitnya ditemukan pemimpin yang unggul dan menginspirasi. Dalam pandangan
Muhammad Dhiauddin Rais, kepemimpinan yang unggul, mengarahkan dan
menginspirasi yaitu pemimpin yang memiliki sifat-sifat dan karakteristik yang
unggul, yang tidak sembarang dimiliki oleh semua orang, seperti kebijaksanaan,
kecakapan, keluasan cakrawala, keluasan pandangan dan niat
suci.[5]
Dari tinjauan munculnya sekte-sekte tersebut, maka dapat
disimpulkan alasan dan yang mempengaruhinya yaitu, Pertama,
ketidakpuasan sebagian (kelompok) umat Islam dengan cara-cara politik dan
pemerintahan yang dilakukan oleh khalifah belakangan dan gubernurnya. Kedua,
ragamnya bentuk propaganda yang dilancarkan oleh kelompok tertentu untuk
mendapatkan dukungan politik praktis. Ketiga, keinginan yang besar untuk
menunjukkan kepada ummat Islam atas klaim kebenarannya. Keempat,
keinginan mewujudkan teori politik dan prinsip-prinsipnya untuk dijadikan
pedoman pemerintahan dan sekaligus syariat. Kelima, sikap fanatisme dan
kekuasaan oleh pemuka-pemuka Islam dan cenderung berwatak revolusi kepada
pemimpin yang sah.
C. Teori-Teori yang Muncul
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya terkait alasan
munculnya sekte-sekte (timbulnya perpecahan) yakni mewujudkan teori politik
sekali gus sebagai pedoman pemerintahan, maka ada beberapa teori yang muncul
pada era kekhalifahan semasa Utsman, Ali maupun Mua’wiyah ini dapat dijadikan
sebagai sebuah perkembangan pemikiran.
Muhammad Dhiauddin Rais menjelaskan beberapa teori tersebut
adalah:[6]
Pertama, Pemecatan Wali (Gubernur). Beberapa kelompok Islam semasa
kekhalifahan Utsman bin Affan meresolusikan teori bahwa wali atau gubernur
sebuah wilayah yang berfungsi sebagai wakil khalifah wajib dipecat apabila
orang-orang yang diperintah (rakyat) tidak merestui system politik dan
tingkah lakunya. Teori politik ini pun berkembang hingga kepemerintah pusat
(posisi khalifah Utsman), Alasan kecenderungan politik ini dikarenakan khalifah
Utsman melakukan beberapa pelanggaran dalam pemerintahannya baik memberikan
jabatan-jabatan penting khusus anggota keluarganya yang berasal dari Bani
Umaiyah, hingga berujung pada sebuah revolusi.
Kedua,
Klaim Quraisy. Pemikiran dan opini politik yang muncul pada periode ini adalah
adanya penolakan terhadap klaim atau pernyataan Quraisy dalam hal
keistimewaannya atas seluruh bangsa Arab dan hak mereka menduduki kekhalifahan
dan pemerintahan serta menguasai sektor-sektor luas.
Ketiga,
Pendapat Abdullah bin Saba’. Teori ini pada gilirannya akan memiliki gaung yang
cukup besar dikemudian hari, yang mulai dirumuskan oleh Abdullah bin Saba’,
diantara beberapa pendapatnya yaitu “Setiap nabi mempunyai pewaris dan Ali
adalah pewaris Muhammad: maka siapa yang zalim dari orang-orang yang tidak
membolehkan wasiat atau peninggalan Rasulullah?, disinilah awal mulanya teori
wishayah (wasiat atau pemberian mandat), kemudian pendapatnya, “Utsman telah
mengambil wasiat tersebut tanpa hak, maka bangkitlah kalian dari urusan ini dan
mulailah mendiskreditkan para pemimpin wilayahmu, perlihatkanlah amar ma’ruf
nahi mungkar. Hal ini diperkuat oleh Fuad Mohd. Fachruddin yang
mengemukakan bahwa pendapat ini sangat mempengaruhi tekad kepercayaan “Golongan
Syi’ah” dikemudian hari.
Keempat,
Teori Abu Dzar dalam Masalah Harta. Abu Dzar telah menyerukan suatu teori yang
memiliki signifikansi secara sosial dan politik, yang didasarkan atas ijtihad
dan pemahamannya terhadap ruh agama Islam, dan untuk mengantisipasi kondisi
faktual yang kini dialami oleh masyarakat Islam pascafutuhat (penaklukan). Dia
telah membantah perkataan Mua’wiyah gubernur Syam yang mengatakan, “Semua harta
dan milik Allah”, Abu Dzar mengatakan “seakan-akan dia ingin menguasai harta
tersebut tanpa melibatkan kaum muslimin−seorang muslimin tidak pantas baginya
memiliki lebih dari kebutuhan pokoknya sehari semalam atau sesuatu yang
disumbangkan dijalan Allah, atau dia persiapkan untuk orang yang terhormat.
D. Pemikiran Teori Politik Islam dari Era Kenabian, Sahabat Hingga Sekte-Sekte Islam
Dari sketsa historisitas kelahiran teori-teori politik Islam
sejak era kenabian hingga mengalami evolusi pada masa sahabat−kekhalifahan para
khulafa Al-Rasyidun dan melahirkan partai-partai (sekte-sekte) yang membawa
kecenderungan memiliki pemikiran politik yang berbeda. Dari sepanjang sejarah
itu hingga seperti yang kita kenal pada masa kini dunia Islam dengan ragam
corak pemikiran kelompok-kelompok Islam yang ada dan bahkan seolah memunculkan
teori politik baru adalah sebuah implikasi dari historis teori politik Islam
masa lalu, hal ini tidak dapat disangksikan sebagai sebuah evolusi dari teori poltik
Islam.
Evolisi pemikiran teori politik Islam tersebut, dalam
analisa penulis secara umum hal ini dilatarbelakangi dan berimplikasi pada
beberapa hal yaitu;
Pertama,
pada era kenabian aspek penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW
masih sangat labil ditengah pengaruh dan tantangan intimidasi kaum Kafir
Quraisy, era kenabian merupakan tantangan awal dalam penyebaran Islam hal ini
mengindikasikan bahwa Nabi telah menyusun strategi dakwah penyebaran Islam
untuk menghindari tekanan yang berlebihan dari kaum Kafir Quraisy terhadap
pengikut Nabi, melakukan hijrah ke kota Madinah merupakan langkah perpolitikan
dalam rangka mengembang risalah penyebaran agama Islam.
Kedua,
Langkah perpolitikan yang dipraktekkan oleh Nabi SAW pasca hijrahnya ke kota Madinah
Al-Munawarah memberikan nuangsa demokratis bagi umat Islam dan umat agama lain.
Memberikan kebebasan hidup beragama tanpa paksaaan dan intimitasi terhadap
agama tertentu. Potret politik yang hadir tengah negara Islam Madinah membawa
pada kondisi kehidupan beragama yang harmonis dan patuh pada pemimpin yang satu
di bawah bendera sehingga memberikan inspirasi bagi pemimpin-pemimpin Islam di
masa-masa selanjutnya.
Ketiga,
Madinah dalam potret sejarah dengan kehadiran agama Islam menampilkan corak
negara Islam pertama dengan politik Islam di dalamnya membawa pada sebuah
eksperimen tunggal yang sulit terulang pada masa kini.
Keempat,
teori-teori politik Islam yang ditularkan Nabi kepada para sahabat membawa
inspirasi dalam mengembang amanah penyebaran Islam sebagai rahmatan
lilalamin, pengembangan dan penyebaran agama Islam dengan melalui politik
sangat mempengaruhi perkembangan agama Islam ke berbagai wilayah, politik Islam
dengan pendekatan persaudaraan sebagai asas utama dan mendasari pemerintahan
dan hubungan antar pemimpin Islam terhadap pemimpin suku atau negara lain.
Kelima,
dalam masa pemerintahan para khalifah Al-Rasyidun memiliki tantangan dari
beberapa kelompok masyarakat Islam yang memiliki kecenderungan kontra
pemerintah, cenderung revolusioner dan memunculkan ketidakpuasan suatu golongan
terhadap khalifah. Hal ini memberikan pengaruh luar biasa terhadap perkembangan
perpolitikan dalam Islam, ketidakpuasan suatu komunitas Islam terhadap kelompok
lain atau pemerintahnya melahirkan efek dan sekat yang berkepanjangan hingga
memunculkan teori-teori politik.
Keenam, perbedaan
kemampuan para pemimpin Islam dalam memimpin negara atau suatu wilayah dan
ummat Islam yang tersebar luas sehingga melahirkan potensi kelompok tertentu
untuk membesarkan dan mengembangkan ideology dan politiknya. Membangun dan
memobilisasi kelompok dengan memiliki pandangan terhadap dunia Islam yang
mempengaruhi berbagai bidang kehidupan ummat Islam pada umumnya.
Ketujuh,
cita-cita pemimpin Islam melalui penyebaran agama Islam (ekspansi) ke berbagai
wilayah di dunia membawa pengaruh pada kelompok tertentu untuk merumuskan
teori-teori politik. Seiring dengan perkembangan Islam dan kualitas pemimpin
Islam yang berbeda dari masa kemasa dengan dinamika serta tantangan dalam
pemerintahan serta karakter masyarakat yang dihadapinya sangat beragam dan kian
kompleks.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesempurnaan era kenabian merupakan ciri utama yang nampak
dan membawa perubahan sosial pada masyarakat Arab umumnya. Dalam pembentukan
negara Islam−negara Madinah, Nabi SAW telah menerapkan politik Islami sehingga
negara yang dipimpinnya mendapat pengakuan dari musuh-musuh Islam (kaum Kafir
Quraisy) bahkan dunia. System pemerintahan demokratis negara Madinah merupakan
sebuah eksperimen tunggal yang belum pernah berulang pada pemerintahan hingga
masa kini.
Politik Islam adalah suatu alat atau strategi yang digunakan
untuk mencapai tujuan inti dalam suatu pemerintahan dalam kenegaraan yang
berasaskan nilai-nilai transedental dan syariah Islam. System terbentuknya
kekhalifahan bermula dari penunjukan Abu Bakar menjadi khalifah pada pertemuan
Saqifah. Hasil pertemuan ini sebagai salah satu sejarah penting dalam Islam
sebagai kelanjutan kepemimpinan Rasulullah dalam pemerintahan Islam.
Dengan pembaiatan Mua’wiyah sebagai khalifah akibat dari
kegagalan peristiwa tahkim yang merugikan pihak Ali merupakan partai politik
pertama yang muncul dalam sejarah ummat Islam. Pasca kekhalifahan para khulafa
Al-Rasyidin (akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib) memulai babak baru sejarah
Islam yang berbeda-beda dengan lahirnya sekte-sekte Islam. sekte-sekte Islam
yang lahir yaitu Khawarij, Syiah, Mu’tazilah, Ahlul Hadis dan Sunnah dan
Murjiah. Masing-masing sekte Islam ini memiliki peta pemikiran politik yang
berbeda-beda dan dipengaruhi oleh berbagai alasan yang kuat sehingga tidak heran
jika perbedaan pemikiran politik mereka menjadikan umat Islam tersekat dalam
tradisi perpecahan politik, teori-teori politik yang muncul sebagai evolusi
kritisisme yang membawa pengaruh luar biasa dalam sepanjang sejarah Islam
hingga masa sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mumtaz Ahmad,Masalah-Masalah
Teori Politik Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1996
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Semarang: Widia Karya, 2011
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori
Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001
[1] Mumtaz Ahmad,Masalah-Masalah
Teori Politik Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 13.
[2] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang: Widia Karya, 2011), hlm. 386.
[3] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori
Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 4.
[4]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori
Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 57
[5]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori.,
hlm. 22.
[6]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori.,
Ibid, hlm. 26-30
No comments:
Post a Comment