MAKALAH
FIQIH III
Tentang :
“Hukum-Hukum Membela Diri dan Binatang Ternak“
Dosen
Pengampu : Ab. Karim Amrullah, S.Pd.I., M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok VII
Ramayana
Zulva
Huryatus Sufa
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
wr. wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur
atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat
mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan.
Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang
“Hukum-Hukum Membela Diri dan
Binatang Ternak”.
Kami
sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para
pembaca.
Demikianlah
makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Kuala
tungkal, April 2020
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Hukum
Membela Diri................................................................................ 2
B.
Binatang Ternak........................................................................................ 6
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................... 9
B.
Saran ......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama
Islam, pada dasarnya memperjuangkan syariat Islam merupakan suatu
keharusan baginya Salah satunya memberlakukan hukum pidana Islam di
Indonesia. Namun, kejam dan tidak manusiawi. begitulah kesan sebagian
masyarakat terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana
Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan, rajam dan qishash yang
dapat dikaegorikan sebagai `vonis`. Padahal, studi yang obyektif dan mendalam
terhadap hukum ini kana menunjukan bahwa kesan sperti ini muncul, karena hukum
pidana Islam dilihat secara tidak utuh atau parsial.
Seharusnya, hukum pidana Islam dibaca
dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Hukum
potong tangan contohnya, sering dituding telalu lampau kejam dan tidak adil.
padahal, hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat telah
dipenuhi. Selain itu, situasi dan kondisi pada lingkungan masyarakat itu
menjadi pertimbangan diberlakukanya hukum pidana Islam. Sebagai contoh, di masa
kahlifah Umar bin Khotob, hukuman potoang tangan tidak pernah diberlakukan
karna terjadinya krisis kebutuhan pokok dimasyarakat. Kalau hukuman itu
diberlakukan, maka ini tidak sesuai dengan maqosid asy-syariat
atau tujuan hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Hukum Membela Diri ?
2. Apa Hukum Binatang Ternak ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Hukum Membela Diri
Orang
yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy
berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika
seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau
menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya
atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.[1]
Begitupun,
ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak
melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan
sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud
jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar, atau teriakan meminta pertolongan kepada
orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu
pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak
dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti
dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan
baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan
dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana
pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka
bagi korban berhak untuk membunuhnya.
Sebagaimana
bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung
kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja
membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-
Syafiiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan
dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya.
Dalil
masalah ini adalah firman Allah Swt:
فمن اعتدى عليكم
فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين
“Oleh
sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)
Perintah
al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam
menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan
(at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah,
hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.
Sementara
dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:
من قتل دون دينه
فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله
فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة
“Siapa
saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang
terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela
hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan
keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)
Sifat
syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa,
harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan
perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.[2]
Adapun
dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan
kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah
Saw bersabda :
انصر أخاك ظالماً
أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه
البخاري وأحمد والترمذي
“Tolonglah
saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana
cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk
melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR.
Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Dalam
hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:
من أذل
عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم
القيامة (رواه أحمد
”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin
dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya,
niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR.
Ahmad)
Adapun
status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan
diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain,
apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh
(haqun ja’iz), maka dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan
atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut
madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha
(al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy
memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang
kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka
hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:
كن خير
ابني آدم (رواه أبو داود
“jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu
Daud).
Perintah
untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah
Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap
seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang
pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan.[3]
Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa
membela diri sendiri, sama wajibnya
dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka
berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah.
Sementara madzhab jumhur yang lain
berpegang pada firman Allah Swt:
{ولا تلقوا بأيديكم
إلى التهلكة}
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)
Dan firman Allah Swt:
{فقاتلوا التي تبغي
حتى تفيء إلى أمر الله }
“Maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali,
kepada perintah Allah, (QS. 49:9)
‘Alakullihal,
melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah
perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau
sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut
pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan
dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas,
yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan
mudah. Adapun pembelaan atas kehormatan,
yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa
hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab
pembiaran atas terenggutnya kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram.
B.
Hukum Binatang Ternak
Allah mengingatkan
umat manusia lewat QS Al-Anaam bahwa hewan adalah komunitas yang sama seperti
manusia. Manusia perlu menhormati keberadaan hewan layaknya kelompok manusia
itu sendiri.
Hewan juga memiliki keluarga,
memiliki kebutuhan dan keinginan, memiliki bahasa dan tradisi sendiri, dan pada
akhirnya semua makhluk hidup bernyawa akan kembali pada Yang Maha Kuasa suatu
hari nanti. Ada lebih dari 200 ayat dalam Alquran yang bercerita tentang hewan
dan enam bab diberi nama hewan, misalnya Al-Baqarah (Sapi Betina), Al-Anaam
(Hewan Ternak), An-Nahl (Lebah), Al-Naml (Semut), Al-Ankabut (Laba-Laba), dan
Al-Fil (Gajah).
Alquran membahas
mendalam tentang hewan ternak, seperti kuda, unta, sapi, domba, kambing, keledai,
dan anjing. Berikut keistimewaan mereka, dilansir dari The National,
belum lama ini.[4]
"Dan Dia
telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan,"
(QS An-Nahl 5).
"Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan," (QS
An-Nahl 6).
"Dan ia
memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," (QS An-Nahl
7).
"dan (Dia
telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya." (QS An-Nahl 8).
Hewan dianggap sebagai
hadiah untuk manusia, dipuji karena keindahan dan manfaat yang mereka berikan.
Islam dalam hal ini telah menetapkan kebaikan dan rahmat kepada hewan sebagai salah
satu bentuk permata berharga sejak penciptaannya.
Kuda juga unta juga
dipuji Allah karena keduanya bisa bertahan di medan berat. “Maka Apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan," (QS
Al-Ghasyiah18).
Salah satu firman
Allah paling menonjol menceritakan seekor unta betina yang matinya dianiaya
sehingga menyebabkan kehancuran seluruh suku Tsamud pada masa itu. "Hai
kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan
kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah
kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa
azab yang dekat," (QS Hud 64).
Kisah Nabi Saleh dan
Suku Tsamud yang sombong ini menjadi pelajaran untuk manusia. Suku Tsamud yang
menyembah berhala meminta bukti kenabian Nabi Saleh yang dijawab Allah dengan
mendatangkan kepada mereka seekor unta betina yang unik, putih, cantik, dan
bersih, serta keluar dari celah batu. Kaum Tsamud memperoleh manfaat dari unta
tersebut, mulai dari air susunya yang diolah menjadi keju, mentega, dan minyak.[5]
Nabi Saleh kemudian
meminta kaum Tsamud untuk tidak menyakiti unta tersebut atau mencegahnya makan
dan minum. Jika perintah tersebut dilanggar, Allah akan menurunkan siksa. Kaum
Tsamud sayangnya melanggar dan membunuh unta tersebut. Allah pun menurunkan
azab untuk mereka.
Ayat lainnya
mengingatkan umat Islam supaya berperilaku baik dan Allah menggunakan keledai
sebagai perumpamaannya. Meski keledai dipuji karena tenaganya, namun Allah
berfirman dalam QS Luqman ayat 19. "Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai," (QS Luqman 19).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Orang yang merasa bahwa kehormatan,
harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan
(ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan
pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam,
bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut
kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan
2. Hewan juga memiliki keluarga, memiliki
kebutuhan dan keinginan, memiliki bahasa dan tradisi sendiri, dan pada akhirnya
semua makhluk hidup bernyawa akan kembali pada Yang Maha Kuasa suatu hari
nanti. Ada lebih dari 200 ayat dalam Alquran yang bercerita tentang hewan dan
enam bab diberi nama hewan, misalnya Al-Baqarah (Sapi Betina), Al-Anaam (Hewan
Ternak), An-Nahl (Lebah), Al-Naml (Semut), Al-Ankabut (Laba-Laba), dan Al-Fil
(Gajah).
B.
Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah memohon saran dan kritik para
pembaca demi kesempurnaan makalah pemakalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992).
Ichjianto,
Hukum Dalam Memelihara Hewan Menuru Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Santoso,
Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam ( Bandung: Asy Syaamil Prees & Grafika,
2003).
Santoso,
Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam( Jakarta: Gema Insani, 2003).
No comments:
Post a Comment