MAKALAH
TAFSIR AYAT TARBAWI 1
Tentang
: Keutamaan Shalat
Dosen
Pengampu:
Sahroni,
S.Pd,IM.Pd.I
Di
susun oleh :
Kelompok 08
Nurul Huda
18.11.23.82
Ria Rumini
18.11.23.88
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NADWAH KUALA TUNGKAL
TA
: 2020
BAB
PEMBAHASAN
A.
Keutamaan
Shalat
Shalat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam.
Dia adalah tiang agamaa juga batas pemisah antara keislaman dengan kekufuran
dan kemunafikan. Oleh karena itu, Rasulullah memberikan perhatian ekstra
terhadap masalah shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh
pelaksanaannya secara detail, dari awal sampai akhir, dari takbir sampai salam.
Ini
semua menunjukkan pentingnya shalat dalam Islam. Harusnya ini sudah cukup
sebagai motivasi bagi kita, kaum Muslimin untuk selalu bersemangat dalam
melaksanakan shalat. Terlebih jika kita memperhatikan berbagai keitimewaan
shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk bermalas-malasan dalam
melaksanakannya.
B. Arti Shalat
Shalat ialah berharap hati kepada Allah sebagai ibadah, dalam
bentuk beberapa perkataan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan akhiri
dengan salam serta menurut syarat-syarat yang telah ditentukan syara.
1. Dalil yang mewajibkan shalat
Ayat-ayat
yang membahas perihal salat dalam al-Qur’an bersifat global, karena itu kita
tidak akan menemukan ayat yang secara rinci menjelaskan teknis bagaimana
mengawali dan mengakhiri shalat. Kita akan menemukan rincian salat dalam
hadits-hadits Nabi saw., seperti
صلوا كما رأيتموني اصلي
Jumlah
rakaat itu sifatnya tauqifiy, tidak perlu ada kajian khusus untuk membahasnya.
Ayat–ayat mengenai salat bertebaran dalam al-Qur’an, ini menunjukkan bahwa
salat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam agama dan memiliki hikmah
yang sangat besar.
2.
Ayat Ayat tentang Shalat
AL-BAQARAH
AYAT 43-46
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4qx.¨9$#
(#qãèx.ö$#ur
yìtB
tûüÏèÏ.º§9$#
ÇÍÌÈ *
tbrâßDù's?r&
}¨$¨Y9$#
ÎhÉ9ø9$$Î/
tböq|¡Ys?ur
öNä3|¡àÿRr&
öNçFRr&ur
tbqè=÷Gs?
|=»tGÅ3ø9$#
4 xsùr&
tbqè=É)÷ès?
ÇÍÍÈ (#qãZÏètFó$#ur
Îö9¢Á9$$Î/
Ío4qn=¢Á9$#ur
4 $pk¨XÎ)ur
îouÎ7s3s9
wÎ)
n?tã
tûüÏèϱ»sø:$#
ÇÍÎÈ tûïÏ%©!$#
tbqZÝàt
Nåk¨Xr&
(#qà)»n=B
öNÍkÍh5u
öNßg¯Rr&ur
Ïmøs9Î)
tbqãèÅ_ºu
ÇÍÏÈ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah
beserta orang-orang yang ruku’. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri padahal kamu
membaca Al Kitab (Taurat)? Maka, tidaklah kamu berpikir? Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan kembali kepadanya” (QS. Al-Baqarah [2]: 43-46)
3.
Tafsir
Mufradat
الصلوة
: Secara harfiah berarti doa, menurut terminology syara’ ialah
serangkaian ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam.[1]
بالبر
: Kebajikan yang sangat luas (banyak), diantaranya kata “al-barru” dan
“al-barriyah” digunakan untuk sebutan bagi lapangan yang luas.[2]
بالصبر
: Menahan diri dari melakukan hal-hal yang tercela atau kurang
disenangi
لكبيرة
: Teramat berat
الخشعين
: Orang-orang yang mengkonsntrasikan seluruh anggota badan dan curahan
perhatian kepada Allah swt.
4.
Penafsiran
Ayat
Pada
surah al-Baqarah ayat 43, Allah memerintahkan umat manusia supaya menegakkan
shalat, menunaikan zakat dan rukuk bersama-sama dengan orang-orang lain yang
mau rukuk. Sedangkan pada ayat 44, Allah mengingatkan agar Kaum Muslim jangan
sampai seperti sebagian Yahudi yang menyuruh orang lain berbuat kebajikan,
sedangkan dirinya sendiri dikorbankan.
Dalam ayat 45, Allah
memerintahkan umat manusia supaya memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar
dan shalat, dan sekaligus mengingatkan bahwa kedua perbuatan tersebut memang
sangat berat bagi kebanyakan orang, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ yaitu
orang-orang yang oleh ayat 46 surah yang sama dinyatakan sebagai orang-orang
yang yakin benar bahwa dirinya akan menjumpai Allah kelak di alam akhirat.
Inilah intisari khusyu’ yang penting diperhatikan, bukan semata-mata berusaha
mengkonsentrasikan seluruh pikiran di saat-saat menegakkan shalat yang cukup
sukar seperti yang umum dikenal banyak orang.
5.
Sabab Nuzul
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 44 surah al-Baqarah di atas turun
berkenaan dengan kasus salah seorang Rahib Yahudi Madinah yang berkata kepada
menantu, kaum kerabat dan saudara sesusunannya yang telah masuk Islam, seraya
berkata, “Tetaplah kamu kepada agama yang kamu anut” (Islam), dan amalkanlah
apa-apa yang diperintahkan Muhammad, karena perintahnya itu memang benar.
Ttetapi, ia sendiri tidak mau melakukan apa yang dia ucapkan. “Lalu turunlah
ayat “ata’muruna al-nasa bil-birri wa-tansauna anfusakum” dan
seterusnya. Ayat ini pada dasarnya mengingatkan semua umat manusia
khususnya Kaum Muslim agar sekiranya tidak bersikap seperti para Rahib Ahli
Kitab.
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ berkata
Muqatil, firman Allah ini ditujukan kepada orang-orang ahli kitab supaya
menegakkan shalat bersama-sama Nabi saw., menunaikan zakat dan rukuk
bersama-sama orang-orang yang rukuki dari umat Nabi Muhammad saw., Allah swt.
Mengkhususkan penyebutan kata rukuk dalam ayat ini, demikian kata Imam Nawawi
al-Bantani, dalam rangka mendorong orang-orang Yahudi supaya menegakkan shalat
secara bersama-sama kaum Muslim. Sebab, dalam sembahyang mereka tidak dikenal
gerakan rukuk.[3]
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُم, khithab (sasran
pembicaraan) ayat ini, paling tidak menurut analisa mufassir, ditujukan kepada
ahbar dan ruhban (para pendeta Yahudi dan Nashrani), yang disinyalir
memerintahkan umatnya supaya berbuat kebajikan, tetapi mereka sendiri tidak
melakukan apa yang mereka ucapkan. Yang dimaksud dengan “al-nisyan” pada ayat
diatas adalah meninggalkan dengan sengaja, bukan karena sebab lupa atau
lainnya.
وَأَنْتُمْ
تَتْلُونَ الْكِتَابَ , padahal kamu (tokoh-tokoh ahli kitab) dan
pandai membaca al-Kitab (Taurat dan Injil), dan karenanya kamu tentu mengetahui
persis sebagai kebajikan yang kalian perintahkan melakukannya kepada para
pengikut kalian yang mengetahui. أَفَلَا تَعْقِلُونَ, yakni apakah kamu tidak
menggunakan akal pikiranmu Hai Ahli Kitab?
Perlu diingat
disini bahwa, meskipun khitab ayat diatas ditunjukkan kepada para pendeta
(ahbar dan ruhban) Ahli Kitab, namun tidak berarti ayat ini tidak memberikan
sindiran kepada kaum Muslim, terutama yang mengetahui ajaran-ajaran al-Qur’an.
Ayat tersebut menggambarkan betapa jelek orang-orang yang mengetahui
ajaran kitab sucinya, dan memerintahkan orang lain supaya berbuat kebajikan,
sementara dirinya sendiri tidak mengerjakannya.
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para ahli tafsir tentang makna sabar dalam firman Allah ini. Ada yang
mengartikan dengan puasa (menahan diri), dan ada pula yang mengartikannya
mencegah dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, dan membarenginya dengan
menunaikan berbagai ibadah. Dan ibadah yang paling tinggi nilainya adalah
Shalat. Jadi, dalam ayat ini Allah memerintahkan hambaNya yang mengharapkan
kebaikan dunia akhirat supaya memohon kepada Allah swt, dengan sikap sabar dan
shalat. Isim dhamir (wa innaha) pada ayat ini bisa kembali kepada “ista’inu”
dan juga kepada “ash shalat” atau keduanya, bahkan bisa juga terhadapa
semua urusan. Demikian kata al-Zamakhsyari.
وَإِنَّهَا
لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ, yakni sesungguhnya shalat itu
memang terasa berat untuk mengerjakannya, kecuali bagi orang-orang yang benar
berhati lapang seraya merendahkan dirinya kepada Allah swt, dengan merasa takut
akan siksaanNya yang sangat dahsyat. Mereka itulah yang dimaksud dengan
orang-orang yang khusu’, yaitu orang-orang yang lebih jauh dikemukakan dalam
al-Qur’an sendiri pada ayat-ayat berikutnya:
الَّذِينَ
يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ,
orang-orang yang yakin benar bahwa kelak mereka akan menjumpai Allah kelak di akhirat.
Bagi mereka ini, orang-orang yang khusu’, shalat itu bukanlah pekerjaan yang
berat, melainkan sebaliknya, sebagai sesuatu yang menyenangkan dan
menentramkan.
Q. S. Al-Isra : 78
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$#
4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur
Ìôfxÿø9$# (
¨bÎ) tb#uäöè%
Ìôfxÿø9$# c%x.
#Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya
: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan
(oleh malaikat).
1.
Tafsir Mufradat
دُلُوْكُ
الشَّمْس : Tergelincirnya
matahari
غَسَقُ
الَّيْلِ
: Kegelapan malam yang pekat
قُرْاٰنُ
الْفَجْر :
Shalat shubuh
2.
Penafsiran
Ayat
Ayat
ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya dirikanlah sembahyang
lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu permulaan waktu zuhur dan matahari
itu sesudah tergelincir di tengah hari dari pertengahan siang akan condong
terus ke Barat sampai dia terbenam. Oleh sebab itu dalam kata “tergelincir
matahari” termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke gelap gulita malam. Artinya
apabila matahari telah terbenam ke ufuk Barat, datanglah waktu Maghrib.
Bertambah matahari terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq yang merah, maka
seketika itu masuklah waktu Isya.
Kemudian
disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah berarti bacaan di waktu fajar,
tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka semua
penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Shubuh.
Penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia mempunyai
keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan malaikatSebagaimana sabda Rasul SAW :
“Shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat malam dan para malaikat siang”
(H.R.Tirmidzi).[4]
Shalat Shubuh
disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh hening pagi itu dianjurkan
membaca ayat-ayat Al-Quran agak panjang dari waktu lain.
3.
Pokok
Kandungan Ayat :
1. Perintah
untuk mendirikan shalat lima waktu
2. Petunjuk
waktu-waktu shalat wajib
3. Informasi
bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.
- Q. S. Hud : 114
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur
z`ÏiB
È@ø©9$# 4
¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$#
tû÷ùÏdõã ÏN$t«Íh¡¡9$#
4
y7Ï9ºs
3tø.Ï úïÌÏ.º©%#Ï9
ÇÊÊÍÈ
Artinya
: Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.
1.
Tafsir
Mufradat
زُلَفًا
مِّنَ الَّيْلِ :
bagian dari awal malam
طَرَفَيِ
النَّهَارِ : tepi
siang, maksudnya Shubuh dan Ashar
2.
Penafsiran
Ayat
Ayat
ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan
ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang, yakni
pagi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan dari Al-Hasan
Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan Ashar,
pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat
Shubuh dan Zuhur, Ashar, Maghribdan pada bagian permulaan dari malam yaitu
Maghrib dan Isya.
Kata
zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu yang saling
berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam.
Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau
mengakui asal makna dari zulafan adalah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu
masih permulaan dari malam.[5]
Innal
hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-perbuatan baik yang
didasari oleh keimanan dan ketulusan akan dapat membentengi diri seseorang
sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Selain itu
juga dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila
seseorang telah mengerjakan amal-amal shaleh. Sebagaimana yang tertuang dalam
Q. S .An-Nisa : 31 yang artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. Juga
seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan kebaikan,
sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.
Al-hasanat
ada yang memahaminya secara khusus yakni shalat dan istighfar, tetapi pendapat
yang lebih baik adalah yang memahaminya secara umum, yaitu seluruh kebajikan.
Namun demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam bentuk khusus yakni,
keburukan (dosa) kecil.
Pokok
Kandungan Ayat :
1. Perintah
mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
2. Perintah
untuk selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
Sabab
Nuzul :
Seorang
laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang wanita dengan nafsu
birahi saat dia sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa bersalah dan
mengadukan hal itu pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua menasihati bahwa
hal tersebut dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu.
Namun karena masih merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata
: ”Itulah kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya
Rasulullah ! Hukumlah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga
laki-laki itu pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan
dipanggilnya kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.
BAB
PENUTUP
Kesimpulan
Ayat-ayat
di atas adalah sebuah perintah bagi seluruh manusia untuk menyembah Allah
ta’ala. Khususnya dengan ibadah shalat. Karena Dialah yang telah menciptakan
manusia. Baik manusia terdahulu ataupun manusia yang akan datang. Perintah
menyembah atau beribadah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, tidak hanya
penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas.
Ayat diatas memiliki korelasi yang kuat dengan tujuan dari diciptakannya jin
dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja.
Dalam ayat diatas juga terdapat kewajiban untuk beribadah
kepadaNya saja. Karena Alloh adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai
kenikmatan dan menciptakan manusia dari ketiadaan, Dia juga telah menciptakan
umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan
nikmat yang tidak nampak. Dan menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat
berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat
ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah
menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya
matahari, bulan dan bintang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, VOL.
1, vol. 1, Dar (al-Fikr, Beirut-Lubnan),
K. HAL. O. Shaleh, dkk., Asbabun
Nuzul, (Diponegoro, Bandung, 1980), Maraghi,
Ibn Katsir, Tafsir al-Quran
al-Karim, VOL. 1, (al-Haramayn, Sinqafurah), (t.t.),
Hamka, Tafsir Al-Azhar,
(Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007).
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974).
[1] Al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, VOL. 1, vol. 1, Dar (al-Fikr, Beirut-Lubnan), halaman
104
[2] K. HAL. O. Shaleh, dkk., Asbabun
Nuzul, (Diponegoro, Bandung, 1980), halaman 24; al-Maraghi, halaman 105.
[3] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran
al-Karim, VOL. 1, (al-Haramayn, Sinqafurah), (t.t.), halaman 84.
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar,
(Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974). Halaman 161
No comments:
Post a Comment