MAKALAH
FIQIH MUNAKAHAT
Tentang :
IDDAH
Dosen Pengampu : Jamahari, S.HI, MH
Disusun oleh :
William
Ridho Pvera Harahap
18.24.305
M. Suryadi Sya’ban
18.24.285
Mitahul Jannah
18.24.286
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas
kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Iddah”. Shalawat dan
salam semoga dilimpahkan atas junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan sekalian umatnya yang bertaqwa.
Ucapan terima kasih pula kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam proses penyusunan makalah ini, baik bantuan materil maupun
nonmateril.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Kuala
Tungkal April 2020
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan
jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut
untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila
antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah yang
disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk
pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain
yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi
dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan
terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan
itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari
adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang
perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Iddah?
2.
Apa Macam-macam Iddah?
3.
Bagaimana Kedudukan Hukum Iddah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah menurut bahasa berasal dari
kata “ al-‘udd ” dan “ al-Ihsha’ ” yang berarti bilangan atau
hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan
jumlah keseluruhanya. Firman Allah dalam Al-qur’an :
إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan”. (QS. At-Taubah (9):
36)
Menurut istilah Fuqaha’
Iddah berarti masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain.[1]
Dari pengertian diatas kami dapat
pengambil kesimpulan bahwa Iddah ialah masa menanti atau menunggu
yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya
(cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, guna atau untuk mengetahui kandungan
perempuan itu berisi (hamil) atau tidak,[2] serta
untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” ( QS. Ath-Thalaq(65): 4 ).
“hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah)
empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah (2): 234). Ayat ini
berlaku dagi wanita yang tidak hamil.
“waktu iddah
mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq (65): 4).
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.”
(QS. Al-Baqarah (2): 234). Di takhshish keumumanya.
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
(QS. Al-Baqarah (2): 228).
a.
Kondisi wafatnya suami, barangsiapa
yang meninggal suaminya setelah nikah yang shahih walaupun dalam iddah dari
talak raj’i,[3] iddahnya 4 bulan 10 hari,
berdasarkan firman allah swt. Berdasarkan surah al-baqarah ayat 234 diatas.
b.
Kondisi berpindah (firaq),
jika istri sudan menopause atau kecil belum haidh, firman allah swt. :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq (65): 4).[4]
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.”
(QS. Al-Baqarah (2): 228).
Diantara
hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang
disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang
artinya : “nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali
haid.[5]
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkan
Iddah itu adalah :
1.
Untuk mengetahui bersihnya rahim
perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang ditinggalkan oleh mantan
suaminya itu. Supaya tidak terjadi bercampur aduknya keturunan
(percampuran nasab), apabila mantan istri tersebut berkahwin dengan lelaki
lain.
2.
Untuk memanjangkan masa rujuk, jika
cerai itu talak raj’i. Dengan adanya masa yang panjang dan lama
dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir (introspeksi diri) dan
mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu sehingga ia ingin
kembali kepada istrinya atau akan rujuk kembali.
3.
Sebagai penghormatan kepada suami
yang meninggal dunia. Bagi seorang isteri yang kematian suami yang
dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang pahit di jiwanya,
dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa
yang sesuai untuk ia bersedih, sebelum menjalani kehidupan yang baru di samping
suami yang lain.[7]
4.
untuk taadud, artinya semata untuk
memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu
lagi.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iddah ialah
masa menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang
diceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, guna
atau untuk mengetahui kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau tidak, serta
untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.
Ada tiga terdapat macam-macam iddah
yaitu :
1.
Iddah sampai
kelahiran kandungan
2.
Iddah
beberapa kali suci
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun,
cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak,
hukumnya wajib menjalani masa iddah itu.
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkan
Iddah itu adalaha :
v Untuk
mengetahui bersihnya rahim perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang
ditinggalkan oleh mantan suaminya itu. Supaya tidak terjadi bercampur
aduknya keturunan (percampuran nasab), apabila mantan istri tersebut berkahwin
dengan lelaki lain.
v Untuk
memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i. Supaya si suami
mempunyai kesempatan untuk kembali kepada istrinya atau akan rujuk kembali jika
ia sudah sadar dan menyesal.
v Sebagai
penghormatan kepada suami yang meninggal dunia.
v untuk
taadud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio
kita mengira tidak perlu lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Syaripuddin,
Prof. Dr. Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta :
Kencana.
Azzam,
Prof. Dr. Abdul Aziz M..dkk. 2009. FIQIH MUNAKAHAT : khitbah, nikah, dan
talak. Jakarta : AMZAH.
Rasjid,
H. Sulaiman. 2011. FIQIH ISLAM. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Abdurrahman,
I Doi. 1992. Perkawinan dalam Syari’at Islam. Jakarta : Renika Cipta.
Abdul
Fatah, Abd. Ahmadi. 1994. Fiqh Islam Lengkap. Jakarta : Rineka Cipta.
[1]
Prof. Dr. Abdul Aziz M. Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, Fiqih
Munakahat (khitbah, nikah, dan talak), (Jakarta : AMZAH, 2009), hlm. 318
[2]H.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 414
[3]Sebagian
ulama berpendapat, hikmah masa iddah 4 bulan 10 hari bahwa masa janin 120
adalah 4 bulan. Tetapi, bulan hilaliyah terkadang kurang dari 30 hari maka
disempurnakan dengan bilangan yang sempurna.
[4]
Abdul Aziz M. Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, ibid, hlm. 330
[5]Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009),
hlm. 304
[6]Ibid,
hlm. 320
[7]Abdul
Aziz M. Azzam dan Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwes, ibid, hlm. 320
No comments:
Post a Comment