Mata Kuliah
“FIQH III”
Tentang :
Hukum-Hukum Perpajakn
Dosen Pengampu : Ab
Amarullah, S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun oleh :
Kelompok: II
Luvita Sari
SEMESTER
IV/B
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa sholatu was salamu ‘ala
asyrofil anbiya’i wal mursalin wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in amma ba’du.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang
telah menerangi dan memnuhi hati kita dengan keimanan. Yang mana keimanan
adalah nikmat yang terbesar bagi kita. Sholawat dan salam kita sanjung sajikan
untuk baginda kita nabi besar Muhammad SAW, seorang rasul yang telah
menggandeng tangan kita menuju jalan kebenaran dan penuh dengan kasih sayang
Allah.
Tugas ini merupakan persembahan hasil diskusi pemikiran dan
pencarian informasi dari berbagai sumber, pillihan judul dan bahannya
disesuaikan dengan silabus dan atas perintah dosen mata kuliah yang
bersangkutan difakultas pendidikan agama islam.
Dalam penyelesaian tugas ini, kami menyadari banyak dapat
kekurangan, kepada semua pihak kami harapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Kepada teman dan sahabat yang ikut berpartisipasi
dalam penyelesaian makalah ini kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembacanya.
Kuala Tungkal April 2020
penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHALUAN
A. Latar Belakang
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling
menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan
zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. Kezhaliman dengan berbagai
ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke
generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat
sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّا س زَمَانٌ لاَيُبَاليَّ الْمَرْءُ
بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَ منْ حَلاَل أَم منْ حَرَام
“Sungguh
akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana
mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab
Al-Buyu : 7]
Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air
kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat
secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan
untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan
masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak
tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada
pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Definisi Pajak?
2. Apa
Macam-Macam Pajak?
3. Hukum
Pajak dan Pungutan Dalam Islam?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama
الْعُشْرُ (Al-Usyr) [2] atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut
لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari
rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ
(Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang
berkaitan dengan tanah secara khusus.[1]
Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ
(Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran
yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[2]
B. Macam-Macam Pajak
Diantara
macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
1. Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan
dan bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak
Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan
seseorang.
3. Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
4. Pajak
Barang dan Jasa
5. Pajak
Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak
Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau
badan lain semisalnya.
7. Pajak
Transit/Peron dan sebagainya.
C. Adakah Pajak Bumi/Kharaj ( الْخَرَاجُ) Dalam Islam
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni
(4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua
macam.
1. Tanah
yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang
terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah
tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan
ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah
seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah
yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga
penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah
tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi
untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang
hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu
karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki
oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos
sewa tanah tersebut.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas
orang-orang kafir saja.
D. Hukum Pajak Dan Pemungutnya Menurut Islam
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan
dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.
Adapun
dalil secara umum, semisal firman Allah.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ ………….
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil….”[An-Nisa : 29]
Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan
harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu
jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ
مِنْهُ
“Tidak
halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun
dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan
ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya
pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab
Al-Imarah : 7]
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan
beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai
oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih
karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.
Dan
hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ
مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ
ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ
الْمَكْسِ
فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah
bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan
pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata :
‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143,
Abu Dawud 2930]
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas
keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku
tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir
kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab
Shahih At-Targhib”
Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi
Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan
dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid),
setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid
Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya,
lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil
mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila
penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim
20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221,
Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini
terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak
termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan
(pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan
yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh
Imam Nawawi]
E. Kesepakatan Ulama Atas Haramnya Pajak
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam
kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para
pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar)
di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa)
dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa
oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa)
oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar,
(hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin
atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap
tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang
memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah
sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka
perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para
ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan
negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk
mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam
perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan
saja” [3]
F. Pajak Bukan Zakat
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh
Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus
kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin
adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau
melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..”
Perbedaan
lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1. Zakat
adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi
orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak
tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu
tempat.
2. Zakat
berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk
menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir
karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih
dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah
kekuasaan kaum muslimin
3. Yang
dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan
sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum
jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian
dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan
kepada orang-orang yang berhak. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam
yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak
merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh
para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak
sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah
kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]
G. Persaksian Para Salafush Shalih Tentang Pajak
1. Ibnu
Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu
‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku
tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]
2. Umar
bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah,
di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah,
Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan
termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي
الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“…Dan janganlah kamu
merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu
berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]
Kemudian beliau
melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita),
terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah
yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]
3. Imam
Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin,
sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum
wal Hikam
4. Imam
Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang
ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan
sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun
zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang
wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk
orang-orang yang berhak)”
5. Imam
Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang
dimaksud dengan sebutan (صَاحِبُ الْمَكْسِ )Shahibul Maks, adalah mereka yang
biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan
memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ). Adapun para petugas yang bertugas
mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli
dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka
hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas
dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan
berbuat zhalim. Wallahu a’lam.
6. Imam
Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata
Shahibul Maks (صَاحِبُ الْمَكْسِ )adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa
haq”.
7. Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan :
“Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar
pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
H. Pemerintah Berhak Atas Rakyatnya
Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya,
Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai
kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu
berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak
ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”
Ibnu
Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]
Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti
Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan
bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh
Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan
miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan
barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan
kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita
mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti,
kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain
ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]
Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan
salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan
pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa
banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini
adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik
yang nampak atau yang samara.
Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan
menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya)
dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas
kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang
turun dari langit dan dari bumi.
DAFTAR PUSTKA
Lihat
Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah
Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
Lihat
Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih
Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet
Darul Kitab Al-Arabi
Hadits
ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir
7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[1] Lihat Lisanul Arab 9/217-218,
Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar
Ash-Shihah hal. 182
[2] Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan
13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh
Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[3] Hadits ini shahih, dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al
Ghalil 1761 dan 1459.
No comments:
Post a Comment