Iklan Sponsor

Wednesday 6 May 2020

Hukum-Hukum Membela Diri dan Binatang Tern


MAKALAH
FIQIH III
Tentang :
“Hukum-Hukum Membela Diri dan Binatang Ternak“
Dosen Pengampu : Ab. Karim Amrullah, S.Pd.I., M.Pd.I

Description: Image result for logo stai an nadwah

Disusun Oleh :
Kelompok VII
Ramayana
Zulva Huryatus Sufa





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
            Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari internet dan perpustakaan. Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang “Hukum-Hukum Membela Diri dan Binatang Ternak”.
            Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
            Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam

Kuala tungkal,  April 2020




Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.      Rumusan Masalah ................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
A.    Hukum Membela Diri................................................................................ 2
B.     Binatang Ternak........................................................................................ 6
BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan ............................................................................................... 9
B.     Saran ......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA  

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, pada dasarnya memperjuangkan syariat Islam merupakan suatu  keharusan baginya Salah satunya memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia. Namun, kejam dan tidak manusiawi. begitulah kesan sebagian masyarakat terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan, rajam dan qishash yang dapat dikaegorikan sebagai `vonis`. Padahal, studi yang obyektif dan mendalam terhadap hukum ini kana menunjukan bahwa kesan sperti ini muncul, karena hukum pidana Islam dilihat secara tidak utuh atau parsial.
Seharusnya, hukum pidana Islam dibaca dalam konteks yang menyeluruh dengan bagian lain dari syariat Islam. Hukum potong tangan contohnya, sering dituding telalu lampau kejam dan tidak adil. padahal, hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah syarat yang ketat telah dipenuhi. Selain itu, situasi dan kondisi pada lingkungan masyarakat itu menjadi pertimbangan diberlakukanya hukum pidana Islam. Sebagai contoh, di masa kahlifah Umar bin Khotob, hukuman potoang tangan tidak pernah diberlakukan karna terjadinya krisis kebutuhan pokok dimasyarakat. Kalau hukuman itu diberlakukan, maka ini tidak sesuai dengan maqosid asy-syariat atau tujuan hukumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Hukum Membela Diri  ?
2.      Apa Hukum Binatang Ternak ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Membela Diri
Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan.[1]
Begitupun, ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tersebut, maka ia pun berhak melakukan pembelan terhadapnya. Namun, pembelaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan kadar bahaya yang dihadapinya. Kalau seseorang yang bermaksud jahat itu cukup diingatkan dengan kata-kata, seperti memintanya beristigfar,  atau teriakan meminta pertolongan kepada orang di sekitar tempat kejadian, maka haram bagi korban melakukan pemukulan.
Begitu pun jika ia dapat melakukan pembelaan itu cukup dengan memukul, maka ia tidak dibenarkan untuk menggunakan senjata. Namun bila pembelaan atas dirinya tidak mungkin dilakukan kecuali dengan senjata yang dapat melumpuhkannya, seperti dengan pentungan misalnya, maka ia boleh melakukannya, namun tidak dibenarkan baginya untuk membunuh. Akan tetapi, bila pembelaan itu hanya mungkin dilakukan dengan membunuhnya, seperti dalam kondisi yang di contohkan di atas, dimana pelaku sudah menghunus senjata tajam atau mengacungkan pistol misalnya, maka bagi korban berhak untuk membunuhnya.
Sebagaimana bila ia dapat menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri atau berlindung kepada orang lain, maka dalam kondisi seperti ini ia tidak boleh secara sengaja membunuh pelaku. Ini adalah pandangan madzhab as-

Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Dengan kata lain hendaknya korban melakukan pembelaan dengan cara yang paling mudah, sesuai kondisi yang dihadapinya.
Dalil masalah ini adalah firman Allah Swt:

فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم، واتقوا الله ، واعلموا أن الله مع المتقين

“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:194)
Perintah al-taqwa dalam ayat ini menjadi dalil akan keharusan adanya kesamaan dalam menuntut balas atau melakukan pembelaan (al-mumatsalah) dan pentahapan (at-tadarruj) dalam pelaksanaannya, mulai dari yang paling ringan dan mudah, hingga yang paling sulit dan berat konsekuensi, seperti membunuh.
Sementara dalam as-Sunnah, Rasulullah Saw. bersabda:

من قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد، ومن قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد (رواه أصحاب السنن الأربعة

“Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, siapa saja yang terbunuh karena membela jiwanya maka ia syahid,   siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, dan siapa saja yang terbunuh karena membela kehormatan keluarganya maka ia syahid” (HR. Abu Daus, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah)
Sifat syahid yang dilekatkan kepada orang yang terbunuh demi membela agama, jiwa, harta, dan kehormatannya menunjukan kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan meski harus membunuh sang pelaku.[2]
Adapun dalil kebolehan melakukan pembelaan dan perlawanan demi harta, jiwa, dan kehormatan orang lain, adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً، قيل: كيف أنصره ظالماً؟ قال: تحجزه عن الظلم، فإن ذلك نصره (رواه البخاري وأحمد والترمذي
“Tolonglah saudaramu yang dzalim dan terdzalimi. Lalu ketika Anas bertanya: “bagaimana cara aku menolong orang yang dzalim.?”. Beliau menjawab: “kau cegah ia untuk melakukan kedzaliman itu, sesunggunya dengan itu kau telah menolongnya” (HR. Bukhari, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:

من أذل عنده مؤمن، فلم ينصره، وهو يقدر على أن ينصره، أذله الله على رؤوس الأشهاد يوم القيامة (رواه أحمد
 ”Siapa saja yang menyaksikan seorang mukmin dihinakan, lalu ia tidak menolongnya padahal ia mampu untuk melakukannya, niscaya Allah Saw. akan menghinakannya di hari kiamat di hadapan manusia” (HR. Ahmad)
Adapun status kedua hak di atas, yakni hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan diri sendiri, serta hak untuk membela jiwa, harta dan kehormatan orang lain, apakah merupakan hak yang sifatnya wajib (haqun wajib), ataukah sekedar boleh (haqun ja’iz),  maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha dalam aspek rinciannya.
Pembelaan atas diri/jiwa hukumnya mubah (boleh) menurut  madzhab al-hanabilah dan wajib menurut pandangan jumhur fuqoha (al-malikiyyah, al-hanafiyyah, dan as-syafiiyah). Hanya saja madzhab syafiiy memberikan taqyid (batasan) kewajiban tersebut, yakni jika pelakunya orang kafir, sementara jika yang melakukan penyerangan itu sesama muslim maka hukumnya boleh (tidak wajib), dengan dalil sabda Rosulullah Saw:

كن خير ابني آدم (رواه أبو داود
“jadilah sebaik-baiknya bani adam (Rawa Abu Daud).
Perintah untuk menjadi sebaik-baik bani Adam dalam hadis ini adalah isyarah pada kisah Qabil dan Habil, dimana Habil terbunuh tanpa melakukan perlawanan. Sikap seperti ini pula yang mashur ditengah-tengah para sahabat, tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, sebagaimana kasus pembunuhan ‘Utsman Ibnu ‘Affan.[3] Selain itu, dalil lain yang dijadikan dasar oleh madzhab as-Syafiiy adalah bahwa membela diri sendiri,  sama wajibnya dengan membela diri sesama muslim, karena ta’arudh (pertentangan) inilah mereka berpendapat bahwa hukum membela diri dalam kontek ini hukumnya hanya mubah. Sementara madzhab jumhur  yang lain berpegang pada firman Allah Swt:

{ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة}
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS. 2:195)
Dan firman Allah Swt:

{فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله }
“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, (QS. 49:9)
‘Alakullihal, melakukan pembelaan atas keselamatan diri dari pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dilarang, meski ada perbedaan pendapat apakah hukumnya wajib atau sekedar boleh. Begitupun melakukan pembelaan atas harta hukumnya mubah menurut pandangan jumhur fuqaha (tidak wajib), meski pembelan itu harus dilakukan dengan cara membunuh pelaku, dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, yakni keharusan tadarruj (bertahap) mulai dari cara yang lebih ringan dan mudah.  Adapun pembelaan atas kehormatan, yakni kehormatan perempuan-perempuan muslimah, para fuqaha sepakat bahwa hukumnya wajib, baik menyangkut kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebab pembiaran atas terenggutnya kehormatan seroang muslim merupakan perkara haram.

B.     Hukum Binatang Ternak
Allah mengingatkan umat manusia lewat QS Al-Anaam bahwa hewan adalah komunitas yang sama seperti manusia. Manusia perlu menhormati keberadaan hewan layaknya kelompok manusia itu sendiri.
Hewan juga memiliki keluarga, memiliki kebutuhan dan keinginan, memiliki bahasa dan tradisi sendiri, dan pada akhirnya semua makhluk hidup bernyawa akan kembali pada Yang Maha Kuasa suatu hari nanti. Ada lebih dari 200 ayat dalam Alquran yang bercerita tentang hewan dan enam bab diberi nama hewan, misalnya Al-Baqarah (Sapi Betina), Al-Anaam (Hewan Ternak), An-Nahl (Lebah), Al-Naml (Semut), Al-Ankabut (Laba-Laba), dan Al-Fil (Gajah).
Alquran membahas mendalam tentang hewan ternak, seperti kuda, unta, sapi, domba, kambing, keledai, dan anjing. Berikut keistimewaan mereka, dilansir dari The National, belum lama ini.[4]
"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan," (QS An-Nahl 5).
"Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan," (QS An-Nahl 6).
"Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," (QS An-Nahl 7).
"dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya." (QS An-Nahl 8).
Hewan dianggap sebagai hadiah untuk manusia, dipuji karena keindahan dan manfaat yang mereka berikan. Islam dalam hal ini telah menetapkan kebaikan dan rahmat kepada hewan sebagai salah satu bentuk permata berharga sejak penciptaannya.
Kuda juga unta juga dipuji Allah karena keduanya bisa bertahan di medan berat. “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan," (QS Al-Ghasyiah18).
Salah satu firman Allah paling menonjol menceritakan seekor unta betina yang matinya dianiaya sehingga menyebabkan kehancuran seluruh suku Tsamud pada masa itu. "Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat," (QS Hud 64).
Kisah Nabi Saleh dan Suku Tsamud yang sombong ini menjadi pelajaran untuk manusia. Suku Tsamud yang menyembah berhala meminta bukti kenabian Nabi Saleh yang dijawab Allah dengan mendatangkan kepada mereka seekor unta betina yang unik, putih, cantik, dan bersih, serta keluar dari celah batu. Kaum Tsamud memperoleh manfaat dari unta tersebut, mulai dari air susunya yang diolah menjadi keju, mentega, dan minyak.[5]
Nabi Saleh kemudian meminta kaum Tsamud untuk tidak menyakiti unta tersebut atau mencegahnya makan dan minum. Jika perintah tersebut dilanggar, Allah akan menurunkan siksa. Kaum Tsamud sayangnya melanggar dan membunuh unta tersebut. Allah pun menurunkan azab untuk mereka.
Ayat lainnya mengingatkan umat Islam supaya berperilaku baik dan Allah menggunakan keledai sebagai perumpamaannya. Meski keledai dipuji karena tenaganya, namun Allah berfirman dalam QS Luqman ayat 19. "Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai," (QS Luqman 19).



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Orang yang merasa bahwa kehormatan, harta, dan dirinya dalam bahaya, secara syar’iy berhak melakukan pembelaan (ad-difaa’ as-syar’iy). Sebagai contoh, ketika seseorang berhadapan dengan pelaku kriminal yang mengarahkan senjata api atau menghunus senjata tajam, bermaksud membunuhnya atau mengambil harta miliknya atau merenggut kehormatannya, maka ia disyariatkan untuk melakukan pembelaan
2.      Hewan juga memiliki keluarga, memiliki kebutuhan dan keinginan, memiliki bahasa dan tradisi sendiri, dan pada akhirnya semua makhluk hidup bernyawa akan kembali pada Yang Maha Kuasa suatu hari nanti. Ada lebih dari 200 ayat dalam Alquran yang bercerita tentang hewan dan enam bab diberi nama hewan, misalnya Al-Baqarah (Sapi Betina), Al-Anaam (Hewan Ternak), An-Nahl (Lebah), Al-Naml (Semut), Al-Ankabut (Laba-Laba), dan Al-Fil (Gajah).

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah memohon saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaan makalah pemakalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992).
Ichjianto, Hukum Dalam Memelihara Hewan Menuru Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam ( Bandung: Asy Syaamil Prees & Grafika, 2003).
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam( Jakarta: Gema Insani, 2003).



[1] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992). Hlm 45
[2] Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam ( Bandung: Asy Syaamil Prees & Grafika, 2003). Hlm 89
[3] Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam( Jakarta: Gema Insani, 2003). Hlm 112
[4] Ichjianto, Hukum Dalam Memelihara Hewan Menuru Islam. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991) hlm 67
[5] Ibid. 68-70

No comments:

Post a Comment